UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan Harus Memihak Petani
A
A
A
SEMARANG - Perjuangan untuk membela kepentingan petani kecil di berbagai daerah di Indonesia terus dilakukan berbagai kalangan publik.Salah satunya yang dilakukan Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) dengan menggelar diskusi bertema "RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan: Anti Kriminalisasi Petani".
Sekadar diketahui UU Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) dinilai menjadi alat kriminalisasi petani kecil pemulia benih dan bertentangan dengan UUD 1945.
Atas dasar itulah UU SBT diajukan ke Mahkamah Konstitusi RI (MK) untuk di Uji Materi oleh petani dan gerakan rakyat.
Pada tahun 2013, MK kemudian mengabulkan permohonan dan memperbolehkan petani kecil untuk melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah, serta mengedarkan hasil pemuliaan berupa benih untuk dirinya sendiri dan komunitasnya.
Dengan berbagai pertimbangan, pada tahun 2017 Komisi IV DPR mengusulkan revisi atas UU SBT dan mengubahnya menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB).
Nah dalam diskusi itu, Anggota Komisi IV DPR Hasanuddin membenarkan bahwa kemungkinan besar RUU SBPB akan disahkan pada bulan September 2019 ini, yakni sebelum DPR periode 2014-2019 purna bakti. “Ada 5 komponen penting dalam RUU SBPB yakni akses petani terhadal tanah, benih, pengairan, pengembangan sumberdaya petani dan jaminan pasar hasil pertanian,” ujarnya, Jumat (23/8/2019).
Dia juga meminta kepada peserta diskusi untuk memberikan masukan terhadap RUU SBPB, terutama pasal-pasal yang dapat berpotensi mengkriminalisasi petani.
Perubahan nomenklatur SBT ke SBPB dipertanyakan oleh Panisihat IHCS Gunawan, pertama RUU ini tetap menggunakan istilah sistem, lalu kedua meneruskan makna keberlanjutan. “Apabila semangatnya mengganti, apakah mau mengembalikan sistem pertanian ke alami atau malah menyeimbangkan pertanian alami dengan non-alami buah revolusi hijau” ungkapnya.
Terkait hak petani untuk mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih untuk komunitasnya, MK telah memutuskan diperbolehkan bagi perorangan petani kecil untuk komunitasnya. “Namun dalam RUU SBPB frasa komunitas diganti dengan kelompok, ini perlu pendalaman”, tambahnya.
Menjawab pertanyaan itu, nara sumber lainnya Direktur Serealia Kementerian PertanianBambang sugiharto menyatakan RUU SBPB ini dimaksudkan untuk menyempurnakan UU SBT. “RUU ini akan jadi produk negara jika sudah disahkan, untuk itu sebelumnya harus mendapat masukan dari berbagai kalangan, seperti dalam forum ini,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PISPI Tedy Dirhamsyah mengapresiasi DPR dan Pemerintah yang telah menyusun RUU ini dengan maksud menyempurnakan UU SBT. “PISPI memberikan masukan agar ada penjelasan tentang petani kecil karena muncul dibanyak pasal. Kemudian harus dipertimbangkan, perihal pasal yang mengatur petani kecil diminta melaporkan kegiatan pemuliaan benih ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata dia.
Tedy menambahkan, perlu juga pertimbangan terkait 15 Pasal yang mengatur ketentuan pidana, 14 pasal diantaranya untuk petani dan pelaku usaha, sementara untuk pemerintah hanya ada 1 pasal sanksi.
Sebagai penutup diskusi, kajian strategis BPP PISPI Suroyo berjanji PISPI akan merangkum hasil diskusi ini dan bersama - sama dengan organisasi tani dan profesi akan menyusun masukan kepada Komisi IV DPR dan pemerintah sebelum RUU SBPB disahkan.
Sekadar diketahui UU Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) dinilai menjadi alat kriminalisasi petani kecil pemulia benih dan bertentangan dengan UUD 1945.
Atas dasar itulah UU SBT diajukan ke Mahkamah Konstitusi RI (MK) untuk di Uji Materi oleh petani dan gerakan rakyat.
Pada tahun 2013, MK kemudian mengabulkan permohonan dan memperbolehkan petani kecil untuk melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah, serta mengedarkan hasil pemuliaan berupa benih untuk dirinya sendiri dan komunitasnya.
Dengan berbagai pertimbangan, pada tahun 2017 Komisi IV DPR mengusulkan revisi atas UU SBT dan mengubahnya menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB).
Nah dalam diskusi itu, Anggota Komisi IV DPR Hasanuddin membenarkan bahwa kemungkinan besar RUU SBPB akan disahkan pada bulan September 2019 ini, yakni sebelum DPR periode 2014-2019 purna bakti. “Ada 5 komponen penting dalam RUU SBPB yakni akses petani terhadal tanah, benih, pengairan, pengembangan sumberdaya petani dan jaminan pasar hasil pertanian,” ujarnya, Jumat (23/8/2019).
Dia juga meminta kepada peserta diskusi untuk memberikan masukan terhadap RUU SBPB, terutama pasal-pasal yang dapat berpotensi mengkriminalisasi petani.
Perubahan nomenklatur SBT ke SBPB dipertanyakan oleh Panisihat IHCS Gunawan, pertama RUU ini tetap menggunakan istilah sistem, lalu kedua meneruskan makna keberlanjutan. “Apabila semangatnya mengganti, apakah mau mengembalikan sistem pertanian ke alami atau malah menyeimbangkan pertanian alami dengan non-alami buah revolusi hijau” ungkapnya.
Terkait hak petani untuk mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih untuk komunitasnya, MK telah memutuskan diperbolehkan bagi perorangan petani kecil untuk komunitasnya. “Namun dalam RUU SBPB frasa komunitas diganti dengan kelompok, ini perlu pendalaman”, tambahnya.
Menjawab pertanyaan itu, nara sumber lainnya Direktur Serealia Kementerian PertanianBambang sugiharto menyatakan RUU SBPB ini dimaksudkan untuk menyempurnakan UU SBT. “RUU ini akan jadi produk negara jika sudah disahkan, untuk itu sebelumnya harus mendapat masukan dari berbagai kalangan, seperti dalam forum ini,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PISPI Tedy Dirhamsyah mengapresiasi DPR dan Pemerintah yang telah menyusun RUU ini dengan maksud menyempurnakan UU SBT. “PISPI memberikan masukan agar ada penjelasan tentang petani kecil karena muncul dibanyak pasal. Kemudian harus dipertimbangkan, perihal pasal yang mengatur petani kecil diminta melaporkan kegiatan pemuliaan benih ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata dia.
Tedy menambahkan, perlu juga pertimbangan terkait 15 Pasal yang mengatur ketentuan pidana, 14 pasal diantaranya untuk petani dan pelaku usaha, sementara untuk pemerintah hanya ada 1 pasal sanksi.
Sebagai penutup diskusi, kajian strategis BPP PISPI Suroyo berjanji PISPI akan merangkum hasil diskusi ini dan bersama - sama dengan organisasi tani dan profesi akan menyusun masukan kepada Komisi IV DPR dan pemerintah sebelum RUU SBPB disahkan.
(vhs)