Ketimpangan Pertumbuhan Ekonomi di Jabar Picu Tingginya Angka Pengangguran
A
A
A
JAKARTA - Ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengangguran. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, tingkat pengangguran per Agustus 2017 mencapai 8,22%. Artinya, dari 100 angkatan kerja, delapan hingga sembilan merupakan pengangguran.
Pengamat perencanaan dan pembangunan Tatang Suheri mengatakan, perekonomian Jabar masih terlalu bersandar pada Jabar di wilayah utara, salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Dengan demikian, ketimpangan akan selalu terasa di daerah-daerah.
"Kita tidak bisa memungkiri, kawasan Jababeka adalah lokomotif ekonomi Jabar. Sayangnya, hal ini tidak diikuti oleh daerah lain. Investasi baik asing maupun domestik masih terpusat di situ saja," ujar Tatang dalam pernyataan tertulis yang dikrimkan ke SINDOnews, Selasa (5/6/2018).
Keterpusatan perekonomian pada satu-dua wilayah, lanjut Tatang, tentunya berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja dari daerah-daerah. Sumber daya manusia berkualitas dari desa terserap ke satu kawasan, sementara di desa-desa tersisa SDM kelas dua atau tiga.
"Dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah provinsi khususnya untk mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi hingga ke desa-desa," ujarnya.
Sementara itu, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, Deden Rukmana menegaskan, industri ekonomi kreatif harus dikembangkan dan dikelola dengan baik, tidak melulu mengandalkan ekonomi berbasis sumber daya alam untuk wujudkan pemerataan ekonomi.
"Jabar sebenarnya memiliki potensi besar dalam hal jumlah penduduk dan letak geografis. Tapi ternyata tidak dikelola dengan baik, jadi ketimpangan masih terasa, dan tingginya angka pengangguran jadi salah satu masalahnya," ujarnya.
Kegiatan pertanian di Jabar mesti dikuatkan. Ditunjang dengan ekonomi kreatif. “Kita tidak bisa lagi mengandalkan natural-resources based economy untuk pertumbuhan ekonomi di abad ke-21 ini. Kita mesti mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif di perkotaan dan perdesaan. Kita ciptakan linkage yang lebih baik antara perkotaan dan pedesaan di Jabar,” jelasnya.
Selain itu, kata Deden, masyarakat Jabar mesti berpikir dan memanfaatkan potensi wilayah untuk berkompetisi global. “Jabar perlu pemimpin yang mengerti tentang isu-isu penting di wilayah perkotaan dan perdesaan, serta mengatasi permasalahan dengan pendekatan inovasi,” lanjutnya.
Dia juga menekankan, dengan segala keunggulannya, Jabar membutuhkan perubahan dalam diri sosok pemimpin yang memiliki pendekatan solutif dan disruptif terkait permasalahan ketimpangan ekonomi perkotaan-pedesaan. “Figur perubahan Jawa Barat tersebut ada pada Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum (Rindu),” tandasnya.
Pengamat perencanaan dan pembangunan Tatang Suheri mengatakan, perekonomian Jabar masih terlalu bersandar pada Jabar di wilayah utara, salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Dengan demikian, ketimpangan akan selalu terasa di daerah-daerah.
"Kita tidak bisa memungkiri, kawasan Jababeka adalah lokomotif ekonomi Jabar. Sayangnya, hal ini tidak diikuti oleh daerah lain. Investasi baik asing maupun domestik masih terpusat di situ saja," ujar Tatang dalam pernyataan tertulis yang dikrimkan ke SINDOnews, Selasa (5/6/2018).
Keterpusatan perekonomian pada satu-dua wilayah, lanjut Tatang, tentunya berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja dari daerah-daerah. Sumber daya manusia berkualitas dari desa terserap ke satu kawasan, sementara di desa-desa tersisa SDM kelas dua atau tiga.
"Dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah provinsi khususnya untk mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi hingga ke desa-desa," ujarnya.
Sementara itu, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, Deden Rukmana menegaskan, industri ekonomi kreatif harus dikembangkan dan dikelola dengan baik, tidak melulu mengandalkan ekonomi berbasis sumber daya alam untuk wujudkan pemerataan ekonomi.
"Jabar sebenarnya memiliki potensi besar dalam hal jumlah penduduk dan letak geografis. Tapi ternyata tidak dikelola dengan baik, jadi ketimpangan masih terasa, dan tingginya angka pengangguran jadi salah satu masalahnya," ujarnya.
Kegiatan pertanian di Jabar mesti dikuatkan. Ditunjang dengan ekonomi kreatif. “Kita tidak bisa lagi mengandalkan natural-resources based economy untuk pertumbuhan ekonomi di abad ke-21 ini. Kita mesti mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif di perkotaan dan perdesaan. Kita ciptakan linkage yang lebih baik antara perkotaan dan pedesaan di Jabar,” jelasnya.
Selain itu, kata Deden, masyarakat Jabar mesti berpikir dan memanfaatkan potensi wilayah untuk berkompetisi global. “Jabar perlu pemimpin yang mengerti tentang isu-isu penting di wilayah perkotaan dan perdesaan, serta mengatasi permasalahan dengan pendekatan inovasi,” lanjutnya.
Dia juga menekankan, dengan segala keunggulannya, Jabar membutuhkan perubahan dalam diri sosok pemimpin yang memiliki pendekatan solutif dan disruptif terkait permasalahan ketimpangan ekonomi perkotaan-pedesaan. “Figur perubahan Jawa Barat tersebut ada pada Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum (Rindu),” tandasnya.
(sms)