Imbas Masalah Keluarga dan Khawatir Gagal Masuk SMA Favorit, EPA Gantung Diri

Rabu, 30 Mei 2018 - 22:07 WIB
Imbas Masalah Keluarga dan Khawatir Gagal Masuk SMA Favorit, EPA Gantung Diri
Imbas Masalah Keluarga dan Khawatir Gagal Masuk SMA Favorit, EPA Gantung Diri
A A A
BLITAR - Remaja putri berinisial EPA (16) ditemukan tewas tergantung di pintu kamar kosnya di Kelurahan Sananwetan, Kota Blitar. EPA yang tahun ini lulus dari SMPN 01 Kota Blitar itu diduga sengaja menyudahi hidupnya.

Informasi yang dihimpun, dorongan EPA mengakhiri hidup diduga karena khawatir gagal masuk SMAN 01 Kota Blitar. Bagi keluarga EPA, masuk SMAN 01 seperti semacam keharusan.

Sementara meski nilai UAN-nya relatif tinggi, yakni 35,95, kebijakan zonasi, membuat peluang EPA masuk SMAN 01 Kota Blitar hanya tinggal 5 persen. Kebijakan zonasi yang diterapkan Pemrov Jatim memprioritaskan warga yang berdomisili dekat sekolahan.

Selain masalah sekolah, aksi nekat EPA juga diduga kuat karena masalah keluarga."Korban diduga bunuh dirikarena masalah keluarga. Ini berdasarkan keterangan kakak korban yang sering dicurhati sebelum yang bersangkutan meninggal dunia," ujar Kasatreskrim Polres Blitar Kota AKP Heri Sugiono kepada wartawan Rabu (30/5/2018).

Peristiwa bunuh diri itu terjadi Selasa (29/5). Mariani, pembantu yang mengasuh EPA sejak kecil, pertama kali melihat EPA tergantung. Mariani usai membeli makan tidak jauh dari kos. Dia melihat anak majikannya sudah tidak bernyawa.

Saat gantung diri Dalam kematiannya EPA mengenakan kaos oblong warna hijau dipadu celana pendek oranye. Seutas tambang menjerat lehernya.

Tambang warna biru yang terikat pada kusen pintu kamar kos.Tidak jauh dari jasad EPA, sebuah kursi plastik alias dingklik dalam keadaan terhempas.

Diduga dingklik itu menjadi tumpuan kaki EPA saat proses bunuh diri berlangsung."Di lokasi juga ditemukan beberapa lembar surat yang diduga tulisan tangan korban," sebut Heri.

Ada juga ditemukan surat tertulis nama EPA. Juga tanggal tulisan dibuat, yakni 29 Mei 2018. Isi pesan ditujukan kepada keluarga dan pengasuhnya. Di antaranya meminta jasadnya ditempatkan di Paramitra Kota Blitar, yakni yayasan persemayaman jenazah sebelum dikremasi.

EPA meminta peti mati warna putih. Dalam surat juga tertulis permintaan keluarga untuk tidak memasang bendera putih (kematian) di rumah.
Dia melarang keluarga memberitahu teman SD dan SMP karena tidak ingin semua tahu dirinya telah menyerah.

Kepada Marini , EPA menulis pesan untuk tidak histeris dan memanggil orang. Dia memintacukup menghubungi pihak RS Mardi Waluyo dan menggunakan kartu BPJS yang sudah disiapkan dalam tas kain kanvas.

Sementara kepada mamanya, EPA meminta menutup praktik hingga usai Lebaran. Pesan selebihnya permintaan maaf kepada keluarga pemilik kos, karena telah memilih kamar kos untuk mengakhiri hidup.

Informasi yang dihimpun, ibu korban seorang dokter gigi yang membuka praktek di wilayah Srengat. Ayah korban juga seorang dokter, yang juga praktek di Srengat. Namun pasutri yang sama-sama berprofesi dokter itu kabarnya telah berpisah.

Selain jarak sekolah yang relatif jauh (Srengat-Kota Blitar), faktor perceraian orang tua diduga yang mendorong korban memilih hidup pengasuhnya di kos.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9116 seconds (0.1#10.140)