Sertifikat Ambarukmo Plaza Tak Akan Diubah Atas Nama Kasultanan

Kamis, 01 November 2018 - 15:58 WIB
Sertifikat Ambarukmo...
Sertifikat Ambarukmo Plaza Tak Akan Diubah Atas Nama Kasultanan
A A A
YOGYAKARTA - Pemda DIY terus mengalakkan penyertifikatan tanah Sultanaat Grond (SG) atau Tanah Kasultanan Ground dan Pakualamanaat Grond (PAG) atau Tanah Kadipaten. Sesuai UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIJ No 1 Tahun 2017 mengamanatkan semua tanah SG disertifikatkan atas nama Kasultanan.

Anggota Parampara Praja DIY Suyitno di sela sosialiasasi Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No 49 Tahun 2018 di pendapa rumah dinas Bupati Bantul beberapa waktu lalu menyebut tanah kas desa yang sudah disertifikatkan dengan status hak pakai di atas tanah negara, harus dikembalikan statusnya menjadi milik kasultanan dan kadipaten. Statusnya berubah menjadi hak anggaduh. “Ini didasarkan pada pasal 11 ayat (2) Pergub No 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa,” ujarnya.

Sosialisasi diikuti para kepala desa dan perangkat desa se-Kabupaten Bantul. Pergub No 49 / 2018 ini mengatur tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Namun Suyitno memastikan, khusus untuk sertifikat tanah Ambarukmo Plaza (Amplaz) akan dipertahankan meski dalam sertifikat tersebut atas nama Sultan Hamengku Buwono tanpa angka romawi di belakangnya, bukan atas nama Kasultanan seperti dalam amanat Pergub.

Suyitno menegaskan sertifikat Amplaz tetap atas nama Sultan Hamengku Buwono. “Tanpa angka itu berarti statusnya milik lembaga, bukan milik pribadi. Jadi tidak perlu diubah,” tegasnya kepada wartawan usai acara sosialisasi.

Untuk diketahui, jauh sebelum adanya UUK, Keraton Yogya telah lebih dulu menyertifikatkan tanah Pesanggrahan Ambarukmo di Dusun Ambarukmo, Caturtunggal, Depok, Sleman. Persertifikatan diterbitkan di era 1990-an. Penerbitan sertifikat itu sempat memancing reaksi dari keturunan trah Sultan Hamengku Buwono (HB) VII. Mereka beralasan sertifikat atas nama Sultan Hamengku Buwono tanpa angka romawi itu menimbulkan ketidakpastian. Sebab, di keraton tidak ada Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta tanpa angka romawi.

Semua Sultan yang bertahta memiliki angka romawi di belakangnya mulai HB I hingga HB X. Hal ini dianggap membuat subjek hukum tidak pasti.

Pesanggrahan Ambarukmo pernah menjadi tempat tinggal Sultan Hamengku Buwono VII menghabiskan hari-hari tuanya hingga wafat 1921 di pesanggrahan tersebut.

Saat ini di kanan kiri pesanggrahan telah beridiri dua bagunan megah yakni Hotel Royal Ambarukmo dan Mal Ambarukmo.

Dalam kesempatan itu Suyitno mengakui tidak mudah memproses perubahan status tanah desa menjadi tanah kasultanan. Pasalnya tidak semua desa di DIY asal usul tanahnya dari kasultanan dan kadipaten.

Di Bantul ada 16 desa yang masuk wilayah enclave Kasunanan Surakarta Hadiningrat sementara di Kabupaten Gunungkidul ada 7 desa yang masuk wilayah enclave Kadipaten Mangkunegara. Enclave merupakan daerah kantong yang wilayahnya dikelilingi wilayah negara lain.

Secara pribadi Suyitno berpendapat, demi memudahkan sistem administrasi dirinya lebih sepakat tanah desa yang dulunya enclave Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran diatasnamakan tanah milik Kasultanan seperti tanah desa-desa lainnya.

“Kalau saya, (ini) saya tidak membela Kasultanan, tapi demi lancaranya pemerintahan administrasi apa tidak disamakan saja” ujarnya.

Anggota DPRD DIY Suharwanta mengingatkan agar Pemda DIY bersikap dan bertindak konsisten menjalankan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Dalam perdais itu dinyatakan tanah desa adalah tanah yang asal usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten. Fakta menunjukan di DIY ada tanah desa yang asal usulnya bukan dari Kasultanan dan Kadipaten.

“Dari asal usulnya tanah enclaave ini merupakan tanah wilayah Kasunanan Surakarta hasil Perjanjian Klaten 27 September 1830 pasca-Perang Diponegoro,” terangnya. Tanah enclave ini diakui secara sah oleh negara. Penggabungannya ke wilayah DIY menggunakan UU No 14 Tahun 1958.

“Jadi keberadaan tanah enclave tidak bisa diabaikan dan seolah-olah tidak ada. Tidak benar jika untuk alasan administrasi kemudian keberadaan tanah enclave diabaikan dan diklaim menjadi tanah Kasultanan,” tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2001 seconds (0.1#10.140)