Dibully di Media Sosial, Ini Penjelasan Ganjar Pranowo Soal Tiwul
A
A
A
SALATIGA - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bercerita dirinya di-bully di media sosial gara-gara pemberitaan tentang tiwul di sejumlah media. Di hadapan 3.059 mahasiswa baru IAIN Salatiga, Ganjar menjelaskan hal itu terjadi karena adanya perbedaan persepsi.
Ganjar mengatakan pemberitaan bermula dari pertanyaan sejumlah wartawan seusai ia mengisi kuliah umum di Politeknik Negeri Semarang (Polines), belum lama ini. "Saya ditanya, ada warga di Kebumen yang mengalami kekeringan dan tidak memiliki beras lalu makan tiwul. Ya saya jawab tidak apa-apa makan tiwul," kata Ganjar pada acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2018 IAIN Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (8/8/2018).
Ganjar pun menanyakan kepada para mahasiswa apakah tahu apa itu tiwul dan bagaimana rasanya. "Tahu pak, enak," jawab mahasiswa serentak. "Iya tahulah tiwul itu dari singkong, enak saya suka," seloroh seorang mahasiswa.
Dari pernyataan itu, akhirnya muncul beberapa berita dengan persepsi yang berbeda sehingga hasil pemberitaannya beda. Ada media yang memberitakan bahwa Ganjar menganjurkan warganya makan tiwul. "Padahal, apa salahnya coba makan tiwul? Saya bilang makan tiwul boleh, ubi boleh, jagung boleh. Makanan pokok tidak harus beras," ujarnya.
Bahkan dari pemberitaan itu, Ganjar menceritakan ada seorang pejabat teras partai politik yang ikut berkomentar di Twitter. "Dia bilang, Pak Ganjar kalau tidak punya solusi ya jangan menganjurkan warganya makan tiwul. Berarti dia bukan orang Jawa Tengah," ungkapnya. (Baca Juga: Warga Tak Punya Stok Beras, Ganjar Pranowo Anjurkan Makan Tiwul
Selain itu, banyak komentar tidak bertanggung jawab yang justru mengaitkan tiwul dengan politik. Ia pun mengaku sangat menyayangkan hal itu. "Padahal tiwul itu tidak buruk dan enak banyak juga yang suka, janganlah disangkut-sangkutkan dengan politik," tuturnya.
Ganjar mengatakan republik ini memiliki sumber pangan yang sangat banyak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Ia pun mempersilakan masyarakat memanfaatkan kekayaan alam itu, seperti halnya warga Indonesia Timur yang memiliki bahan pangan pokok berupa sagu.
"Jadi kalau ada yang makan selain beras atau nasi, itu bentuk kemandirian bertahan hidup, survive dan termasuk diversifikasi pangan. Boleh-boleh saja, pangan itu ada banyak. Kalau memang ada yang kekurangan pangan di Jateng bilang saya, nanti saya bantu yang penting saya sampaikan jangan makan nasi aking," jelasnya.
Berbicara tentang tiwul, Ganjar meminta salah satu mahasiswa yang tidak memiliki handphone untuk maju dan menjelaskan apa itu tiwul. Akhirnya majulah Diki Sutikno mahasiswa Jurusan Sejarah peradaban Islam, Fakultas Ushluhuddin Adab dan Humaniora (Fuadah).
Mahasiswa asal Magelang itu berdialog dengan Ganjar cukup lama. Diki merupakan satu dari lima mahasiswa baru yang tidak memiliki handphone. Adanya mahasiswa yang tidak memiliki handphone itu sebelumnya disampaikan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan IAIN Walisongo Agus Waluyo. Lima mahasiswa itu disampaikan Agus sejak kecil tidak memiliki handphone atau berasal dari keluarga kurang mampu.
Pada dialog dengan Diki, Ganjar menyampaikan bahwa dari cerita tentang tiwul itu ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil. Utamanya yakni jika tidak mengetahui informasi yang jelas, maka cari tahu dulu, banyak membaca dan tabayyun.
"Tabayyun itu penting, menanyakan dulu karena kalau tidak, persepsi yang diterima bisa beda-beda. Terlebih lagi di era milenial dan era digital saat ini, informasi berseliweran di mana-mana. Jadi mari kita lebih arif dan bijaksana dalam merespons sesuatu, gunakan metodologi berfikir," katanya.
Pada kesempatan itu, Ganjar menanyakan pada Diki memiliki keahlian apa. Diki pun menyatakan bisa desain grafis. Mahasiswa yang bercita-cita jadi guru Sejarah Peradaban Islam ini akhirnya mendapat hadiah sebuah laptop.
Ganjar mengatakan pemberitaan bermula dari pertanyaan sejumlah wartawan seusai ia mengisi kuliah umum di Politeknik Negeri Semarang (Polines), belum lama ini. "Saya ditanya, ada warga di Kebumen yang mengalami kekeringan dan tidak memiliki beras lalu makan tiwul. Ya saya jawab tidak apa-apa makan tiwul," kata Ganjar pada acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2018 IAIN Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (8/8/2018).
Ganjar pun menanyakan kepada para mahasiswa apakah tahu apa itu tiwul dan bagaimana rasanya. "Tahu pak, enak," jawab mahasiswa serentak. "Iya tahulah tiwul itu dari singkong, enak saya suka," seloroh seorang mahasiswa.
Dari pernyataan itu, akhirnya muncul beberapa berita dengan persepsi yang berbeda sehingga hasil pemberitaannya beda. Ada media yang memberitakan bahwa Ganjar menganjurkan warganya makan tiwul. "Padahal, apa salahnya coba makan tiwul? Saya bilang makan tiwul boleh, ubi boleh, jagung boleh. Makanan pokok tidak harus beras," ujarnya.
Bahkan dari pemberitaan itu, Ganjar menceritakan ada seorang pejabat teras partai politik yang ikut berkomentar di Twitter. "Dia bilang, Pak Ganjar kalau tidak punya solusi ya jangan menganjurkan warganya makan tiwul. Berarti dia bukan orang Jawa Tengah," ungkapnya. (Baca Juga: Warga Tak Punya Stok Beras, Ganjar Pranowo Anjurkan Makan Tiwul
Selain itu, banyak komentar tidak bertanggung jawab yang justru mengaitkan tiwul dengan politik. Ia pun mengaku sangat menyayangkan hal itu. "Padahal tiwul itu tidak buruk dan enak banyak juga yang suka, janganlah disangkut-sangkutkan dengan politik," tuturnya.
Ganjar mengatakan republik ini memiliki sumber pangan yang sangat banyak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Ia pun mempersilakan masyarakat memanfaatkan kekayaan alam itu, seperti halnya warga Indonesia Timur yang memiliki bahan pangan pokok berupa sagu.
"Jadi kalau ada yang makan selain beras atau nasi, itu bentuk kemandirian bertahan hidup, survive dan termasuk diversifikasi pangan. Boleh-boleh saja, pangan itu ada banyak. Kalau memang ada yang kekurangan pangan di Jateng bilang saya, nanti saya bantu yang penting saya sampaikan jangan makan nasi aking," jelasnya.
Berbicara tentang tiwul, Ganjar meminta salah satu mahasiswa yang tidak memiliki handphone untuk maju dan menjelaskan apa itu tiwul. Akhirnya majulah Diki Sutikno mahasiswa Jurusan Sejarah peradaban Islam, Fakultas Ushluhuddin Adab dan Humaniora (Fuadah).
Mahasiswa asal Magelang itu berdialog dengan Ganjar cukup lama. Diki merupakan satu dari lima mahasiswa baru yang tidak memiliki handphone. Adanya mahasiswa yang tidak memiliki handphone itu sebelumnya disampaikan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan IAIN Walisongo Agus Waluyo. Lima mahasiswa itu disampaikan Agus sejak kecil tidak memiliki handphone atau berasal dari keluarga kurang mampu.
Pada dialog dengan Diki, Ganjar menyampaikan bahwa dari cerita tentang tiwul itu ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil. Utamanya yakni jika tidak mengetahui informasi yang jelas, maka cari tahu dulu, banyak membaca dan tabayyun.
"Tabayyun itu penting, menanyakan dulu karena kalau tidak, persepsi yang diterima bisa beda-beda. Terlebih lagi di era milenial dan era digital saat ini, informasi berseliweran di mana-mana. Jadi mari kita lebih arif dan bijaksana dalam merespons sesuatu, gunakan metodologi berfikir," katanya.
Pada kesempatan itu, Ganjar menanyakan pada Diki memiliki keahlian apa. Diki pun menyatakan bisa desain grafis. Mahasiswa yang bercita-cita jadi guru Sejarah Peradaban Islam ini akhirnya mendapat hadiah sebuah laptop.
(amm)