Psikiater: Penganiaya KH Emon Idap Gangguan Jiwa Berat dan Hipertensi

Senin, 29 Januari 2018 - 20:38 WIB
Psikiater: Penganiaya KH Emon Idap Gangguan Jiwa Berat dan Hipertensi
Psikiater: Penganiaya KH Emon Idap Gangguan Jiwa Berat dan Hipertensi
A A A
BANDUNG - A (55) terduga penganiaya pengasuh Ponpes Al Hidayah Santiong Cicalengka KH Umar Basyri atau Ceng Emon (60) dipastikan mengidap gangguan jiwa berat. Kepastian itu diperoleh oleh dokter ahli kesehatan jiwa RS Polri Sartika Asih dr Leony Widjaja setelah melakukan observasi selama dua hari 28-29 Januari 2018.

Dokter Leony mengatakan, observasi selama dua hari, 28-29 Januari 2018, dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan A.

Berdasarkan data yang diperoleh dari tim penyidik, A tinggal di sebuah madrasah yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat kejadian perkara (TKP), Masjid Al Hidayah, Ponpes Al Hidayah Santiong, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Karena berkelakuan baik, A dipekerjakan untuk bersih-bersih madrasah.

Selama tinggal di madrasah, kata Leony, A rajin beribadah, namun ritual yang dilakukan selalu salah.

"Keluarga A memberikan informasi bahwa A telah mengidap gangguan jiwa sejak 15 tahun lalu dan pernah menjalani perawatan di RS Jiwa Provinsi Jabar Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat selama 29 hari, dari 29 Juni sampai 24 Juli," kata Leony saat konferensi pers mendampingi Kapolda Jabar Irjen Pol Agung Budi Maryoto di RS Polri Sartika Asih, Jalan Terusan Moh Toha, Senin (29/1/2018)

Leony mengemukakan, wawancara dengan A dilakukan di RS Polri. Saat bertemu, terlihat luka lecet dan memar di leher serta tangan. Perilaku A selama wawancara kurang sopan dan tak bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Bahkan kurang kooperatif.

"Banyak jawaban A yang tak nyambung dengan pertanyaan. Misalnya, ditanya siapa namanya. A menjawab dalam bahasa Sunda. Abdi mah teu mah teu dipasihan ngaran. Setelah itu dia bicara sendiri," kata Leony.

Selama wawancara berlangsung, ujar Leony, A mudah teralihkan perhatiannya. Sulit fokus atau daya konsentrasi kurang baik. Raut wajah dan tatap mata menunjukkan sikap bermusuhan. Dia tak dapat membedakan antara dunia khayal dan nyata serta realitas terganggu. Hasil konsultasi dengan dokter ahli syaraf, A mengalami Pseudodimensia.

"Dari hasil observasi dan wawancara itu, kami menyimpulkan sementara, A menderita gangguan jiwa berat. Selain itu, secara fisik, A mengidap darah tinggi atau hipertensi," ujar Leony.

Leony menuturkan, tindakan lanjut yang akan dilakukan terhadap A, adalah rawat inap untuk observasi minimal 15 hari. "Soal jenis gangguan jiwa apa yang diidap A, kami belum bisa menyebutkannya. Yang pasti A mengidap gangguan jiwa berat," tutur dia.

Leni Irawati, dokter kesehatan jiwa di RS Jiwa Provinsi Jabar, Cisarua, Lembang mengatakan, penyidik Polri mengirimkan foto A dan meminta konfirnasi terkait A yang pernah dirawat di RSJ. Setelah dicocokkan dengan kartu keluarga, benar bahwa A pernah dirawat selama 29 hari di RSJ Jabar Cisarua dari 29 Juni sampai 24 Juli 2017.

"Setelah menjalani perawatan, pasien A mengalami kemajuan dal hal kesehatan jiwa, sehingga pihak keluarga membawa pulang yang bersangkutan dengan rekomendasi pasien A harus rawat jalan. Tapi, sejak Juli 2017 sampai Januari 2018, kami tidak tahu apakah A pernah rawat jalan atau tidak karena saya tak pernah bertemu dengan yang bersangkutan," ungkap Leni.

Sementara itu, Kapolda Jabar Irjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan, setelah menerima laporan, penyidik melakukan olah TKP dan meminta keterangan saksi-saksi. Dari sini diperoleh informasi tentang seorang pria yang cocok dengan ciri-ciri yang disebutkan saksi. Penyidik lalu mengamankan pelaku.

Setelah dilakukan pemeriksaan diketahui, A tinggal di Desa Babakan, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Berdasarkan keterangan kakak kandung A, yakni Haji E, H E, bahwa A mengidap penyakit jiwa dan pernah dirawat di RSJ Provinsi Jabar, Cisarua, Lembang.

“Saat prarekonstruksi, pelaku A mengaku telah menganiaya seseorang di sebuah masjid. Dia juga memeragakan saat melakukan penganiayaan. Namun cara dia berkomunikasi sering tidak nyambung,” kata Agung.

Kapolda menyebutkan, pelaku tidak tahu apa yang dilakukan. Dia juga tidak takut polisi. Setelah melakukan pemukulan dia pergi begitu saja. Sejak keluar dari rumah sakit jiwa, A sering berpindah tempat tinggal. Tidak menetap dan tidur di mana saja.

“Dia memang sering tidur berpindah-pindah. Pada hari itu (Sabtu 27/1/2018), A tidur di Masjid Al Hidayah. Jadi, A ini tidak ikut salat Subuh berjamaah,” kata Agung.

Saat ini penyidik menunggu hasil pemeriksaan kejiwaan A dan laboratorium forensik terkait bercak darah yang menempel di standing mike dan pijakan muazin. Jika darah itu cocok dengan milik korban, berarti benar A adalah pelaku.

“Proses hukum terhadap A tetap diproses. Pasal yang disangkakan, Pasal 351 tentang Penganiayaan. Namun jika benar A mengidap gangguan jiwa sesuai Pasal 44 KUHPidana, nanti itu keputusan hakim,” tandas Kapolda.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3794 seconds (0.1#10.140)