Cegah Kasus Rabies, Kementan Perkuat Strategi Komunikasi Zoonosis
A
A
A
MATARAM - Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menegaskan komitmennya untuk mencegah dan menanggulangi zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya).
Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memformulasikan strategi komunikasi zoonosis secara nasional yang aplikatif di tingkat nasional, provinsi dan juga kabupaten/kota sebagai bagian dari penguatan kapasitas pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan zoonosis di Indonesia.
Hal ini disampaikan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif saat membuka Rapat Koordinasi Zoonosis Nasional di Mataram, Jumat (27/9/2019).
“Upaya pengendalian zoonosis merupakan prioritas utama di sektor kesehatan hewan, karena hal tersebut dapat meminimalisir ancaman pada kesehatan masyarakat dan mampu meningkatkan ekonomi usaha peternakan” terang Syamsul.
Syamsul kemudian menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan zoonosis. Dengan strategi komunikasi yang tepat, diharapkan masyarakat dapat memiliki kesadaran untuk melaporkan kasus, serta berkontribusi terhadap upaya pencegahan dan pengendalian zoonosis.
”Komunikasi risiko merupakan cara yang efektif untuk mengelola dan menginformasikan suatu permasalahan, khususnya dalam pengendalian penyakit hewan” tegas Syamsul.
Lanjut Syamsul menjelaskan bahwa menurut catatan OIE, tiga dari lima penyakit pada manusia berasal dari hewan atau 60 persen penyakit menular pada manusia adalah zoonosis. Saat ini ada lebih dari 250 hewan yang berpotensi bisa menularkan penyakitnya ke manusia sedangkan di Indonesia sendiri, terdapat 132 spesies patogen yang bersifat zoonosis. Jumlah ini tentu menjadi ancaman jika penanganannya tidak tepat.
“Pengendalian zoonosis pada sumbernya di hewan merupakan cara yang paling efektif dan ekonomis dalam melindungi kesehatan manusia, sehingga diperlukan strategi untuk mencegah dan mengendalikan zoonosis melalui kebijakan yang tepat,” tegas Syamsul.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Budi Septiani menyampaikan bahwa perubahan sosial dan ekologi yang berkaitan dengan penyebaran populasi manusia, lalu lintas hewan dan perubahan lingkungan dapat berimplikasi pada kemunculan zoonosis.
Menurut Septiani, Provinsi NTB sejak lama dikenal sebagai provinsi bebas rabies secara historis yang diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 316/Kpts/PK.320/5/2017.
Namun sejak pertengahan Januari 2019 berdasarkan hasil investigasi serta surveilans aktif secara klinis, epidemiologis dan pemeriksaan labotarorium Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Sumbawa dinyatakan positif terjangkit hewan rabies. Hal ini menjadi pukulan berat bagi NTB. Sehingga seluruh stakeholder baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota bekerja keras untuk mengendalikan penyakit tersebut. Salah satunya dengan memberikan komunikasi, informasi dan edukasi di Pulau Sumbawa khususnya dan NTB pada umumnya.
“Kami mendukung adanya pedoman strategi komunikasi ini. Sehingga ada kesamaan persepsi terkait kondisi kejadian luar biasa dan wabah rabies itu sendiri,” ungkap Septiani.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, IPB University, Denny Widaya Lukman menyampaikan tindakan pengendalian zoonotis yang esensial dan kritis adalah dengan membangun kepedulian masyarakat terhadap bahaya zoonosis melalui komunikasi, informasi dan edukasi.
Menurutnya, peran komunikasi risiko zoonosis sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan, dengan cara membangun sikap positif dan kepedulian masyarakat untuk terlibat aktif secara sadar dan sukarela dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis. "Untuk itu perlu ada koordinasi, advokasi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan” tutur Denny.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memformulasikan strategi komunikasi zoonosis secara nasional yang aplikatif di tingkat nasional, provinsi dan juga kabupaten/kota sebagai bagian dari penguatan kapasitas pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan zoonosis di Indonesia.
Hal ini disampaikan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif saat membuka Rapat Koordinasi Zoonosis Nasional di Mataram, Jumat (27/9/2019).
“Upaya pengendalian zoonosis merupakan prioritas utama di sektor kesehatan hewan, karena hal tersebut dapat meminimalisir ancaman pada kesehatan masyarakat dan mampu meningkatkan ekonomi usaha peternakan” terang Syamsul.
Syamsul kemudian menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan zoonosis. Dengan strategi komunikasi yang tepat, diharapkan masyarakat dapat memiliki kesadaran untuk melaporkan kasus, serta berkontribusi terhadap upaya pencegahan dan pengendalian zoonosis.
”Komunikasi risiko merupakan cara yang efektif untuk mengelola dan menginformasikan suatu permasalahan, khususnya dalam pengendalian penyakit hewan” tegas Syamsul.
Lanjut Syamsul menjelaskan bahwa menurut catatan OIE, tiga dari lima penyakit pada manusia berasal dari hewan atau 60 persen penyakit menular pada manusia adalah zoonosis. Saat ini ada lebih dari 250 hewan yang berpotensi bisa menularkan penyakitnya ke manusia sedangkan di Indonesia sendiri, terdapat 132 spesies patogen yang bersifat zoonosis. Jumlah ini tentu menjadi ancaman jika penanganannya tidak tepat.
“Pengendalian zoonosis pada sumbernya di hewan merupakan cara yang paling efektif dan ekonomis dalam melindungi kesehatan manusia, sehingga diperlukan strategi untuk mencegah dan mengendalikan zoonosis melalui kebijakan yang tepat,” tegas Syamsul.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Budi Septiani menyampaikan bahwa perubahan sosial dan ekologi yang berkaitan dengan penyebaran populasi manusia, lalu lintas hewan dan perubahan lingkungan dapat berimplikasi pada kemunculan zoonosis.
Menurut Septiani, Provinsi NTB sejak lama dikenal sebagai provinsi bebas rabies secara historis yang diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 316/Kpts/PK.320/5/2017.
Namun sejak pertengahan Januari 2019 berdasarkan hasil investigasi serta surveilans aktif secara klinis, epidemiologis dan pemeriksaan labotarorium Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Sumbawa dinyatakan positif terjangkit hewan rabies. Hal ini menjadi pukulan berat bagi NTB. Sehingga seluruh stakeholder baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota bekerja keras untuk mengendalikan penyakit tersebut. Salah satunya dengan memberikan komunikasi, informasi dan edukasi di Pulau Sumbawa khususnya dan NTB pada umumnya.
“Kami mendukung adanya pedoman strategi komunikasi ini. Sehingga ada kesamaan persepsi terkait kondisi kejadian luar biasa dan wabah rabies itu sendiri,” ungkap Septiani.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, IPB University, Denny Widaya Lukman menyampaikan tindakan pengendalian zoonotis yang esensial dan kritis adalah dengan membangun kepedulian masyarakat terhadap bahaya zoonosis melalui komunikasi, informasi dan edukasi.
Menurutnya, peran komunikasi risiko zoonosis sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan, dengan cara membangun sikap positif dan kepedulian masyarakat untuk terlibat aktif secara sadar dan sukarela dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis. "Untuk itu perlu ada koordinasi, advokasi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan” tutur Denny.
(alf)