Baik Tidak Baik, Tanah Timor Lebih Baik

Senin, 27 Agustus 2018 - 12:07 WIB
Baik Tidak Baik, Tanah Timor Lebih Baik
Baik Tidak Baik, Tanah Timor Lebih Baik
A A A
Bo lelebo Tanah Timor lelebo Bae sonde bae Tanah Timor lebe bae....

Senandung indah bait lagu itu meluncur manis dari mulut Jeremias Ouguts Pah. Semakin terdengar sempurna manakala bait-bait indah tersebut diiringi petikan jari-jemari Jeremias di atas sasando, alat musik tradisional masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ya, Jeremias sang maestro sasando, begitu orang-orang di Tanah Timor menyebutnya. Bukan tanpa alasan sebutan ini disematkan kepada pria berusia 79 tahun ini.

Sejak muda Jeremias memang sudah akrab dengan sasando dan di tangannyalah sasando kemudian bisa dikenal hingga mancanegara. Senyum mengembang mana kala tim Teras Indonesia KORAN SINDO-Bank BRI berkunjung ke kediaman Jeremias di Jalan Timor Raya, Km 22 Desa Oebelo, Kabupaten Kupang.

Jeremias merupakan salah satu tokoh dan orang tua yang sosoknya begitu penting dan berpengaruh di Tanah Timor. Belum lengkap rasanya ke Tanah Timor jika tak berkunjung ke kediamannya. “Mencintai sasando sama halnya mencintai Tanah Timor dan mencintai Indonesia. Kalau orang luar saja menghargai alat musik tradisional ini, seharusnya orang muda di Tanah Timor lebih mencintainya. Saya berharap anak-anak muda bisa melanjutkan impian saya melestarikan musik sasando sepanjang masa,” ungkap Jeremias dengan mata berkaca-kaca.

Kota Karang dan Semangat Menanam

Tentu bukan hanya Jeremias Ougust Pah dengan sasandonya saja yang menjadi kebanggaan masyarakat Tanah Timor. Masih banyak kebanggaan atau potensi lain yang ada di Tanah Timor, terkhusus di Kota Kupang yang notabene ibu kota Provinsi NTT. Meski kota Kupang dulu dikenal sebagai Kota Karang-lantaran hampir semua daerah di kota ini ditutupi batu karang-kini Kupang telah menjelma menjadi kota yang luar biasa.

“Bayangkan saja, untuk menggali sumur dengan kedalaman dua meter saja masyarakat di sini harus menggali sampai satu minggu atau bahkan bisa satu bulan. Karena batu karang semua mesti dipahat, tak bisa dicangkul. Jadi kalau melihat Kota Kupang sekarang ini banyak pembangunan di mana-mana seperti mimpi saja,” ujar David, 47, pedagang di Pasar Solor, Kota Tua, Kupang.

Karang hitam yang menurut cerita masyarakat setempat dulunya hanya ditumbuhi ilalang dan sangat tandus kini bak disulap menjadi kota yang lebih beradab dan penuh gairah hidup. Walau belum sepenuhnya mengalami kemajuan pesat, bisa dikatakan Kota Kupang telah setaraf dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Di mana-mana banyak bangunan berdiri seperti gedung pemerintahan, kampus, universitas, hotel, mal, termasuk infrastruktur berupa jalan, listrik, jembatan, pelabuhan, Bandara El Tari, pasar hingga permukiman masyarakat.

“Sejarahnya dulu Kota Kupang ini tak berpenghuni. Masyarakatnya orang-orang pendatang dari pulaupulau di NTT seperti dari Flores, Rote, Sabu, termasuk dari Maluku. Kota Kupang ramai sejak kedatangan VOC dan Portugis yang melakukan perdagangan rempah-rempah kayu cendana di daerah timur Indonesia,” kata Christin Gero, Kepala Seksi Bidang Edukasi dan Publikasi Museum Negeri Kupang.

Satu hal yang patut diacungi jempol, masyarakat di Tanah Timor, terkhusus Kupang, sangat suka menanam pohon. Bahkan untuk menggelorakan semangat menanam pohon, patung Tius Natun-tokoh penanam pohon di Tanah Timor-dibangun persis di tengah Kota Kupang. Patung Tius Natun yang berdiri gagah diapit dua patung lainnya, yakni patung gubernur kedua NTT Pietalo dan bupati keempat Kabupaten Kupang Paul Lawa Rihi. Patung Tius Natun yang membawa cangkul, Pietalo mengacungkan obor, dan Paul Lawarihi yang membawa bibit pohon semakin memberi pesan kuat atas semangat menanam pohon masyarakat Tanah Timor, khususnya Kota Kupang.

“Menanam pohon sudah menjadi kebiasaan dan keharusan masyarakat Kupang. Seperti tiada hari tanpa menanam pohon,” kata Rony Lotu, 49, salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Liliba, Kupang. Tokoh peduli lingkungan yang pernah mendapat pin emas menanam pohon terbanyak di NTT pada 2011 ini menyatakan, menanam pohon di Tanah Timor tidaklah mudah.

Apalagi iklim Tanah Timor yang panas, gersang, dan berbatu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk menanam dan merawat pohon. Bahkan, karena tak ada lahan berupa tanah lapang, tak jarang pohon yang ditanam harus diselipkan di antara celah batu.

“Kalau hanya menanam pohon mungkin itu mudah. Untuk merawat belum tentu semua orang bisa. Sementara menanam pohon di Kupang, jika tak disiram atau dirawat, itu sama artinya menanam untuk mati,” ujar Rony yang telah menanam 7.000 pohon di Kota Kupang.

Sejauh ini sudah sangat banyak kegiatan menanam pohon yang digalakkan Pemerintah Provinsi NTT dan juga pemerintah kota/kabupaten dalam Provinsi NTT, termasuk inisiatif menanam pohon yang dilakukan masyarakat baik kelompok maupun perseorangan. Gencarnya kegiatan menanam semakin menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menanam pohon sebagai upaya menyelamatkan bumi dan menjaga alam tetap lestari.

Dengan menanam pohon, keanekaragaman hayati berkembang, mata air bisa dihemat dan mata air baru bisa ditum buh kan. Hal itu juga pastinya mem berikan oksigen bagi kehidupan. Berdasarkan catatan, luas hutan NTT setelah dilakukan reviu perubahan peruntukan dan fungsinya adalah sebesar 1.742.399 hektare (ha) dengan luas di daratan 1.485.917 ha dan perairan 256.482 ha.

Untuk luas lahan kritis sebesar 2.667.705 ha, tersebar di dalam kawasan hutan seluas 758.811 ha dan di lahan hak/APL seluas 1.908.894 ha. Adapun untuk total pohon yang telah ditanam sejak 2008 sampai 2015 adalah sebanyak 92.804.687 pohon, termasuk hasil tanaman cendana melalui Gerakan Cendana Keluarga dan Hutan Tanaman Cendana sebanyak 555.060 pohon.

“Jika diizinkan, kita minta kepada pemerintah pusat da am hal ini Menteri Kehutanan agar kiranya masyarakat bisa menanami lahan-lahan di kawasan lindung dengan tanaman-tanaman produktif. Daripada lahan bebatuan itu dibiarkan dan hanya ditumbuhi sedikit ilalang, mending kita tanami dengan lamtoro. Kan bisa untuk pakan ternak. Apa lagi Kupang termasuk salah satu sentra peternakan sapi,” kata Wakil Bupati Kupang Korinus Masneno.

Fokus pada Pengembangan Garam

Sebagai ibu kota Provinsi NTT, membicarakan Kupang tentu mestilah mengikutkan cerita NTT secara luas. Diketahui paling sedikit NTT memiliki 566 pulau, sebanyak 432 pulau sudah punya nama, 134 pulau belum bernama, dan hanya 42 pulau saja yang telah dihuni oleh 5,5 juta penduduk. Ini berarti 524 pulau masih kosong atau bisa disebut sebagai “pulau perawan”. Luas daratan NTT adalah 48.718,10 km2 dan luas perairan sekitar 200.000 km2, di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dalam hamparan laut luas berikut gugusan pulau itulah terpendam potensi sumber ekonomi kelautan NTT, terutama ikan.

Khusus untuk di laut Kupang, ikan yang paling banyak diproduksi adalah ikan tongkol dengan jumlah produksi sebesar 3.971,36 ton pada 2015. Produksi ini meningkat sebesar 242,38 ton pada 2016. Yang menggembirakan, pemerintah daerah bersama pemerintah pusat saat ini tengah fokus pada pengembangan investasi garam di Kabupaten Kupang.

Bahkan barubaru ini Menteri BUMN Rini Soemarno melakukan panen garam bersama ratusan petani garam di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Keber ada anladang garam seluas 318 ha milik PT Garam ini merupakan salah satu lahan garam potensial yang masih akan terus di kembangkan untuk mendorong kapasitas produksi nasional dan perbaikan ekonomi masyarakat sekitar.

“Kami tentu sangat senang jika pemerintah memperhatikan kesejahteraan petani garam. Apalagi jika pemerintah memberi banyak bantuan. Bukan hanya untuk pengusahaan garam saja, tapi juga untuk pendidikan, kesehatan, dan lain-lainnya agar petani garam sejahtera dan pendapatannya meningkat,” kata Donald Kedoh, 22, pemuda petani garam di Desa Oeteta, Kabupaten Kupang.

Kaya Tradisi Laut

Tidak hanya dikaruniai sumber daya alam (SDA) berlimpah, masyarakat NTT juga punya tradisi dalam hubungannya dengan laut. Di Larantuka ada ritual Tikam Turo (pasang lilin) sepanjang area sebelum upa cara prosesi laut yang diikuti ribuan warga. Dalam upacara tradisional, suku Sumba yang menganut kepercayaan asli Marapu masih menjalani tradisi pasola-ketangkasan melempar lembing atau tombak-yang diawali prosesi adat penangkapan nyale atau cacing laut di pantai sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan.

Tradisi lainnya adalah perburuan ikan paus atau ikan besar di Laut Sawu yang ganas oleh para nelayan Lamalera di Pulau Lembata pada 1 Mei setiap tahunnya. Potensi lainnya yang perlu serius digarap adalah pengembangan kerajinan tenun tradisional. Bahkan hampir di semua daerah di NTT, terutama di Tanah Timor terdapat sentra perajin tenun.

Belum lagi potensi ternak sapi dan pakan ternak, pengembangan sentra-sentra pertanian, perkebunan, pariwisata hingga pengembangan energi listrik seperti tenaga surya, panas bumi, angin, dan energi bawah laut, termasuk pemanfaatan bendungan Raknamo yang baru diresmikan Presiden Joko Widodo pada 9 Januari 2018 lalu.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5610 seconds (0.1#10.140)