Bernostalgia di Kota Penuh Sejarah
A
A
A
YOGYAKARTA dan Sleman meski dari survei Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) tahun 2017 tidak masuk dalam jajaran tujuh kota paling nyaman untuk tempat tinggal.
Namun, secara faktual di kota ini, terutama Sleman, terus tumbuh, permukiman baru, baik yang berupa perumahan maupun kaveling siap bangun dan dipastikan selalu sold out atau selalu dibeli konsumen. Harga rumah di Yogyakarta dan Sleman ini rata-rata Rp500 juta. Dengan ukuran paling kecil 45/150.
Hanya saja, yang membeli rumah di daerah ini kebanyakan pendatang atau bukan penduduk sekitar. Mereka membeli rumah pun beragam, ada yang memang mencari untuk tempat tinggal dan menetap, tapi ada juga sebagai investasi dan bagi warga luar Sleman dan Yogyakarta, terutama luar Jawa, biasanya membelikan anaknya yang sedang menempuh studi di sini.
Khusus yang memang untuk tempat tinggal, memilih kota ini, di antaranya, karena pindah kerja dan memang sengaja ingin menetap di sini, terutama para pensiunan yang asalnya dari luar Yogyakarta. Baik yang dulunya pernah tinggal di Yogyakarta karena pernah studi atau bekerja maupun yang pernah berkunjung.
Selain ingin mengenal nostalgia romantisme, juga karena Yogyakarta dan Sleman, terutama Sleman, merupakan kota urban dengan fasilitas yang memadai. Baik yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup, pendidikan, ataupun destinasi wisata, semuanya ada di tempat tersebut. Termasuk budaya dan adat istiadat yang tetap terpelihara dengan baik.
Jadi, tidak mengherankan jika para pensiunan mengidolakan kota ini untuk hunian. “Dari pengamatan saya, hal-hal itulah yang menjadi alasan para pensiunan mengimpikan tinggal di Yogya karena nyaman dan fasilitasnya juga lengkap,” kata Ketua Magister Arsitektur dan Desain Kawasan Binaan (Rancang Kota) UGM Ikaputra.
Selain kota budaya, Yogyakarta juga memiliki banyak predikat, di antaranya kota pendidikan. Hal tersebut, membuat pensiunan tergelitik tetap ingin mendapatkan ilmu secara langsung dalam dinamika kehidupan, yaitu sebuah pengetahuan. Terlebih untuk Sleman memiliki posisi yang ideal.
Di mana sebagai kabupaten yang diasumsikan sebagai daerah perdesaan, tidak terjadi di Sleman. Sebab di Sleman, ada keduanya, yaitu ada yang bernuansa perdesaan dan ada yang bernuansa perkotaan atau yang sering disebut sebagai daerah urban. Sebagai daerah urban inilah yang menarik untuk dijadikan tempat tinggal.
Sebab, tetap ada nuansa desa yang nyaman, sejuk, dan tenang, tetapi fasilitas untuk gaya hidup modern juga tersedia. Baik yang menyangkut layanan transportasi maupun perbelanjaan. Bahkan untuk perbelanjaan, selain masih ada pasar tradisional, juga ada pasar modern. Di mana untuk perkotaan hal tersebut sudah tidak dapat ditemui.
Ditambah dengan keunikan kebudayaan, bercampurnya kehidupan seniman dan pelajar serta banyaknya destinasi wisata alam yang menjadikan kota ini memiliki kehidupan yang dinamis. “Inilah yang menjadikan Sleman sekarang banyak diserbu para pendatang. Sebab, dekat dengan alam dan tersedianya fasilitas urban,” ungkap Ikaputra.
Hal lainnya yang membuat Yogyakarta diminta untuk tempat tinggal para pensiunan, yaitu karena Yogyakarta merupakan kota yang masih nyaman dibandingkan dengan kota besar lainnya. Meskipun untuk hal tersebut lebih karena faktor intangible , misalnya karena sejarah (pensiunan pernah studi di Yogyakarta), jadi bukan yang sifatnya fisik dan fasilitas.
Faktor intangible lainnya, yaitu kerukunan warga yang dibuktikan dengan adanya keragaman yang tidak terlalu dipermasalahkan. Ada juga persepsi Yogya aman dan murah. Faktor-faktor intangible tadi seakan menciptakan persepsi kedamaian dan ketenteraman,” kata arsitektur yang juga Wakil Rektor I UII Yogyakarta Ilya Fadjar Mahariika.
Namun karena sifatnya persepsi terhadap hal-hal yang intangible, kemungkinan besar bisa hilang dengan fakta-fakta kemacetan di mana-mana, fenomena klithih yang akan mengganggu persepsi keamanan ataupun perkembangan yang terlalu cepat menjadi metropolitan yang sama saja dengan yang lain dengan bangunan tinggi (hotel dan apartemen) yang marak dengan supercepat.
“Kecepatan perubahan ini akan sulit dipahami dan potensial mengubah persepsi dengan cepat pula,” paparnya. Hal yang sama juga diungkapkan Ikaputra untuk transportasi dan jalur pedestrian memang harus menjadi perhatian.
Sebab, meski sekarang masih bisa ditolerir, untuk kemacetan sekarang sudah mulai terjadi di Yogyakarta. Karena itu, harus diciptakan transportasi publik dan menambah jalur pedestrian yang nyaman sebagai ruang publik, sebagaimana yang ada di Malioboro. (Priyo Setyawan)
Namun, secara faktual di kota ini, terutama Sleman, terus tumbuh, permukiman baru, baik yang berupa perumahan maupun kaveling siap bangun dan dipastikan selalu sold out atau selalu dibeli konsumen. Harga rumah di Yogyakarta dan Sleman ini rata-rata Rp500 juta. Dengan ukuran paling kecil 45/150.
Hanya saja, yang membeli rumah di daerah ini kebanyakan pendatang atau bukan penduduk sekitar. Mereka membeli rumah pun beragam, ada yang memang mencari untuk tempat tinggal dan menetap, tapi ada juga sebagai investasi dan bagi warga luar Sleman dan Yogyakarta, terutama luar Jawa, biasanya membelikan anaknya yang sedang menempuh studi di sini.
Khusus yang memang untuk tempat tinggal, memilih kota ini, di antaranya, karena pindah kerja dan memang sengaja ingin menetap di sini, terutama para pensiunan yang asalnya dari luar Yogyakarta. Baik yang dulunya pernah tinggal di Yogyakarta karena pernah studi atau bekerja maupun yang pernah berkunjung.
Selain ingin mengenal nostalgia romantisme, juga karena Yogyakarta dan Sleman, terutama Sleman, merupakan kota urban dengan fasilitas yang memadai. Baik yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup, pendidikan, ataupun destinasi wisata, semuanya ada di tempat tersebut. Termasuk budaya dan adat istiadat yang tetap terpelihara dengan baik.
Jadi, tidak mengherankan jika para pensiunan mengidolakan kota ini untuk hunian. “Dari pengamatan saya, hal-hal itulah yang menjadi alasan para pensiunan mengimpikan tinggal di Yogya karena nyaman dan fasilitasnya juga lengkap,” kata Ketua Magister Arsitektur dan Desain Kawasan Binaan (Rancang Kota) UGM Ikaputra.
Selain kota budaya, Yogyakarta juga memiliki banyak predikat, di antaranya kota pendidikan. Hal tersebut, membuat pensiunan tergelitik tetap ingin mendapatkan ilmu secara langsung dalam dinamika kehidupan, yaitu sebuah pengetahuan. Terlebih untuk Sleman memiliki posisi yang ideal.
Di mana sebagai kabupaten yang diasumsikan sebagai daerah perdesaan, tidak terjadi di Sleman. Sebab di Sleman, ada keduanya, yaitu ada yang bernuansa perdesaan dan ada yang bernuansa perkotaan atau yang sering disebut sebagai daerah urban. Sebagai daerah urban inilah yang menarik untuk dijadikan tempat tinggal.
Sebab, tetap ada nuansa desa yang nyaman, sejuk, dan tenang, tetapi fasilitas untuk gaya hidup modern juga tersedia. Baik yang menyangkut layanan transportasi maupun perbelanjaan. Bahkan untuk perbelanjaan, selain masih ada pasar tradisional, juga ada pasar modern. Di mana untuk perkotaan hal tersebut sudah tidak dapat ditemui.
Ditambah dengan keunikan kebudayaan, bercampurnya kehidupan seniman dan pelajar serta banyaknya destinasi wisata alam yang menjadikan kota ini memiliki kehidupan yang dinamis. “Inilah yang menjadikan Sleman sekarang banyak diserbu para pendatang. Sebab, dekat dengan alam dan tersedianya fasilitas urban,” ungkap Ikaputra.
Hal lainnya yang membuat Yogyakarta diminta untuk tempat tinggal para pensiunan, yaitu karena Yogyakarta merupakan kota yang masih nyaman dibandingkan dengan kota besar lainnya. Meskipun untuk hal tersebut lebih karena faktor intangible , misalnya karena sejarah (pensiunan pernah studi di Yogyakarta), jadi bukan yang sifatnya fisik dan fasilitas.
Faktor intangible lainnya, yaitu kerukunan warga yang dibuktikan dengan adanya keragaman yang tidak terlalu dipermasalahkan. Ada juga persepsi Yogya aman dan murah. Faktor-faktor intangible tadi seakan menciptakan persepsi kedamaian dan ketenteraman,” kata arsitektur yang juga Wakil Rektor I UII Yogyakarta Ilya Fadjar Mahariika.
Namun karena sifatnya persepsi terhadap hal-hal yang intangible, kemungkinan besar bisa hilang dengan fakta-fakta kemacetan di mana-mana, fenomena klithih yang akan mengganggu persepsi keamanan ataupun perkembangan yang terlalu cepat menjadi metropolitan yang sama saja dengan yang lain dengan bangunan tinggi (hotel dan apartemen) yang marak dengan supercepat.
“Kecepatan perubahan ini akan sulit dipahami dan potensial mengubah persepsi dengan cepat pula,” paparnya. Hal yang sama juga diungkapkan Ikaputra untuk transportasi dan jalur pedestrian memang harus menjadi perhatian.
Sebab, meski sekarang masih bisa ditolerir, untuk kemacetan sekarang sudah mulai terjadi di Yogyakarta. Karena itu, harus diciptakan transportasi publik dan menambah jalur pedestrian yang nyaman sebagai ruang publik, sebagaimana yang ada di Malioboro. (Priyo Setyawan)
(nfl)