Suap Pilkada Garut 2018, Heri dan Ade Jalani Sidang Kode Etik
A
A
A
BANDUNG - Komisioner KPU Kabupaten Garut nonaktif Ade Sudrajad dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut nonaktif Heri Hasan Basri menjalani sidang kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Mapolda Jabar, Senin (26/3/2018).
Sidang dipimpin oleh Alfitra Salam sebagai ketua dan Affan Sulaeman. Alfitra merupakan anggota DKPP dan Affan anggota DKPP sebagai tim pemeriksa daerah wilayah Jabar dari unsur masyarakat.
Dalam persidangan, Ketua Panwaslu Garut nonaktif Heri Hasan Basri mengaku, uang Rp10 juta yang disangkakan kepadanya adalah uang jual beli kambing. "Yang bisa saya pertanggungjawabkan adalah soal jual beli kambing senilai Rp10 juta yang ditransfer ke rekening saya. Saya baru tahu ternyata uang tersebut ditransfer oleh Soni Sondani, bakal pasangan calon independen yang tidak lolos verifikasi," ujar Heri.
Jawaban itu disampaikan Heri saat Affan Sulaeman yang menyidangkan kasus tersebut menanyakan soal legal standing H Didin sehingga membahas soal jual beli kambing. "Tolong jelaskan uang Rp10 juta untuk beli domba. Apa kaitannya dengan posisi Anda sebagai Ketua Panwaslu. H Didin ini kan sebagai LO bapaslon Soni-Usep, apa Anda tidak tahu," kata Affan.
"Tidak ada kaitannya dengan kegiatan pemilu karena di sana ada tawar menawar. Lagian kasus ini bermula jauh sebelum tahapan pemilu. Kemudian tidak ada tembusan surat dari Soni-Usep yang menyebut bahwa H Didin adalah LO," kilah Heri.
Dia menuturkan, mengenal H Didin dari Ketua KPU Garut yang semula hendak berkonsultasi soal tahapan pilkada. "Saya ketemu di jalan, dia konsultasi soal pemilu," tutur Heri.
Affan lantas kembali bertanya, "Masalahnya Anda Ketua Panwaslu Garut, berhubungan dengan H Didin ini secara personal atau secara kelembagaan," kata Affan.
"Saya sadar karena saya sering jual beli menggunakan rekening pribadi. Saya sadar seharusnya sebagai penyelenggara pemilu tidak boleh tapi karena saya percaya sama H Didin tulus, apalagi dia sudah bergelar haji, jadi tidak suudzon," kata Heri.
Sementara itu, Komisioner KPU Garut nonaktif Ade Sudrajat yang juga ditetapkan tersangka dalam kasus suap di Pilkada Garut karena menerima uang Rp100 juta dan mobil Daihatsu Calya, dihadirkan pula dalam sidang etik oleh DKPP di Mapolda Jabar.
Pada sidang yang dihadiri Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat dan Bawaslu Jabar Harminus Koto itu, Ade menjelaskan soal kendaraan dan uang Rp100 juta yang diterima dari tersangka Soni Sondani melalui tersangka H Didin.
"Soal uang Rp100 juta, saya tidak terima, uangnya juga tidak ada. Yang jelas, saya terima dari yang bersangkutan awalnya pinjam meminjam dengan pertimbangan di akhir pilkada, saya dapat uang. Saya lakukan beberapa kali karena waktu itu kepepet karena tiap bulan saya biasa beri santunan ke fakir miskin dan yatim piatu. Setelah itu tidak disangka akan berhubungan dengan masalah ini," kilah Ade.
Kemudian soal hadiah mobil yang disangkakan sebagai suap padanya untuk meloloskan pasangan calon Soni-Usep, Ade mengaku itu bagian dari kebodohannya. "Soal mobil, itulah kebodohan saya karena waktu itu H Didin meminjam aplikasi pengajuan kredit pada saya. Saya berikan, saya tidak tahu aplikasi itu akan digunakan untuk kredit mobil. Saya disurvei oleh perusahaan leasing kemudian mobil itu dikirim ke saya atas nama saya. Belakangan saya tahu yang mencicil mobilnya H Soni," kata Ade.
Ade mengemukakan, mobil itu pernah dipakai sehari-hari selama dua bulan terakhir. Namun, mobil itu diambil kembali saat KPU Garut menyediakan mobil operasional. "Setelah selesai pencalonan kendaraan diambil kembali," ujar Ade.
Dia pasrah dengan kasus yang membelitnya dan memohon diberi keputusan seadil-adilnya. Ade berharap kasus seperti ini tidak terulang lagi di daerah lain. "Saya pasrah, tapi saya mohon usia saya sudah 50 tahun, istri sudah sakit-sakitan. Ada tiga anak dan dua anak yatim menanti kehadiran saya. Kronologi yang saya jelaskan itulah yang terjadi. Kami merasa ditekan," kata Ade.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jabar Kombes Pol Umar Surya Fana mengatakan, sidang kode etik yang digelar DKPP terhadap dua tersangka kasus suap Ade Sudrajad dan Heri Hasan Basri tak akan berpengaruh terhadap proses penyidikan. Sidang kode etik DKPP adalah proses internal penyelenggara pemilu. Sedangkan yang dilakukan penyidik adalah penegakan hukum pidana kasus dugaan suap yang telah terjadi.
Umar menyatakan, penyidik menilai alasan Heri Hasan Basri bahwa uang yang diterima dari tersangka Soni Sondani adalah modal untuk usaha beternak kambing, sekadar mencari alibi. Begitu juga saat Heri Hasan Basri beralasan bahwa dia korban konspirasi, juga tak lebih dari sekadar alasan.
"Penyidik tak masuk ke ranah itu. Dia bisa bicara apa saja di persidangan DKPP. Namun fakta yang terjadi dalam kasus suap yang kami proses dia menerima uang dari Soni dalam kapasitasnya sebagai anggota KPU. Soal jual beli kambing, telah kami selidiki, dia tidak memiliki peternakan kambing," ujar Umar.
Kasus suap, tutur Umar, kasus pasangan, seperti suami istri. Karena itu, baik yang disuap maupun penyuap diproses hukum. Namun dalam sidang DKPP, penyuap Soni Sondani dan Didin tidak dihadirkan karena bukan penyelenggara pemilu.
Sedangkan Alfitra Salam mengatakan, sidang kode etik digelar untuk menentukan status Ade Sudrajad dan Heri Hasan Basri. Sidang tadi belum memutuskan baru sebatas mendengar alasan dan alibi dari dua teradu yang diduga menerima suap dari bakal pasangan calon Soni Sondani-Usep Nurdin.
"Jika sidang memutuskan, kedua penyelenggara pemolu itu bersalah, tentu mereka akan dipecat. Saat ini mereka dinonaktifkan," kata Alfitra seusai persidangan.
Sidang dipimpin oleh Alfitra Salam sebagai ketua dan Affan Sulaeman. Alfitra merupakan anggota DKPP dan Affan anggota DKPP sebagai tim pemeriksa daerah wilayah Jabar dari unsur masyarakat.
Dalam persidangan, Ketua Panwaslu Garut nonaktif Heri Hasan Basri mengaku, uang Rp10 juta yang disangkakan kepadanya adalah uang jual beli kambing. "Yang bisa saya pertanggungjawabkan adalah soal jual beli kambing senilai Rp10 juta yang ditransfer ke rekening saya. Saya baru tahu ternyata uang tersebut ditransfer oleh Soni Sondani, bakal pasangan calon independen yang tidak lolos verifikasi," ujar Heri.
Jawaban itu disampaikan Heri saat Affan Sulaeman yang menyidangkan kasus tersebut menanyakan soal legal standing H Didin sehingga membahas soal jual beli kambing. "Tolong jelaskan uang Rp10 juta untuk beli domba. Apa kaitannya dengan posisi Anda sebagai Ketua Panwaslu. H Didin ini kan sebagai LO bapaslon Soni-Usep, apa Anda tidak tahu," kata Affan.
"Tidak ada kaitannya dengan kegiatan pemilu karena di sana ada tawar menawar. Lagian kasus ini bermula jauh sebelum tahapan pemilu. Kemudian tidak ada tembusan surat dari Soni-Usep yang menyebut bahwa H Didin adalah LO," kilah Heri.
Dia menuturkan, mengenal H Didin dari Ketua KPU Garut yang semula hendak berkonsultasi soal tahapan pilkada. "Saya ketemu di jalan, dia konsultasi soal pemilu," tutur Heri.
Affan lantas kembali bertanya, "Masalahnya Anda Ketua Panwaslu Garut, berhubungan dengan H Didin ini secara personal atau secara kelembagaan," kata Affan.
"Saya sadar karena saya sering jual beli menggunakan rekening pribadi. Saya sadar seharusnya sebagai penyelenggara pemilu tidak boleh tapi karena saya percaya sama H Didin tulus, apalagi dia sudah bergelar haji, jadi tidak suudzon," kata Heri.
Sementara itu, Komisioner KPU Garut nonaktif Ade Sudrajat yang juga ditetapkan tersangka dalam kasus suap di Pilkada Garut karena menerima uang Rp100 juta dan mobil Daihatsu Calya, dihadirkan pula dalam sidang etik oleh DKPP di Mapolda Jabar.
Pada sidang yang dihadiri Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat dan Bawaslu Jabar Harminus Koto itu, Ade menjelaskan soal kendaraan dan uang Rp100 juta yang diterima dari tersangka Soni Sondani melalui tersangka H Didin.
"Soal uang Rp100 juta, saya tidak terima, uangnya juga tidak ada. Yang jelas, saya terima dari yang bersangkutan awalnya pinjam meminjam dengan pertimbangan di akhir pilkada, saya dapat uang. Saya lakukan beberapa kali karena waktu itu kepepet karena tiap bulan saya biasa beri santunan ke fakir miskin dan yatim piatu. Setelah itu tidak disangka akan berhubungan dengan masalah ini," kilah Ade.
Kemudian soal hadiah mobil yang disangkakan sebagai suap padanya untuk meloloskan pasangan calon Soni-Usep, Ade mengaku itu bagian dari kebodohannya. "Soal mobil, itulah kebodohan saya karena waktu itu H Didin meminjam aplikasi pengajuan kredit pada saya. Saya berikan, saya tidak tahu aplikasi itu akan digunakan untuk kredit mobil. Saya disurvei oleh perusahaan leasing kemudian mobil itu dikirim ke saya atas nama saya. Belakangan saya tahu yang mencicil mobilnya H Soni," kata Ade.
Ade mengemukakan, mobil itu pernah dipakai sehari-hari selama dua bulan terakhir. Namun, mobil itu diambil kembali saat KPU Garut menyediakan mobil operasional. "Setelah selesai pencalonan kendaraan diambil kembali," ujar Ade.
Dia pasrah dengan kasus yang membelitnya dan memohon diberi keputusan seadil-adilnya. Ade berharap kasus seperti ini tidak terulang lagi di daerah lain. "Saya pasrah, tapi saya mohon usia saya sudah 50 tahun, istri sudah sakit-sakitan. Ada tiga anak dan dua anak yatim menanti kehadiran saya. Kronologi yang saya jelaskan itulah yang terjadi. Kami merasa ditekan," kata Ade.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jabar Kombes Pol Umar Surya Fana mengatakan, sidang kode etik yang digelar DKPP terhadap dua tersangka kasus suap Ade Sudrajad dan Heri Hasan Basri tak akan berpengaruh terhadap proses penyidikan. Sidang kode etik DKPP adalah proses internal penyelenggara pemilu. Sedangkan yang dilakukan penyidik adalah penegakan hukum pidana kasus dugaan suap yang telah terjadi.
Umar menyatakan, penyidik menilai alasan Heri Hasan Basri bahwa uang yang diterima dari tersangka Soni Sondani adalah modal untuk usaha beternak kambing, sekadar mencari alibi. Begitu juga saat Heri Hasan Basri beralasan bahwa dia korban konspirasi, juga tak lebih dari sekadar alasan.
"Penyidik tak masuk ke ranah itu. Dia bisa bicara apa saja di persidangan DKPP. Namun fakta yang terjadi dalam kasus suap yang kami proses dia menerima uang dari Soni dalam kapasitasnya sebagai anggota KPU. Soal jual beli kambing, telah kami selidiki, dia tidak memiliki peternakan kambing," ujar Umar.
Kasus suap, tutur Umar, kasus pasangan, seperti suami istri. Karena itu, baik yang disuap maupun penyuap diproses hukum. Namun dalam sidang DKPP, penyuap Soni Sondani dan Didin tidak dihadirkan karena bukan penyelenggara pemilu.
Sedangkan Alfitra Salam mengatakan, sidang kode etik digelar untuk menentukan status Ade Sudrajad dan Heri Hasan Basri. Sidang tadi belum memutuskan baru sebatas mendengar alasan dan alibi dari dua teradu yang diduga menerima suap dari bakal pasangan calon Soni Sondani-Usep Nurdin.
"Jika sidang memutuskan, kedua penyelenggara pemolu itu bersalah, tentu mereka akan dipecat. Saat ini mereka dinonaktifkan," kata Alfitra seusai persidangan.
(kri)