Ahli Jelaskan Tentang Alur Perizinan Pendidikan Injili Arastamar
A
A
A
SERANG - Setelah sempat tertunda 1 minggu lalu karena kedua saksi ahli tidak hadir dan pergantian Hakim Ketua. Sidang dugaan penerbitan ijazah palsu STT Injili Arastamar kembali digelar di PN Jakarta Timur, Rabu (2/5/2018). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua orang saksi dari Ditjen Bimas Kristen, Kementrian Agama.
Saksi pertama Kasubdit Perguruan Tinggi di Ditjen Bimas Sumarsono dirinya mengaku tahu soal dugaan kasus ijazah palsu oleh STT Injili Arastamar setelah mendapatkan surat dari Polda Metro Jaya. “Tanggal 6 Februari 2017,” ujarnya kepada majelis hakim.
Dia menegaskan surat tersebut berisi perihal wewenang Kemenag terhadap prodi PGSD STT Injili Arastamar. Kemudian pada 11 Februari 2017, Kemenag mengirimkan surat balasan kepada Polda Metro Jaya.
“Surat itu berisi balasan jika PGSD bukan wewenang dari Kemenag. Tapi wewenang dari Kemenristekdikti,” terangnya.
Pria yang bertugas di Ditjen Bimas sejak 2013 itu menyebutkan, nama STT Injili Arastamar terdaftar di Pangkalan Data Dikti. Aktif secara nama, lanjutnya. “Tapi kalau yang terdaftar terkait prodi, PGSD tidak ada di pangkalan data DIKTI, sebab Kemenristek dikti hanya mencatat di awal yang sudah terdaftar di pangkalan, " ungkap Sumarsono.
Sementara itu Jonson Parulian yang berperan sebagai Kasubbag Hukum di Ditjen Bimas.
Memaparkan legalitas ijazah STT Setia dipertanyakan di depan hakim dipertanyakan. Pasalanya dari ijazah yang dihadirkan mempunyai banyak kejanggalan di antaranya perihal tandatangan yang ang mensetujui ijazah tersebut yang tidak seharusnya.
“Kemenag dalam kasus ini sangat dirugikan. Jelas sangat dirugikan. Sebab, ada beberapa kesalahan dan kejanggalan terhadap STT Injili Arastamar,” terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, Kemenag tidak pernah memberikan ijin untuk prodi PGSD. Kemenag hanya memberikan ijin untuk prodi teologi dan pendidikan agama Kristen, serta pendetaan
" PGSD adalah domain kerja dari Kemenristekdikti. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 180/1997. Oleh karenanya, kejanggalan lain adalah, ijazah itu tidak sesuai legalitas yang ada,” ungkapnya.
Jhonson menegaskan ijazah yang dikeluarkan oleh STT Injili Arastamar dicantumkan PMA 180/1997. Dan hal itu tidak tepat.
“Penyalahan nomenklatur pada ijazah yang dikeluarkan. Itu aturan dari Kemenag. Lalu, ijazah yang dikeluarkan prodi PGSD. Kemenag tidak punya untuk prodi itu, cacat hukum. Itu tidak bisa dipakai di mana saja. Itu merugikan mahasiswa,” ujarnya.
Sementara itu, Pengacara terdakwa Tomi Sihotang di dalam persidangan mengatakan pihaknya mempertanyakan penjelasan para saksi yang dipaparkan di persidangan. Menurutnya apakah para saksi kapasitasnya berdasarkan pengetahuaan umum atau karena wewenangnya.
" Jadi ijazah itu jika harus anda punya wewenang dan pengetahuan umum Anda saksi tahu ijazah Akreditasi A dan B itu gimana, lalu logo ijazah seharusnya berlogo burung garuda , kemenristik dikti atau kemenag, tutur Tomi di ruang persidangan.
Namun Jaksa penutut umum Asnawi mengungkapkan alasan mengapa dirinya mendatangkan Sumarsono dan Jonson. Dia menyebut, keduanya bisa membeberkan fakta terkait legalitas dan status dari STT Injili Arastamar. “Itu ijazah sudah jelas melanggar hukum yang ada. Dan, tidak sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan oleh saksi juga,” tuturnya singkat setelah persidangan.
.
Sementara itu penasihat hukum korban, Yakob Budiman Hutapea dari Kantor Advokat Sabar Ompu Sunggu menyatakan, dakwaan yang dipaparkan dalam persidangan telah terbukti. Hal itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh beberapa saksi di persidangan.
“Tanpa bermaksud mendahului putusan pengadilan. Berdasar keterangan saksi dari Dikti dan Kemenag pada persidangan hari ini sudah semakin tegas membuktikan bahwa penyelenggaraan PGSD melanggar hukum yang berlaku,” papar Yakob.
Penasihat Hukum terdakwa, Tommy Sihotang menyatakan, pekan depan pihaknya akan menghadirkan saksi meringankan. Sebenarnya, saksi terdakwa telah hadir hari ini. Namun, hakim ketua menolak untuk memeriksa. Sebab, hakim memiliki agenda sidang lain.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan, yakni, pada Senin (7/5) dan Rabu (9/5). Dengan agenda selanjutnya adalah pemeriksaan saksi dari pihak terdakwa. Seperti diketahui korban dugaan penerbitan ijazah palsu jumlahnya ratusan orang dari 8 kabupaten di Papua tepatnya 654 orang
Saksi pertama Kasubdit Perguruan Tinggi di Ditjen Bimas Sumarsono dirinya mengaku tahu soal dugaan kasus ijazah palsu oleh STT Injili Arastamar setelah mendapatkan surat dari Polda Metro Jaya. “Tanggal 6 Februari 2017,” ujarnya kepada majelis hakim.
Dia menegaskan surat tersebut berisi perihal wewenang Kemenag terhadap prodi PGSD STT Injili Arastamar. Kemudian pada 11 Februari 2017, Kemenag mengirimkan surat balasan kepada Polda Metro Jaya.
“Surat itu berisi balasan jika PGSD bukan wewenang dari Kemenag. Tapi wewenang dari Kemenristekdikti,” terangnya.
Pria yang bertugas di Ditjen Bimas sejak 2013 itu menyebutkan, nama STT Injili Arastamar terdaftar di Pangkalan Data Dikti. Aktif secara nama, lanjutnya. “Tapi kalau yang terdaftar terkait prodi, PGSD tidak ada di pangkalan data DIKTI, sebab Kemenristek dikti hanya mencatat di awal yang sudah terdaftar di pangkalan, " ungkap Sumarsono.
Sementara itu Jonson Parulian yang berperan sebagai Kasubbag Hukum di Ditjen Bimas.
Memaparkan legalitas ijazah STT Setia dipertanyakan di depan hakim dipertanyakan. Pasalanya dari ijazah yang dihadirkan mempunyai banyak kejanggalan di antaranya perihal tandatangan yang ang mensetujui ijazah tersebut yang tidak seharusnya.
“Kemenag dalam kasus ini sangat dirugikan. Jelas sangat dirugikan. Sebab, ada beberapa kesalahan dan kejanggalan terhadap STT Injili Arastamar,” terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, Kemenag tidak pernah memberikan ijin untuk prodi PGSD. Kemenag hanya memberikan ijin untuk prodi teologi dan pendidikan agama Kristen, serta pendetaan
" PGSD adalah domain kerja dari Kemenristekdikti. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 180/1997. Oleh karenanya, kejanggalan lain adalah, ijazah itu tidak sesuai legalitas yang ada,” ungkapnya.
Jhonson menegaskan ijazah yang dikeluarkan oleh STT Injili Arastamar dicantumkan PMA 180/1997. Dan hal itu tidak tepat.
“Penyalahan nomenklatur pada ijazah yang dikeluarkan. Itu aturan dari Kemenag. Lalu, ijazah yang dikeluarkan prodi PGSD. Kemenag tidak punya untuk prodi itu, cacat hukum. Itu tidak bisa dipakai di mana saja. Itu merugikan mahasiswa,” ujarnya.
Sementara itu, Pengacara terdakwa Tomi Sihotang di dalam persidangan mengatakan pihaknya mempertanyakan penjelasan para saksi yang dipaparkan di persidangan. Menurutnya apakah para saksi kapasitasnya berdasarkan pengetahuaan umum atau karena wewenangnya.
" Jadi ijazah itu jika harus anda punya wewenang dan pengetahuan umum Anda saksi tahu ijazah Akreditasi A dan B itu gimana, lalu logo ijazah seharusnya berlogo burung garuda , kemenristik dikti atau kemenag, tutur Tomi di ruang persidangan.
Namun Jaksa penutut umum Asnawi mengungkapkan alasan mengapa dirinya mendatangkan Sumarsono dan Jonson. Dia menyebut, keduanya bisa membeberkan fakta terkait legalitas dan status dari STT Injili Arastamar. “Itu ijazah sudah jelas melanggar hukum yang ada. Dan, tidak sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan oleh saksi juga,” tuturnya singkat setelah persidangan.
.
Sementara itu penasihat hukum korban, Yakob Budiman Hutapea dari Kantor Advokat Sabar Ompu Sunggu menyatakan, dakwaan yang dipaparkan dalam persidangan telah terbukti. Hal itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh beberapa saksi di persidangan.
“Tanpa bermaksud mendahului putusan pengadilan. Berdasar keterangan saksi dari Dikti dan Kemenag pada persidangan hari ini sudah semakin tegas membuktikan bahwa penyelenggaraan PGSD melanggar hukum yang berlaku,” papar Yakob.
Penasihat Hukum terdakwa, Tommy Sihotang menyatakan, pekan depan pihaknya akan menghadirkan saksi meringankan. Sebenarnya, saksi terdakwa telah hadir hari ini. Namun, hakim ketua menolak untuk memeriksa. Sebab, hakim memiliki agenda sidang lain.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan, yakni, pada Senin (7/5) dan Rabu (9/5). Dengan agenda selanjutnya adalah pemeriksaan saksi dari pihak terdakwa. Seperti diketahui korban dugaan penerbitan ijazah palsu jumlahnya ratusan orang dari 8 kabupaten di Papua tepatnya 654 orang
(mhd)