Perusahaan Tambang Kembali Serobot Lahan Warga Wawonii Tenggara
A
A
A
KONAWE KEPUALAUAN - Lahan warga di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra), kembali diserobot oleh perusahaan tambang PT. Gema Kreasi Perdana (GKP).
Penyerobotan ini, terjadi pada Kamis (22/8/2019) malam di lahan milik Amin, Wa Ana, Labaa, dan Nurbaya.
Menurut warga, penyerobotan ini diketahui, Jumat (23/8/2019) pagi, sekitar pukul 06.00 Wita, saat salah seorang warga bernama Laririn dan Lamuhu, suami Wa Ana, mendatangi lahannya.
"Padahal, malam sebelumnya, Laririn, sebagaimana warga lainnya, menjaga lahannya masing-masing, dan pulang ke rumah sekitar pukul 23.00 (Wita). Jadi, penyerobotan itu dipastikan terjadi di atas pukul. 23.00 semalam, pasca Laririn pulang ke rumah untuk beristirahat malam," jelas Labaa.
Di lokasi kejadian, warga mendapati 10 orang karyawan PT GKP, 18 bulldozer dan excavator yang tengah menggusur lahan masyarakat. Akibatnya, tanaman warga seperti kelapa, pala serta coklat tumbang dan hancur.
Informasi warga, penyerobotan ini dilakukan PT GKP untuk membangun jalan tambang (hauling) menuju konsesi tambang milik perusahaan.
Selain aktivitas alat-alat berat, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, Anselmus A. R. Masihu, di lokasi kejadian, warga juga mendapati polisi, jumlahnya lebih dari 10 orang, yang diketahui berasal dari Polda Sulawesi Tenggara di Kendari.
"Polisi-polisi itu tampak hanya berdiam diri, dan setelah ditanyai warga, polisi-polisi itu menjawab jika keberadaannya di lokasi tambang hanya untuk mengantisipasi terjadinya konflik," jelas Anselmus.
Penyerobotan lahan ini, bukan pertama kali. Berdasarkan keterangan warga, pihak PT GKP, sudah berulang kali melakukan penyerobotan, masing-masing terjadi pada Selasa, 9 Juli 2019, sekitar pukul. 11.00 Wita di lahan milik Marwah, dan Selasa, 16 Juli 2019, sekitar pukul. 15.00 di lahan milik Idris.
Lahan-lahan yang diserobot PT GKP ini adalah milik sah masyarakat yang telah dikelola selama lebih dari 30 tahun. Para pemilik lahan tidak pernah menyetujui, apalagi menjual lahannya kepada perusahaan. Sebab, lahan-lahan ini adalah ruang produksi masyarakat, di dalamnya terdapat jambu mente, kelapa, pala, pinang, kopi, dan pisang.
Selain penyerobotan lahan, PT GKP juga berulangkali menekan resistensi masyarakat tolak tambang dengan cara mengkriminalisasi.
Pertama, 13 orang telah dilaporkan ke Polda Sultra, atas dugaan tindakan pengancaman, penghinaan, dan pencemaran nama baik pada 12 Juli 2018 lalu. Laporan itu telah dicabut, dan kedua bela pihak, yang difasilitasi Bupati Konawe Kepulauan, sepakat berdamai pada 17 Oktober 2018.
Kedua, 3 orang, masing-masing Labaa, Amin, dan Wa Ana, juga telah dilaporkan PT GKP ke Polda Sultra, 14 Juli 2019, dengan tuduhan telah melakukan tindakan menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang. Tiga warga tersebut sudah mengikuti pemeriksaan pertama pada 29 Juli 2019 di Polda Sultra.
Ketiga, pada 18 Juli 2019, 3 warga lainnya atas nama Idris, Sardin, dan Masa Udin, juga dilaporkan ke Polres Kendari, atas dugaan melakukan penganiayaan dan pengancaman kepada karyawan perusahaan tambang. Ketiganya, juga telah mengikuti pemeriksaan perdana di Polres Kendari, pada 31 Juli 2019.
Sejak PT GKP masuk, dan melakukan penyerobotan lahan, dan agresif melaporkan warga pada kepolisian, konflik sosial antar masyarakat pun terjadi. Saat ini, warga yang terbelah menjadi kelompok pro dan kontra, terus bersitegang.
"Tidak saling tegur-sapa antar orang tua dan anak, suami dan istri, suami istri berpisah, bahkan jika ada warga yang menolak tambang menggelar hajatan perkawinan atau yang lainnya, kelompok pro, meski bertetangga, tidak mau berpartisipasi" ungkap Anselmus.
Konflik sosial ini, menurut Anslemus, seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak jika pemerintah terus masa bodoh, membiarkan perusahaan menyerobot lahan-lahan masyarakat.
Warga pemilik lahan, bersama LBH Kendari dan LBH Makassar, mengecam keras Bupati Konkep, Amrullah dan Gubernur Sultra, Ali Mazi, membiarkan PT GKP, menyerobot lahan warga, merusak tanaman dan berpotensi meningkatkan ekskalasi konflik sosial.
Mengecam keras Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjen Pol Iriyanto, yang membiarkan pasukannya berada di lokasi, mengawal PT GKP di lahan milik warga.
Mendesak Kapolri, Tito Karnavian, segera memerintahkan Kapolda Sulawesi Tenggara untuk segera menarik seluruh pasukannya dari lokasi, sekaligus segera memproses hukum PT GKP yang jelas-jelas menyerobot lahan milik warga.
Mendesak Komnas HAM untuk segera turun tangan ke Pulau Wawonii (Kabupaten Konawe Kepulauan) guna melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak perusahaan tambang.
Mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk turun tangan, menyelamatkan pesisir dan pulau kecil Wawonii yang sedang dikepung oleh 11 perusahaan tambang.
Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera ke Wawonii, menginvestigasi seluruh kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan yang diduga dilakukan pihak perusahaan tambang.
Penyerobotan ini, terjadi pada Kamis (22/8/2019) malam di lahan milik Amin, Wa Ana, Labaa, dan Nurbaya.
Menurut warga, penyerobotan ini diketahui, Jumat (23/8/2019) pagi, sekitar pukul 06.00 Wita, saat salah seorang warga bernama Laririn dan Lamuhu, suami Wa Ana, mendatangi lahannya.
"Padahal, malam sebelumnya, Laririn, sebagaimana warga lainnya, menjaga lahannya masing-masing, dan pulang ke rumah sekitar pukul 23.00 (Wita). Jadi, penyerobotan itu dipastikan terjadi di atas pukul. 23.00 semalam, pasca Laririn pulang ke rumah untuk beristirahat malam," jelas Labaa.
Di lokasi kejadian, warga mendapati 10 orang karyawan PT GKP, 18 bulldozer dan excavator yang tengah menggusur lahan masyarakat. Akibatnya, tanaman warga seperti kelapa, pala serta coklat tumbang dan hancur.
Informasi warga, penyerobotan ini dilakukan PT GKP untuk membangun jalan tambang (hauling) menuju konsesi tambang milik perusahaan.
Selain aktivitas alat-alat berat, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, Anselmus A. R. Masihu, di lokasi kejadian, warga juga mendapati polisi, jumlahnya lebih dari 10 orang, yang diketahui berasal dari Polda Sulawesi Tenggara di Kendari.
"Polisi-polisi itu tampak hanya berdiam diri, dan setelah ditanyai warga, polisi-polisi itu menjawab jika keberadaannya di lokasi tambang hanya untuk mengantisipasi terjadinya konflik," jelas Anselmus.
Penyerobotan lahan ini, bukan pertama kali. Berdasarkan keterangan warga, pihak PT GKP, sudah berulang kali melakukan penyerobotan, masing-masing terjadi pada Selasa, 9 Juli 2019, sekitar pukul. 11.00 Wita di lahan milik Marwah, dan Selasa, 16 Juli 2019, sekitar pukul. 15.00 di lahan milik Idris.
Lahan-lahan yang diserobot PT GKP ini adalah milik sah masyarakat yang telah dikelola selama lebih dari 30 tahun. Para pemilik lahan tidak pernah menyetujui, apalagi menjual lahannya kepada perusahaan. Sebab, lahan-lahan ini adalah ruang produksi masyarakat, di dalamnya terdapat jambu mente, kelapa, pala, pinang, kopi, dan pisang.
Selain penyerobotan lahan, PT GKP juga berulangkali menekan resistensi masyarakat tolak tambang dengan cara mengkriminalisasi.
Pertama, 13 orang telah dilaporkan ke Polda Sultra, atas dugaan tindakan pengancaman, penghinaan, dan pencemaran nama baik pada 12 Juli 2018 lalu. Laporan itu telah dicabut, dan kedua bela pihak, yang difasilitasi Bupati Konawe Kepulauan, sepakat berdamai pada 17 Oktober 2018.
Kedua, 3 orang, masing-masing Labaa, Amin, dan Wa Ana, juga telah dilaporkan PT GKP ke Polda Sultra, 14 Juli 2019, dengan tuduhan telah melakukan tindakan menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang. Tiga warga tersebut sudah mengikuti pemeriksaan pertama pada 29 Juli 2019 di Polda Sultra.
Ketiga, pada 18 Juli 2019, 3 warga lainnya atas nama Idris, Sardin, dan Masa Udin, juga dilaporkan ke Polres Kendari, atas dugaan melakukan penganiayaan dan pengancaman kepada karyawan perusahaan tambang. Ketiganya, juga telah mengikuti pemeriksaan perdana di Polres Kendari, pada 31 Juli 2019.
Sejak PT GKP masuk, dan melakukan penyerobotan lahan, dan agresif melaporkan warga pada kepolisian, konflik sosial antar masyarakat pun terjadi. Saat ini, warga yang terbelah menjadi kelompok pro dan kontra, terus bersitegang.
"Tidak saling tegur-sapa antar orang tua dan anak, suami dan istri, suami istri berpisah, bahkan jika ada warga yang menolak tambang menggelar hajatan perkawinan atau yang lainnya, kelompok pro, meski bertetangga, tidak mau berpartisipasi" ungkap Anselmus.
Konflik sosial ini, menurut Anslemus, seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak jika pemerintah terus masa bodoh, membiarkan perusahaan menyerobot lahan-lahan masyarakat.
Warga pemilik lahan, bersama LBH Kendari dan LBH Makassar, mengecam keras Bupati Konkep, Amrullah dan Gubernur Sultra, Ali Mazi, membiarkan PT GKP, menyerobot lahan warga, merusak tanaman dan berpotensi meningkatkan ekskalasi konflik sosial.
Mengecam keras Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjen Pol Iriyanto, yang membiarkan pasukannya berada di lokasi, mengawal PT GKP di lahan milik warga.
Mendesak Kapolri, Tito Karnavian, segera memerintahkan Kapolda Sulawesi Tenggara untuk segera menarik seluruh pasukannya dari lokasi, sekaligus segera memproses hukum PT GKP yang jelas-jelas menyerobot lahan milik warga.
Mendesak Komnas HAM untuk segera turun tangan ke Pulau Wawonii (Kabupaten Konawe Kepulauan) guna melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak perusahaan tambang.
Mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk turun tangan, menyelamatkan pesisir dan pulau kecil Wawonii yang sedang dikepung oleh 11 perusahaan tambang.
Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera ke Wawonii, menginvestigasi seluruh kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan yang diduga dilakukan pihak perusahaan tambang.
(nag)