Ekowisata Berbasis Sungai Sangat Berpotensi Jika Didukung dengan Kesadaran Masyarakat
A
A
A
KALIMANTAN TENGAH - Sungai yang memiliki multifungsi, berpotensi besar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai tersebut. Namun, isu lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) selalu mengemuka. Sebab, masih banyak masyarakat yang memiliki kesadaran rendah akan fungsi dan peran sungai.
Hal itu disampaikan Ary Suhandi, salah satu pemateri dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Produk Ekowisata Berbasis Sungai, yang digelar pada 9-11 Mei 2019 di Swiss Belhotel Danum, Palangkaraya.
Ary menyatakan, sebelum tercetus gagasan ekowisata berbasis sungai, sudah ada Heart of Borneo atau jantung Borneo. Yaitu program konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, yang juga mencakup sebagian wilayah Brunei Darussalam.
Menurutnya, program ini telah disepakati bersama antara ketiga negara untuk dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Istilah Heart of Borneo atau HoB kemudian digunakan sebagai nama suatu inisiatif tiga negara tesebut yang telah dideklarasikan pada 12 Februari 2007. Inisiatif HoB mengusung program konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Rencana Aksi Strategis (Strategic Plan of Action/SPA).
Kawasan HoB diantaranya sudah termasuk beberapa kawasan lindung. Seperti Batang Ai National Park, Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary, Gunung Mulu National Park, Crocker Range National Park, Kinabalu National Park di Malaysia, Kayan Mentarang National Park, Bukit Baka Bukit Raya National Park, Danau Sentarum National Park di Indonesia, dan Ulu Temburong National Park di Brunei.
“Sungai di kawasan HoB, dengan budaya dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, adalah aset pariwisata dan merupakan daya tarik bagi wisatawan,” ujarnya.
Beberapa contoh yaitu Pasar Terapung (Floating Market). Ini merupakan bagian dari sejarah wisata sungai sebagai salah satu daya tarik wisata bagi wisatawan asing maupun domestik. Tahun 2013, Kemenpar pernah memberikan perhatian untuk pengembangan wisata susur sungai di Banjarmasin, khususnya untuk sungai Martapura dan sungai Barito, serta anak-anak sungai lainnya.
Untuk menunjang ekowisata, berbagai aktivitas dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik sungainya. Dalam hal ini ada dua kategori, yaitu wisata petualangan/ adventure. Meliputi Boating up, Rafting, Bamboo Rafting, Tubing, dan Body Rafting. Kemudian kategori natural-cultural & wildlife meliputi River Cruise, Wildlife Cruise, dan Cultural Festival.
”Ekowisata berbasis sungai yang digagas untuk wilayah Kalimantan Tengah, akan menawarkan pengalaman unik menyusuri sungai melalui pulau-pulau kecil, mengamati orang utan liar, dan burung-burung serta mengunjungi dan berinteraksi dengan masyarakat desa di hulu sungai. Sebuah paket wisata yang sangat menarik,” ungkapnya.
Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaaan Kemenpar Ni Wayan Giri Adyani mengatakan, ada beberapa langkah awal yang harus dilakukan untuk mengembangkan ekowisata di wilayah sungai di Kalimantan Tengah. Antara lain memberikan edukasi dan pemahaman pada masyarakat bahwa sungai memiliki fungsi yang lebih luas.
“Sungai tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tambang dan pembuangan sampah. Tetapi dapat mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kehidupan jangka panjang,” ujarnya.
Asdep Bidang Pengembangan Wisata Alam dan Buatan Kemenpar Alexander Reyaan mengaku akan menggali terus potensi-potensi yang ada di sejumlah sungai di Kalimantan Tengah. Menurutnya, pengoptimalan potensi tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat umum.
“Kegiatan ekowisata umumnya dilakukan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Buru dan Area Sungai. Namun ekowisata juga tetap dapat dilakukan di areal non-konservasi selama kegiatannya masih tetap mengacu 3 pilar utama yaitu Ekologi, Ekonomi, dan Sosial budaya,” bebernya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menegaskan, tujuan FGD kali ini adalah untuk memperkenalkan serta mengangkat pengembangan produk ekowisata berbasis sungai di Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Lalu brainstorming guna penyelarasan pengembangan produk ekowisata berbasis sungai dengan stakeholders terkait, memperoleh dukungan dari para stakeholders serta pemangku kawasan, sekaligus menyusun pola perjalanan produk ekowisata sungai.
“Dengan adanya acara ini, diharapkan dapat lebih memperkenalkan konsep produk ekowisata berbasis sungai kepada stakeholders ekowisata. Selain itu, diharapkan para pemangku kawasan lebih serius untuk bersinergi dalam pengembangan ekowisata yang memiliki konsep saling terkait dan menguatkan. Sehingga, konsep tersebut dapat memajukan pariwisata nasional dan berkontribusi nyata terhadap devisa negara,” tandasnya. (*)
Hal itu disampaikan Ary Suhandi, salah satu pemateri dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Produk Ekowisata Berbasis Sungai, yang digelar pada 9-11 Mei 2019 di Swiss Belhotel Danum, Palangkaraya.
Ary menyatakan, sebelum tercetus gagasan ekowisata berbasis sungai, sudah ada Heart of Borneo atau jantung Borneo. Yaitu program konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, yang juga mencakup sebagian wilayah Brunei Darussalam.
Menurutnya, program ini telah disepakati bersama antara ketiga negara untuk dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Istilah Heart of Borneo atau HoB kemudian digunakan sebagai nama suatu inisiatif tiga negara tesebut yang telah dideklarasikan pada 12 Februari 2007. Inisiatif HoB mengusung program konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Rencana Aksi Strategis (Strategic Plan of Action/SPA).
Kawasan HoB diantaranya sudah termasuk beberapa kawasan lindung. Seperti Batang Ai National Park, Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary, Gunung Mulu National Park, Crocker Range National Park, Kinabalu National Park di Malaysia, Kayan Mentarang National Park, Bukit Baka Bukit Raya National Park, Danau Sentarum National Park di Indonesia, dan Ulu Temburong National Park di Brunei.
“Sungai di kawasan HoB, dengan budaya dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, adalah aset pariwisata dan merupakan daya tarik bagi wisatawan,” ujarnya.
Beberapa contoh yaitu Pasar Terapung (Floating Market). Ini merupakan bagian dari sejarah wisata sungai sebagai salah satu daya tarik wisata bagi wisatawan asing maupun domestik. Tahun 2013, Kemenpar pernah memberikan perhatian untuk pengembangan wisata susur sungai di Banjarmasin, khususnya untuk sungai Martapura dan sungai Barito, serta anak-anak sungai lainnya.
Untuk menunjang ekowisata, berbagai aktivitas dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik sungainya. Dalam hal ini ada dua kategori, yaitu wisata petualangan/ adventure. Meliputi Boating up, Rafting, Bamboo Rafting, Tubing, dan Body Rafting. Kemudian kategori natural-cultural & wildlife meliputi River Cruise, Wildlife Cruise, dan Cultural Festival.
”Ekowisata berbasis sungai yang digagas untuk wilayah Kalimantan Tengah, akan menawarkan pengalaman unik menyusuri sungai melalui pulau-pulau kecil, mengamati orang utan liar, dan burung-burung serta mengunjungi dan berinteraksi dengan masyarakat desa di hulu sungai. Sebuah paket wisata yang sangat menarik,” ungkapnya.
Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaaan Kemenpar Ni Wayan Giri Adyani mengatakan, ada beberapa langkah awal yang harus dilakukan untuk mengembangkan ekowisata di wilayah sungai di Kalimantan Tengah. Antara lain memberikan edukasi dan pemahaman pada masyarakat bahwa sungai memiliki fungsi yang lebih luas.
“Sungai tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tambang dan pembuangan sampah. Tetapi dapat mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kehidupan jangka panjang,” ujarnya.
Asdep Bidang Pengembangan Wisata Alam dan Buatan Kemenpar Alexander Reyaan mengaku akan menggali terus potensi-potensi yang ada di sejumlah sungai di Kalimantan Tengah. Menurutnya, pengoptimalan potensi tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat umum.
“Kegiatan ekowisata umumnya dilakukan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Buru dan Area Sungai. Namun ekowisata juga tetap dapat dilakukan di areal non-konservasi selama kegiatannya masih tetap mengacu 3 pilar utama yaitu Ekologi, Ekonomi, dan Sosial budaya,” bebernya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menegaskan, tujuan FGD kali ini adalah untuk memperkenalkan serta mengangkat pengembangan produk ekowisata berbasis sungai di Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Lalu brainstorming guna penyelarasan pengembangan produk ekowisata berbasis sungai dengan stakeholders terkait, memperoleh dukungan dari para stakeholders serta pemangku kawasan, sekaligus menyusun pola perjalanan produk ekowisata sungai.
“Dengan adanya acara ini, diharapkan dapat lebih memperkenalkan konsep produk ekowisata berbasis sungai kepada stakeholders ekowisata. Selain itu, diharapkan para pemangku kawasan lebih serius untuk bersinergi dalam pengembangan ekowisata yang memiliki konsep saling terkait dan menguatkan. Sehingga, konsep tersebut dapat memajukan pariwisata nasional dan berkontribusi nyata terhadap devisa negara,” tandasnya. (*)
(atk)