Kalimas, Bukti Tetes Darah Gajah Mada dan Romantisme Van Imhof

Sabtu, 13 Oktober 2018 - 05:01 WIB
Kalimas, Bukti Tetes...
Kalimas, Bukti Tetes Darah Gajah Mada dan Romantisme Van Imhof
A A A
Tulisan kekaguman Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Imhoff pada April 1746 masih membekas dalam memoar perjalanannya.

Penggalan kalimat itu antara lain berbunyi “Saya melihat ketertiban dan keindahaan Kerajaan Surabaya. Hari pertama saya gunakan berkeliling di Jalanan sekitar Keputran, dan berperahu menyusuri Kalimas yang membelah kerajaan hingga di hilir.”

Buku catatan pribadinya tertulis kekaguman pada kerajaan yang selama ini hanya dengar karena cerita ketangguhannya. Kalimas tak hanya menjadi sungai yang memberikan irigasi pada peradaban di Surabaya, tapi sudah menjadi unsur yang romantis bagi orang yang melintas.

Aliran airnya seperti nafas yang terperam. Tenang dalam keheningan. Di sebuah Ujung Galuh, demikian Surabaya dulu dikenal oleh para penakluk. Mereka saling berebut untuk menduduki.

Senja baru saja terperam. Kilau cahaya merah memantul dari bibir Kalimas. Kilauan cahaya itu menyerupai butiran mutiara. Tak ada angin kecang, aliran air pun datar tanpa ombak yang bertentangan. Dentuman suara kendaraan dari jalanan lenyap ditelan gemericik air. Tak ada lagi suara gaduh yang mampu mengalahkan keindahan Kalimas.

Boediwardhana (30), masih membeku di atas kursi putih yang menghadap ke Kalimas. Wajahnya masih berseri memberikan pandangan penuh makna. Rambutnya tersisir rapi ke samping, angin kencang yang datang tak menbuatnya berpindah posisi. Di mejanya tersaji teh manis dalam kubangan cangkir motif kerajaan. Sebatang rokok masih menyala di asbak meja yang gagah.

Sore itu dia menunggu sang pujaan hati, Septiani. Kemejanya masih licin. Bau parfum semerbak terbawa arus angin yang begitu kencang di bibir sungai. Matanya tertuju pada kilauan air sungai. Di depannya deretan bunga matahari dan palem yang tinggi menjadi penyangga sungai.

Pantulan sinar dari air membuat gemerlap bangunan yang ada di sepanjang bibir sungai. Telepon seluler di saku celananya berdering,”Iya kita ketemu di sungai cinta ini.”

Belum selesai rokok sebatang dihisap, Septi sudah menampakan batang hidungnya. Kursi di depan Budi yang tadinya kosong langsung diduduki. Mereka kini memulai percakapan dan saling bergandengan tangan di sepanjang Kalimas Jalan Kayun. Mengenang sebuah sejarah panjang Surabaya dan memulai kehidupan cintanya.

Sungai legendaris itu membelah Surabaya menjadi dua wilayah, Westerkade Kalimas (sebelah Barat Kalimas) dan Osterkade Kalimas (sebelah Timur Kalimas) atau biasa disebut warga Surabaya daerah Kulon Kali dan Wetan Kali.

Pembagian wilayah memiliki penguasa dan ciri masing-masing. Daerah Wetan Kali menjadi kawasan perdagangan saudagar dari timur jauh. Kawasan itu meliputi Kembang Jepun, Pabean Cantikan dan Kapasan yang banyak didiami warga Tionghoa. Ada juga kawasan Ampel yang jadi rujukan para saudagar, pedagang Arab.

Lain lagi dengan daerah barat sungai yang dikenal sebagai wilayah Eropa. Kawasan koloni ini dipagari tembok kota yang bernuansa modern. Ada kubangan rawa penuh buaya agar tidak ditembus musuh dari pedalaman. Sebuah benteng pertahanan kuno yang tetap bertahan.

Direktur Surabaya Heritage Freddy H Istanto menuturkan, semenjak penguasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Kalimas menjadi salah satu sarana transportasi air yang ramai. Hilir mudik sampan dan perahu kecil mengangkut barang komoditi dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dari pelabuhan Tanjung Perak. Kondisi itu membuat roda perekonomian di Kota Pahlawan cepat bergerak.

Para pedagang, membawa masuk komoditi tersebut ke daerah pedalaman kota, mulai dari Kembangjepun (daerah Pecinan di Surabaya) hingga ke daerah Kayun (sekarang menjadi lokasi Plaza Surabaya).

Di kawasan Jalan Kayun dekat lokasi Plaza Surabaya ini bahkan pernah beroperasi jembatan gantung yang dapat diangkat saat ada kapal komoditas yang melintas masuk daerah tersebut. Kini jembatan tersebut sudah tidak dapat beroperasi lagi.

Freddy juga menjelaskan, Kalimas menjadi riwayat hidup kota Surabaya. Tetesan darah Gajah Mada pernah membanjiri Kalimas. Darah yang menetes itu berujung pada kemenangan pasukan Kerajaan Majapahit terhadap Tentara Mongol di Kalimas. Kemenangan itulah yang menggoreskan catatan sejarah lahirnya kota Surabaya pada 31 Mei 1293.

“Makanya lahirnya kota dengan lambang Suro dan Boyo. Lambang itu menandakan dua fauna penghuni air. Terlepas dari Suro dan Boyo adalah mitos atau legenda, Surabaya memang dibentuk utamanya dari potensi air,” ujarnya.

Kemenangan Majapahit terhadap Monggol yang juga dipimpin langsung oleh Raden Wijaya pada abad ke-18 menjadi pelecut perlawanan pribumi pada bangsa lain yang ingin menjajah. Prajurit Majapahit itu menumbangkan kekuatan Tar-Tar di Kalimas. Aksi heroik yang menjadi pertanda dan cikal bakal kemenangan.

Muara Kalimas sendiri merupakan pelabuhan tradisional Surabaya yang digunakan sejak berabad-abad yang lalu. Ia menjadi pintu gerbang menuju ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Kerajaan yang ingin ditaklukan oleh banyak pihak.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0788 seconds (0.1#10.140)