Hutan di Sultra Kritis, Upaya Penyelamatan Dilakukan Civitas UHO
A
A
A
KENDARI - Bisnis ekstraktif pada kawasan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra), seperti pengerukan Sumber Daya Alam (SDA) atau pertambangan dan perkebunan, dianggap menjadi penyebab besar kerusakan dan menipisnya kawasan hutan.
Setiap saat, hutan di Sultra, habis akibat pembukaan lahan. Kondisi ini diperparah, belum ada teknik atau cara lain pengambilan sumber daya alam, yang ramah lingkungan tanpa mengganggu kealamian hutan.
“Yang sering dilakukan adalah reklamasi dengan menanam kembali bibit pohon baru atau tambang bawah tanah itupun belum ada contoh yang diterapkan di Sultra,” kata Didit, Ketua BLH Mapala Navernos, Fakultas Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Rabu 2 Januari 2019.
Tanpa pesimistis, Didit, memberi satu jawaban untuk memperbaiki kerusakan hutan di Sultra. Sebuah gerakan dengan tema Ekonomi Hijau yang mereka buat di Mapala Navernos, harapannya, mampu mengembalikan hijaunya hutan Sultra.
Ekonomi hijau ini kata Didit, tidak menghapus cara-cara lama seperti reboisasi dan reklamasi pasca-tambang, melainkan memanfaatkan kawasan-kawasan kosong dengan menanam pohon secara terus menerus untuk menopang kerusakan hutan.
“Selain itu kita berupaya untuk masuk pada kawasan-kawasan pasca-tambang untuk ditanami pohon. Sehingga ada upaya kolektif yang dihasilkan. Artinya tidak saja mengeruk sumber daya alamnya, melainkan menanam kembali pohon yang telah ditebang atau dirusak,” katanya.
Didit mencontohkan pemanfaatan kawasan kosong untuk penanaman pohon, dimulai dari dalam kampus UHO. Meningkatkan kesadaran mahasiswa, civitas akademik dan lembaga mahasiswa untuk sadar lingkungan yang bersih dan baik.
“Sehingga kemarin kami menanam pohong sebanyak 50 sampai 100 pohon berbagai jenis. Kedepannya kami akan keluar dari kampus dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembalikan kealamian hutan kita,” katanya.
Penanaman pohon dengan tema Ekonomi Hijau ini dilakukan pada periode Desember 2018 lalu. Kata Didit, kedepannya, mereka mendorong agar pelaku-pelaku bisnis yang bergerak pada pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, bisa bersama-sama menggalakan gerakan ekonomi hijau tersebut.
Berdasarkan penelitian Walhi Sulawesi Tenggara, ditemukan sekitar 640.000 hektare hutan dikuasai tambang dan sawit. Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektare dan 40.000-an hektare jadi kebun sawit, terluas pertambangan di Konawe Utara dengan 146 izin, disusul Kolaka dan Kolaka Utara. Untuk pembukaan lahan perkebunan, terbesar di Konawe Selatan dan Konawe Utara.
“Soal jumlah pasti kami belum temukan. Karena data pemerintah juga berubah-ubah. Keterbukaan informasi soal ini juga minim,” kata Udin Lentea, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.
Daerah lain yang turut menyumbang kerusakan hutan antara lain Kota Baubau dan Buton. Selain kerusakan akibat bisnis ekstraktif, hutan rusak menurut Yanuar Fanca Kusuma, Kepala Satgas Manggala Agni Daops Tinanggea, Konawe Selatan, adalah tindakan masyarakat membakar hutan.
Sepanjang 2017-2018, kata Yanuar Fanca Kusuma, ada 2.000 hektare hutan terbakar di Sultra, terbesar di Konawe Selatan, lalu Konawe, Kolaka dan Buton. Pembakaran hutan, katanya, untuk buka kebun dan perternakan.
Jenis hutan terbakar pun beragam, antara lain, suaka margasatwa, hutan lindung, cagar alam, hutan tanaman industri, sampai taman nasional. “Di semua lokasi ini kami menemukan titik-titik api,” kata Fanca.
Upaya penyadaran, menurut Fanca, terus dilakukan, mulai sosialisasi sampai mendatangi rumah-rumah yang diduga pelaku pembakaran. Kebakaran beberapa wilayah ini, mengancam satwa terutama di Taman Nasional Rawa Aopa.
“Ini karena pembukaan lahan baru, warga bercocok tanam,” katanya.Kala memadamkan api, mereka melihat satwa-satwa mati terbakar. “Satwa hampir tiap saat kami temukan mati terbakar. Datanya kami belum rekap semua,” tandasnya.
Setiap saat, hutan di Sultra, habis akibat pembukaan lahan. Kondisi ini diperparah, belum ada teknik atau cara lain pengambilan sumber daya alam, yang ramah lingkungan tanpa mengganggu kealamian hutan.
“Yang sering dilakukan adalah reklamasi dengan menanam kembali bibit pohon baru atau tambang bawah tanah itupun belum ada contoh yang diterapkan di Sultra,” kata Didit, Ketua BLH Mapala Navernos, Fakultas Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Rabu 2 Januari 2019.
Tanpa pesimistis, Didit, memberi satu jawaban untuk memperbaiki kerusakan hutan di Sultra. Sebuah gerakan dengan tema Ekonomi Hijau yang mereka buat di Mapala Navernos, harapannya, mampu mengembalikan hijaunya hutan Sultra.
Ekonomi hijau ini kata Didit, tidak menghapus cara-cara lama seperti reboisasi dan reklamasi pasca-tambang, melainkan memanfaatkan kawasan-kawasan kosong dengan menanam pohon secara terus menerus untuk menopang kerusakan hutan.
“Selain itu kita berupaya untuk masuk pada kawasan-kawasan pasca-tambang untuk ditanami pohon. Sehingga ada upaya kolektif yang dihasilkan. Artinya tidak saja mengeruk sumber daya alamnya, melainkan menanam kembali pohon yang telah ditebang atau dirusak,” katanya.
Didit mencontohkan pemanfaatan kawasan kosong untuk penanaman pohon, dimulai dari dalam kampus UHO. Meningkatkan kesadaran mahasiswa, civitas akademik dan lembaga mahasiswa untuk sadar lingkungan yang bersih dan baik.
“Sehingga kemarin kami menanam pohong sebanyak 50 sampai 100 pohon berbagai jenis. Kedepannya kami akan keluar dari kampus dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembalikan kealamian hutan kita,” katanya.
Penanaman pohon dengan tema Ekonomi Hijau ini dilakukan pada periode Desember 2018 lalu. Kata Didit, kedepannya, mereka mendorong agar pelaku-pelaku bisnis yang bergerak pada pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, bisa bersama-sama menggalakan gerakan ekonomi hijau tersebut.
Berdasarkan penelitian Walhi Sulawesi Tenggara, ditemukan sekitar 640.000 hektare hutan dikuasai tambang dan sawit. Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektare dan 40.000-an hektare jadi kebun sawit, terluas pertambangan di Konawe Utara dengan 146 izin, disusul Kolaka dan Kolaka Utara. Untuk pembukaan lahan perkebunan, terbesar di Konawe Selatan dan Konawe Utara.
“Soal jumlah pasti kami belum temukan. Karena data pemerintah juga berubah-ubah. Keterbukaan informasi soal ini juga minim,” kata Udin Lentea, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.
Daerah lain yang turut menyumbang kerusakan hutan antara lain Kota Baubau dan Buton. Selain kerusakan akibat bisnis ekstraktif, hutan rusak menurut Yanuar Fanca Kusuma, Kepala Satgas Manggala Agni Daops Tinanggea, Konawe Selatan, adalah tindakan masyarakat membakar hutan.
Sepanjang 2017-2018, kata Yanuar Fanca Kusuma, ada 2.000 hektare hutan terbakar di Sultra, terbesar di Konawe Selatan, lalu Konawe, Kolaka dan Buton. Pembakaran hutan, katanya, untuk buka kebun dan perternakan.
Jenis hutan terbakar pun beragam, antara lain, suaka margasatwa, hutan lindung, cagar alam, hutan tanaman industri, sampai taman nasional. “Di semua lokasi ini kami menemukan titik-titik api,” kata Fanca.
Upaya penyadaran, menurut Fanca, terus dilakukan, mulai sosialisasi sampai mendatangi rumah-rumah yang diduga pelaku pembakaran. Kebakaran beberapa wilayah ini, mengancam satwa terutama di Taman Nasional Rawa Aopa.
“Ini karena pembukaan lahan baru, warga bercocok tanam,” katanya.Kala memadamkan api, mereka melihat satwa-satwa mati terbakar. “Satwa hampir tiap saat kami temukan mati terbakar. Datanya kami belum rekap semua,” tandasnya.
(sms)