Kasus Anak Putus Sekolah di Kota Semarang Masih Tinggi
A
A
A
SEMARANG - Kasus anak putus sekolah di Kota Semarang masih cukup tinggi. Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Stastistik (BPS) Kota Semarang, setidaknya rata-rata anak sekolah di Kota Semarang baru mencapai 10,67 tahun.
Berdasarkan data statistik, untuk sekolah dasar sudah mencapai 100%, sementara untuk usia sekolah menengah pertama (SMP) baru mencapai 96% untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan mencapai 98%. Sementara, untuk anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) baru sekitar 75,67 % untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan sebesar 77,32%.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui masih tingginya angka putus sekolah atau yang belum melanjutkan ke jenjang SMA sesuai program pemerintah wajib belajar 12 tahun. "Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Stastistik (BPS) Kota Semarang, setidaknya rata-rata anak sekolah di Kota Semarang baru mencapai 10,67 tahun," katanya, Selasa (27/3/2018).
Politikus PDI Perjuangan ini menyatakan, ada tiga sektor yang menjadi modal penguatan ekonomi yakni kesehatan, perbaikan infrastrukur yang menunjang perekonomian, dan pendidikan. Yang paling besar memengaruhi progres standar pembangunan pusat yakni Indeks Pembangunan manusia. Kalau ekonomi lancar on the track, kesehatan juga sudah baik apalagi ada UHC (Universal Health Coverage), pekerjaan rumah selanjutnya ada di pendidikan karena jaraknya sangat jauh, rata-rata orang anak sekolah maih 10,67 tahun atau tidak sampai tamat SMA.
Hendi menyatakan, masih tingginya angka putus sekolah merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan selama kepemimpinannya. Menurutnya, dari beberapa faktor putus sekolah yang terjadi di Kota Semarang, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utamanya. Hal itu karena untuk jenjang SMA tidak digratiskan.
"Dulu Pemerintah Kota Semarang menggratiskan biaya pendidikan SMA namun karena kewenangan ditarik Pemprov Jateng hal itu tidak bisa dilaksanakan lagi," ujarnya.
Saat ini, lanjutnya Pemerintah Kota Semarang baru bisa menggratiskan biaya SD hingga SMP dan terbukti mampu mengurangi angka putus sekolah untuk jenjang SMP.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Agung Budi Margono mengatakan, persoalan angka putus sekolah di Kota Semarang memang masih menjadi pekerjaan yang harus dituntaskan oleh pemerintah.
Menurut dia, penyebab masih tingginya angka putus sekolah, tidak lepas dari faktor kemiskinan dan juga faktor orang tua yang kurang mementingkan pendidikan dalam keluarga.
"Penyebabnya ini perlu ditelusuri, untuk melakukan langkah mengurangi angka putus sekolah," katanya.
Karena itu, kata dia, perlu ada edukasi dan pendampingan terhadap keluarga miskin di Kota Semarang. Untuk pendampingan bisa melibatkan stakeholder dan seluruh elemen masyarakat yang ada. "Yang terpenting adalah untuk menurunkan angka putus sekolah pertama-tama perlu pengentasan kemiskinan, karena menjadi faktor utamanya. Dengan pengentasan kemiskinan dan juga adanya pendampingan, pendidikan akan semakin meningkat," tandasnya.
Berdasarkan data statistik, untuk sekolah dasar sudah mencapai 100%, sementara untuk usia sekolah menengah pertama (SMP) baru mencapai 96% untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan mencapai 98%. Sementara, untuk anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) baru sekitar 75,67 % untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan sebesar 77,32%.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui masih tingginya angka putus sekolah atau yang belum melanjutkan ke jenjang SMA sesuai program pemerintah wajib belajar 12 tahun. "Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Stastistik (BPS) Kota Semarang, setidaknya rata-rata anak sekolah di Kota Semarang baru mencapai 10,67 tahun," katanya, Selasa (27/3/2018).
Politikus PDI Perjuangan ini menyatakan, ada tiga sektor yang menjadi modal penguatan ekonomi yakni kesehatan, perbaikan infrastrukur yang menunjang perekonomian, dan pendidikan. Yang paling besar memengaruhi progres standar pembangunan pusat yakni Indeks Pembangunan manusia. Kalau ekonomi lancar on the track, kesehatan juga sudah baik apalagi ada UHC (Universal Health Coverage), pekerjaan rumah selanjutnya ada di pendidikan karena jaraknya sangat jauh, rata-rata orang anak sekolah maih 10,67 tahun atau tidak sampai tamat SMA.
Hendi menyatakan, masih tingginya angka putus sekolah merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan selama kepemimpinannya. Menurutnya, dari beberapa faktor putus sekolah yang terjadi di Kota Semarang, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utamanya. Hal itu karena untuk jenjang SMA tidak digratiskan.
"Dulu Pemerintah Kota Semarang menggratiskan biaya pendidikan SMA namun karena kewenangan ditarik Pemprov Jateng hal itu tidak bisa dilaksanakan lagi," ujarnya.
Saat ini, lanjutnya Pemerintah Kota Semarang baru bisa menggratiskan biaya SD hingga SMP dan terbukti mampu mengurangi angka putus sekolah untuk jenjang SMP.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Agung Budi Margono mengatakan, persoalan angka putus sekolah di Kota Semarang memang masih menjadi pekerjaan yang harus dituntaskan oleh pemerintah.
Menurut dia, penyebab masih tingginya angka putus sekolah, tidak lepas dari faktor kemiskinan dan juga faktor orang tua yang kurang mementingkan pendidikan dalam keluarga.
"Penyebabnya ini perlu ditelusuri, untuk melakukan langkah mengurangi angka putus sekolah," katanya.
Karena itu, kata dia, perlu ada edukasi dan pendampingan terhadap keluarga miskin di Kota Semarang. Untuk pendampingan bisa melibatkan stakeholder dan seluruh elemen masyarakat yang ada. "Yang terpenting adalah untuk menurunkan angka putus sekolah pertama-tama perlu pengentasan kemiskinan, karena menjadi faktor utamanya. Dengan pengentasan kemiskinan dan juga adanya pendampingan, pendidikan akan semakin meningkat," tandasnya.
(zik)