Masjid Agung Karawang, Pusat Penyebaran Islam di Kota Lumbung Padi

Sabtu, 30 Juni 2018 - 05:00 WIB
Masjid Agung Karawang, Pusat Penyebaran Islam di Kota Lumbung Padi
Masjid Agung Karawang, Pusat Penyebaran Islam di Kota Lumbung Padi
A A A
KARAWANG - Masjid Agung Karawang yang terletak di alun-alun kota Karawang sekarang berdiri megah dan merupakan bangunan bersejarah yang di miliki kabupaten berjuluk Kota Lumbung Padi ini.

Bangunan masjid ini berbentuk joglo dengan bertiang utama (saka guru) empat. Sedangkan atapnya berbentuk limas bersusun tiga undak, mirip dengan masjid Agung Cirebon atau masjid Agung Demak.

Masjid yang didirkan tahun 1418 masehi ini merupakan masjid paling tua di Pulau Jawa. Masjid Agung Karawang ini didirikan oleh Syekh Hasunudin bin Yusuf Sidik atau lebih dikenal sebagai Syeh Quro dan menjadi pusat penyebaran Islam di Kabupaten Karawang dan sekitarnya.

Menurut keterangan Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Agung Karawang, Acep Jamhuri mengatakan awalnya bangunan masjid yang didirikan oleh syeh Quro ini luasnya hanya 9 x 9 meter.

Namun dalam perkembangannya bangunan ini mengalami beberapa kali perombakan hingga terakhir luas bangunan ini mencapai luas 2.230 meter. Masjid Agung Karawang disebut-sebut sebagai masjid paling tua di Pulau Jawa.

Masjid ini didirikan pada tahun 1418 masehi oleh Syekh Hasunudin bin Yusuf Sidik ulama atau Syeh Quro. "Masjid ini lebih tua dibandingkan dengan Masjid Agung Cirebon (1475 masehi) dan Masjid Agung Demak (1479)," kata Acep.

Syekh Quro, kata Acep, tiba bersama rombongan sahabatnya, di antaranya adalah Syekh Abdurahman dan Syekh Maulana Darugem atau Syekh Gentong. Para ulama tersebut datang menggunakan perahu dagang melalui Sungai Citarum dan berhenti di pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum, yang merupakan pelabuhan Sundapura atau saat ini dikenal dengan Tanjungpura.

"Sungai Citarum dahulunya bisa dilewati kapal-kapal besar. Penjelajah Portugis menyebut Karawang ini sebagai Karavan karena antrian kapal-kapal besar. Syekh Quro berhenti di sana dan kemudian tidak jauh dari pelabuhan mendirikan Masjid Agung dan pesantren," katanya.

Saat dibangun, masjid ini berukuran 9x9 meter. Hingga saat ini sudah mengalami beberapa kali perombakan. Bentuk Awalnya, menurut Acep, memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Cirebon dan Demak yakni pada bangunan Joglo bertiang utama (saka guru) empat dan bentuk atap limas bersusun tiga undak.

Dia menjelaskan, masjid ini pernah mengalami perombakan sebanyak tiga kali, di antaranya adalah pada zaman Bupati Adipati Singaperbangsa, Raden Mangku Tohir Mangkudijoyo, kemudian dibenahi kembali pada zaman Bupati Sumarno Suradi atas persetujuan para ulama dengan luas 2.230 meter.

"Insya Allah pada pemerintahan Bupati Cellica akan benahi ke depan, termasuk komplek pemakamannya. Sehingga, nanti orang yang berdoa yang berziarah juga lebih representatif," sebutnya.

Acep mengatakan di belakang Masjid Agung terdapat makam Syekh Quro dan makam Syekh Abdurahman yang sering diziarahi oleh masyarakat Karawang dan luar Karawang. Saat bulan ramadhan kemarin ratusan penziarah datang ke Masjid Agung dari berbagai daerah untuk memanjatkan doa.

Hanya saja, hingga kini belum diketahui kebenarannya secara persis dimana Syekh Quro dimakamkan. Sebab, terdapat pula Makom Syekh Quro di Kampung Pulobata, Desa Pulokelapa, Kecamatan Lemahabang, Karawang. "Memang belum jelas sebenarnya dimakamkannya dimana karena ada dua tempat makam syekh quro," katanya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7396 seconds (0.1#10.140)