Rumah Kuno Saksi Bisu Patriotisme Putra Bupati Brebes
A
A
A
Suasana mistis sangat terasa begitu memasuki pekarangan sebuah rumah panggung berkonstruksi kayu, bambu dan kayu yang berada di Kampung Karang Sari, Desa Citalang, Kecamatan/Kabupaten Purwakarta. Aura mistis semakin begitu mengetahui jika rumah tersebut sudah berumur lebih dari satu abad.
Namun di balik kesan “menyeramkan” seperti itu ternyata rumah kuno tersebut mengandung patriotisme anak bangsa dalam upaya mengusir penjajah tempo dulu. Kisah patriotisme tertulis secara detail melalui beberapa literatur sejatah yang menjadi koleksi dari rumah kuno. Siapa pun yang berkunjung ke rumah kuno itu bisa mendapat penjelasan gamlang soal asal muasal salah satu cagar budaya itu.
Seorang tokoh masyarakat setempat, Jajat (52) menceritakan, sesuai catatan dalam sejarah rumah kuno, sekitar abad ke-17, empat orang anak Bupati Brebes, yaitu Raden Bangsa Yuda, Raden Mas Arfin, Raden Mas Dora, dan Raden Mas Sumadireja mengemban tugas berat, mengusir VOC dari Batavia. Keempat bersaudara itu pun kemudian berangkat ke Batavia dengan membawa prajurit terlatih.
Sayangnya, mereka harus bertempur dengan pasukan VOC di perbatasan Batavia. Karena kalah jumlah serta persenjataan, pasukan Brebes ini pun mengalami kegagalan. Dengan sisa-sisa pasukan yang ada mereka melarikan diri ke arah timur, tepatnya ke Kabupaten Karawang saat ini.
Keempat putra putra Bupati Brebes ini pun kembali menghimpun kekuatan selama lima tahun. “Setelah dirasa memiliki kekuatan cukup, mereka menyerang penguasa kolonial Belanda di Karawang. Lagi-lagi tersebut harus gagal,”ungkap Jajat kepada SINDOnews.
Ketiga putra Bupati Brebes pun lari ke arah Purwakarta, sedangkan Rd Mas Dora tidak ikut dan menetap di Pangkalan Karawang. Mereka pun akhirnya menetap di Kampung Legoksari, sekitar Situ Buleud yang saat ini menjadi lokasi Air Mancur Sri Baduga Maharaja.
Rupanya, dua kali gagal menyerang VOS tidak lantas semangat mereka kendur. Justru sebaliknya, jiwa patriotisme terus berkobar dan kembali mengonsolidasikan kekuatannya sebagai persiapan penyerangan yang ketiga kalinya terhadap penguasa Belanda yang ada di Purwakarta.
Dirasa kekuatan sudah cukup dan prajurit yang direkrutnya banyak. Akhirnya mereka melakukan penyerangan yang ketiga kalinya. Pertempuran hebat tak terelakan dengan jumlah korban dari kedua belah pihak taklah sedikit.
Lagi-lagi upaya pengusiran penjajah harus berakhir dengan kekalahan di pihak pasukan putra Bupati Brebes. Ketiganya pun melarikan diri ke arah selatan, yakni ke Kampung Citalang dan Gandasoli (Kecamatan Plered).
Menetapnya mereka di dua kampung itu terbilang cukup lama hingga akhirnya diputuskan untuk mencari daerah lain yang bisa memberikan penghidupan yang lebih layak. Setelah situasi cukup aman, ketiganya mulai melakukan pencarian ke arah selatan Purwakarta dan tiba di Kampung Cibalitung.
Di lokasi itu pun hanya dihuni oleh 7 kepala keluarga dengan keadaan lahan yang cukup gersang. Kedatangan para putra Bupati Brebes ini pun disambut baik 7 kepala keluarga yang telah lebih dulu menghuni perkampungan itu.
Hingga akhirnya Rd Mas Bangsa Yuda pada 1830 secara aklamasi menjadi pemimpin di perkampungan itu dengan gelar Patinggi I. “Kampung Cibaliung ini pun kemudian diganti dengan nama Kampung Citalang. Sama dengan nama Kampung Citalang di Plered. Beliau menjadi kepala desa hingga 1860,”terang Jajat.
Setelah Raden Mas Bangsa Yuda wafat, jabatan sebagai kepala desa dilanjutkan oleh adiknya, yakni Raden Mas Arfin hingga 1890 dengan gelar Patinggi II. Begitu pula ketika Patinggi II wafat, posisi kepala desa berlanjut kepada Patinggi III (Rd Mas Sumadireja 1890-1920).
Pada awal-awal pemerintahannya, Patinggi III memiliki keinginan untuk memiliki dan tinggal di sebuah rumah yang lebih layak. Hingga akhirnya pada 1900 dibangun sebuah rumah yang diawali dengan pengumpulan bahan selama lima tahun.
Rumah berukuran 16 X 8 m2 itu akhirnya rampung dan menjadi tempat tinggal Raden Mas Sumadireja. Hingga saat ini, rumah itu dikenal dengan istilah Rumah Kuno dan masih berdiri kokoh di Desa Citalang. “Rumah ini menjadi saksi sejarah perjuangan para putra Bupati Brebes dalam mengusir penjajah,” ujar Jajat.
Menurutnya, banyak pengunjung yang datang ke rumah kuno itu. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang sempat menggelar ritual mistis dengan tujuan tak jelas. Namun dia merasa tak bisa menerima praktik-praktik seperti itu karena bisa merusak akidah.
Hingga akhirnya Jajat marah besar dengan mengusir tamu-tamu yang mengelar ritual mistis seperti itu. “Saya berharap makna yang terkandung dalam rumah ini terus digali. Bukan dijadikan tempat untuk menggelar ritual-ritual mistis yang jelas,” ungkapnya.
Namun di balik kesan “menyeramkan” seperti itu ternyata rumah kuno tersebut mengandung patriotisme anak bangsa dalam upaya mengusir penjajah tempo dulu. Kisah patriotisme tertulis secara detail melalui beberapa literatur sejatah yang menjadi koleksi dari rumah kuno. Siapa pun yang berkunjung ke rumah kuno itu bisa mendapat penjelasan gamlang soal asal muasal salah satu cagar budaya itu.
Seorang tokoh masyarakat setempat, Jajat (52) menceritakan, sesuai catatan dalam sejarah rumah kuno, sekitar abad ke-17, empat orang anak Bupati Brebes, yaitu Raden Bangsa Yuda, Raden Mas Arfin, Raden Mas Dora, dan Raden Mas Sumadireja mengemban tugas berat, mengusir VOC dari Batavia. Keempat bersaudara itu pun kemudian berangkat ke Batavia dengan membawa prajurit terlatih.
Sayangnya, mereka harus bertempur dengan pasukan VOC di perbatasan Batavia. Karena kalah jumlah serta persenjataan, pasukan Brebes ini pun mengalami kegagalan. Dengan sisa-sisa pasukan yang ada mereka melarikan diri ke arah timur, tepatnya ke Kabupaten Karawang saat ini.
Keempat putra putra Bupati Brebes ini pun kembali menghimpun kekuatan selama lima tahun. “Setelah dirasa memiliki kekuatan cukup, mereka menyerang penguasa kolonial Belanda di Karawang. Lagi-lagi tersebut harus gagal,”ungkap Jajat kepada SINDOnews.
Ketiga putra Bupati Brebes pun lari ke arah Purwakarta, sedangkan Rd Mas Dora tidak ikut dan menetap di Pangkalan Karawang. Mereka pun akhirnya menetap di Kampung Legoksari, sekitar Situ Buleud yang saat ini menjadi lokasi Air Mancur Sri Baduga Maharaja.
Rupanya, dua kali gagal menyerang VOS tidak lantas semangat mereka kendur. Justru sebaliknya, jiwa patriotisme terus berkobar dan kembali mengonsolidasikan kekuatannya sebagai persiapan penyerangan yang ketiga kalinya terhadap penguasa Belanda yang ada di Purwakarta.
Dirasa kekuatan sudah cukup dan prajurit yang direkrutnya banyak. Akhirnya mereka melakukan penyerangan yang ketiga kalinya. Pertempuran hebat tak terelakan dengan jumlah korban dari kedua belah pihak taklah sedikit.
Lagi-lagi upaya pengusiran penjajah harus berakhir dengan kekalahan di pihak pasukan putra Bupati Brebes. Ketiganya pun melarikan diri ke arah selatan, yakni ke Kampung Citalang dan Gandasoli (Kecamatan Plered).
Menetapnya mereka di dua kampung itu terbilang cukup lama hingga akhirnya diputuskan untuk mencari daerah lain yang bisa memberikan penghidupan yang lebih layak. Setelah situasi cukup aman, ketiganya mulai melakukan pencarian ke arah selatan Purwakarta dan tiba di Kampung Cibalitung.
Di lokasi itu pun hanya dihuni oleh 7 kepala keluarga dengan keadaan lahan yang cukup gersang. Kedatangan para putra Bupati Brebes ini pun disambut baik 7 kepala keluarga yang telah lebih dulu menghuni perkampungan itu.
Hingga akhirnya Rd Mas Bangsa Yuda pada 1830 secara aklamasi menjadi pemimpin di perkampungan itu dengan gelar Patinggi I. “Kampung Cibaliung ini pun kemudian diganti dengan nama Kampung Citalang. Sama dengan nama Kampung Citalang di Plered. Beliau menjadi kepala desa hingga 1860,”terang Jajat.
Setelah Raden Mas Bangsa Yuda wafat, jabatan sebagai kepala desa dilanjutkan oleh adiknya, yakni Raden Mas Arfin hingga 1890 dengan gelar Patinggi II. Begitu pula ketika Patinggi II wafat, posisi kepala desa berlanjut kepada Patinggi III (Rd Mas Sumadireja 1890-1920).
Pada awal-awal pemerintahannya, Patinggi III memiliki keinginan untuk memiliki dan tinggal di sebuah rumah yang lebih layak. Hingga akhirnya pada 1900 dibangun sebuah rumah yang diawali dengan pengumpulan bahan selama lima tahun.
Rumah berukuran 16 X 8 m2 itu akhirnya rampung dan menjadi tempat tinggal Raden Mas Sumadireja. Hingga saat ini, rumah itu dikenal dengan istilah Rumah Kuno dan masih berdiri kokoh di Desa Citalang. “Rumah ini menjadi saksi sejarah perjuangan para putra Bupati Brebes dalam mengusir penjajah,” ujar Jajat.
Menurutnya, banyak pengunjung yang datang ke rumah kuno itu. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang sempat menggelar ritual mistis dengan tujuan tak jelas. Namun dia merasa tak bisa menerima praktik-praktik seperti itu karena bisa merusak akidah.
Hingga akhirnya Jajat marah besar dengan mengusir tamu-tamu yang mengelar ritual mistis seperti itu. “Saya berharap makna yang terkandung dalam rumah ini terus digali. Bukan dijadikan tempat untuk menggelar ritual-ritual mistis yang jelas,” ungkapnya.
(wib)