Tak Tahan Gempa, Ahli ITB Khawatirkan Bangunan Sekolah di Lombok
A
A
A
LOMBOK - Ahli Institut Teknologi Bandung (ITB) mengkhawatirkan bangunan sekolah di Lombok yang rentan terhadap gempa. Bangunan di sana dinilai tidak didesain untuk gempa di atas 7 skala richter (SR).
“Khusus untuk bangunan sekolah di Lombok, berdasar pengamatan dari reruntuhan yang yang terjadi di sana banyak elemen tambahan pada bangunan yang tergolong rentan terhadap gempa dan membahayakan kehidupan manusia pemakainya,” kata Kelompok Keahlian (KK) Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK-ITB) Dr Ing Ir Boedi Darma Sidi, MSA dalam siaran persnya, Senin (17/9/2018).
Menurut dia, kesimpulan itu mempertimbangkan kejadian gempa yang berturut-turut dengan magnitude rata-rata di atas 4 SR dan berdampak terhadap kerusakan. Hal itu memberikan kesimpulan yang kuat bahwa sekolah-sekolah yang ada dipastikan memang tidak diperhitungkan untuk magnitude sampai 7 SR. “Hal ini diperkuat oleh kondisi bahwa struktur utama sekolah-sekolah tersebut masih utuh pada saat gempa pertama terjadi,” ujarnya.
Atas kondisi itu, Boedi memberikan beberapa saran, bahwa perlu dilakukan kaji ulang dasar perencanaan struktur bangunan sekolah tahan gempa untuk wilayah tersebut. Diperlukan tenaga ahli bangunan gedung dalam perencanaan ataupun pemeriksaan dokumen pembangunan sekolah.
Diketahui, gempa di pulau Lombok termasuk daerah rawan gempa. Sejarah menunjukkan bahwa catatan kegempaan di pulau ini belum pernah sebesar yang terjadi pada 29 Juli 2018 (6,4 SR), pada 5 Agustus 2018 (7 SR) dan pada 9 Agustus 2018 (6,2 SR) serta gempa-gempa susulan berikutnya.
Penduduk setempat menyatakan bahwa di sana sering dirasakan adanya gempa, namun belum sampai menyebabkan kerusakan bangunan. Kondisi tersebut tampaknya membuat penduduk kawasan tersebut termasuk pemerintah daerah belum mempertimbangkan atau siap terhadap kemungkinan gempa yang lebih besar sebagaimana terjadi di atas.
“Khusus untuk bangunan sekolah di Lombok, berdasar pengamatan dari reruntuhan yang yang terjadi di sana banyak elemen tambahan pada bangunan yang tergolong rentan terhadap gempa dan membahayakan kehidupan manusia pemakainya,” kata Kelompok Keahlian (KK) Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK-ITB) Dr Ing Ir Boedi Darma Sidi, MSA dalam siaran persnya, Senin (17/9/2018).
Menurut dia, kesimpulan itu mempertimbangkan kejadian gempa yang berturut-turut dengan magnitude rata-rata di atas 4 SR dan berdampak terhadap kerusakan. Hal itu memberikan kesimpulan yang kuat bahwa sekolah-sekolah yang ada dipastikan memang tidak diperhitungkan untuk magnitude sampai 7 SR. “Hal ini diperkuat oleh kondisi bahwa struktur utama sekolah-sekolah tersebut masih utuh pada saat gempa pertama terjadi,” ujarnya.
Atas kondisi itu, Boedi memberikan beberapa saran, bahwa perlu dilakukan kaji ulang dasar perencanaan struktur bangunan sekolah tahan gempa untuk wilayah tersebut. Diperlukan tenaga ahli bangunan gedung dalam perencanaan ataupun pemeriksaan dokumen pembangunan sekolah.
Diketahui, gempa di pulau Lombok termasuk daerah rawan gempa. Sejarah menunjukkan bahwa catatan kegempaan di pulau ini belum pernah sebesar yang terjadi pada 29 Juli 2018 (6,4 SR), pada 5 Agustus 2018 (7 SR) dan pada 9 Agustus 2018 (6,2 SR) serta gempa-gempa susulan berikutnya.
Penduduk setempat menyatakan bahwa di sana sering dirasakan adanya gempa, namun belum sampai menyebabkan kerusakan bangunan. Kondisi tersebut tampaknya membuat penduduk kawasan tersebut termasuk pemerintah daerah belum mempertimbangkan atau siap terhadap kemungkinan gempa yang lebih besar sebagaimana terjadi di atas.
(wib)