Di Padang, Bupati Anas Ungkap Keunikan Pengembangan Wisata Banyuwangi
A
A
A
PADANG - Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas memaparkan sejumlah keunikan pembangunan pariwisata di daerahnya hingga bisa berkembang cukup pesat. Pemaparan itu disampaikan Anas dalam diskusi rangkaian peringatan Hari Pers Nasional di Padang, Rabu (7/2/2018). Selain Anas, tampil sebagai pembicara adalah Gubernur NTB M Zainul Majdi. Diskusi diikuti ratusan pelaku pariwisata Sumatera Barat.
Menurut Anas, pengembangan pariwisata Banyuwangi cukup cepat dilakukan karena konsepnya yang unik, yaitu semuanya berbasis partisipasi publik, sehingga warga ikut memiliki program wisata tersebut.
”Tidak seperti daerah wisata yang sudah sangat besar yang lebih bertumpu ke swasta dan pemerintah,” kata Anas dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Rabu (7/2/2018).
Anas mencontohkan, banyak festival berbasis adat lahir dari masyarakat. Pemerintah tinggal memfasilitasi. “Jadilah festival spektakuler yang mendatangkan ribuan orang, menggerakkan ekonomi rakyat secara langsung,” jelasnya.
Contoh festival berbasis tradisi rakyat antara lain Festival Gandrung Sewu, Tumpeng Sewu, ritual Kebo-keboan, dan Tari Seblang. ”Semua itu menyedot ribuan wisatawan setiap pergelarannya,” ujar Anas.
Dengan konsep partisipasi tersebut, tumpuan pariwisata ada di masyarakat desa. Sehingga Banyuwangi intens menggerakkan wisata berbasis desa yang sekaligus jadi alat pemerataan pembangunan.
”Ternyata itu efektif, ada desa wisata berbasis seni-budaya, berbasis wisata bahari, berbasis wisata alam, berbasis hasil pertanian, dan sebagainya,” timpal Anas.
Pengembangan wisata berbasis desa juga membuat Indeks Desa Membangun (IDM) Banyuwangi dari Kementerian Desa menjadi yang terbaik kedua di Jawa Timur.
Banyuwangi berhasil meningkatkan kategori ”desa maju” menjadi 134 desa (2016) dari sebelumnya 40 desa (2010) dengan jumlah ”desa tertinggal” kini tinggal satu desa.
Anas menambahkan, dengan berbasis partisipasi masyarakat, semua potensi warga dikerahkan.
“Kita berangkat bareng-bareng dari nol. Misalnya cara bakar ikan yang baik, warung-warung kita latih. Kita latih warga yang buka homestay, bagaimana penataan toilet, bagaimana melipat seprai. Bahkan ada kursus bahasa asing gratis untuk sekitar 3.000 warga desa tiap tahunnya. Susah, tapi ya harus dilakukan untuk membuat pengembangan pariwisata ini berakar di masyarakat. Itulah seninya, itulah uniknya pengembangan pariwisata Banyuwangi,” papar Anas.
Berkat pariwisata, ekonomi Banyuwangi bertumbuh. Kunjungan turis domestik meningkat dari 497.000 (2010) menjadi 4,01 juta (2016). Adapun wisatawan mancanegara dari 5.205 (2010) menjadi 74.800 turis (2016).
Semua itu mendorong peningkatan pendapatan per kapita warga melonjak dua kali lipat dari Rp20,8 juta (2010) menjadi Rp41,5 juta per orang per tahun (2016). Kemiskinan turun cukup pesat di level 8%, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Jatim yang masih tembus di atas 11%.
Menurut Anas, pengembangan pariwisata Banyuwangi cukup cepat dilakukan karena konsepnya yang unik, yaitu semuanya berbasis partisipasi publik, sehingga warga ikut memiliki program wisata tersebut.
”Tidak seperti daerah wisata yang sudah sangat besar yang lebih bertumpu ke swasta dan pemerintah,” kata Anas dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Rabu (7/2/2018).
Anas mencontohkan, banyak festival berbasis adat lahir dari masyarakat. Pemerintah tinggal memfasilitasi. “Jadilah festival spektakuler yang mendatangkan ribuan orang, menggerakkan ekonomi rakyat secara langsung,” jelasnya.
Contoh festival berbasis tradisi rakyat antara lain Festival Gandrung Sewu, Tumpeng Sewu, ritual Kebo-keboan, dan Tari Seblang. ”Semua itu menyedot ribuan wisatawan setiap pergelarannya,” ujar Anas.
Dengan konsep partisipasi tersebut, tumpuan pariwisata ada di masyarakat desa. Sehingga Banyuwangi intens menggerakkan wisata berbasis desa yang sekaligus jadi alat pemerataan pembangunan.
”Ternyata itu efektif, ada desa wisata berbasis seni-budaya, berbasis wisata bahari, berbasis wisata alam, berbasis hasil pertanian, dan sebagainya,” timpal Anas.
Pengembangan wisata berbasis desa juga membuat Indeks Desa Membangun (IDM) Banyuwangi dari Kementerian Desa menjadi yang terbaik kedua di Jawa Timur.
Banyuwangi berhasil meningkatkan kategori ”desa maju” menjadi 134 desa (2016) dari sebelumnya 40 desa (2010) dengan jumlah ”desa tertinggal” kini tinggal satu desa.
Anas menambahkan, dengan berbasis partisipasi masyarakat, semua potensi warga dikerahkan.
“Kita berangkat bareng-bareng dari nol. Misalnya cara bakar ikan yang baik, warung-warung kita latih. Kita latih warga yang buka homestay, bagaimana penataan toilet, bagaimana melipat seprai. Bahkan ada kursus bahasa asing gratis untuk sekitar 3.000 warga desa tiap tahunnya. Susah, tapi ya harus dilakukan untuk membuat pengembangan pariwisata ini berakar di masyarakat. Itulah seninya, itulah uniknya pengembangan pariwisata Banyuwangi,” papar Anas.
Berkat pariwisata, ekonomi Banyuwangi bertumbuh. Kunjungan turis domestik meningkat dari 497.000 (2010) menjadi 4,01 juta (2016). Adapun wisatawan mancanegara dari 5.205 (2010) menjadi 74.800 turis (2016).
Semua itu mendorong peningkatan pendapatan per kapita warga melonjak dua kali lipat dari Rp20,8 juta (2010) menjadi Rp41,5 juta per orang per tahun (2016). Kemiskinan turun cukup pesat di level 8%, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Jatim yang masih tembus di atas 11%.
(sms)