Tak Terima Dipecat, PHL Ancam Adukan Bupati Bantul ke Presiden
A
A
A
BANTUL - Langkah Bupati Bantul Suharsono melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak berbuntut panjang. Ratusan pegawai harian lepas (PHL) yang tergabung dalam Forum Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (FPPPK) korban PHK massal terus berjuang agar dipekerjakan secara profesional.
Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka mengancam akan membawa persoalan ini kepada Presiden Joko Widodo. "Kami sudah menyampaikan hal ini kepada wakil rakyat di DPRD dan gubernur. Jika tidak selesai, maka kami akan membawa persoalan ini ke Presiden," ungkap Koordinator FPPPK Korban PHK massal, Raras Rahmawatiningsih, kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (21/1/2018)
Raras menyebutkan banyak keganjilan dari alasan yang diberikan Pemkab Bantul terkait PHK massal tersebut. Diantaranya terkait efisiensi, padahal kenyataannya justru pemkab melakukan rekruitmen PHL dengan jumlah lebih besar lagi. "Justru yang direkrut dua kali lebih besar, mencapai 666. Kok bisa beralasan efisiensi," bebernya.
Tidak hanya itu, mereka juga kecewa dengan jawaban bupati yang asal berbicara. Hal ini terkait dengan kemungkinan PHL bekerja di pabrik yang berada di Piyungan. Padahal belum ada koordinasi dengan manajemen pabrik.
Ditambah lagi dengan jawaban yang dianggap tidak memenuhi syarat bisa mendaftar kembali. "Bagaimana kami bisa mendaftar dengan usia kami yang sudah lebih dari 35 tahun," keluhnya.
Kemudian dengan istilah gantian."Sebuah pernyataan yang aneh menurut kami. Pekerjaan kok seperti mainan saja. Tidak profesional," tandas PHL di Dinas Perdagangan ini.
Terlebih lagi pihaknya menemukan adanya PHL baru yang diloloskan adalah peserta dari luar Kabupaten Bantul. Padahal sesuai persyaratan administrasi, yang berhak mendaftarkan diri adalah warga Kabupaten Bantul.
"Namun ada peserta atas nama Reni Oktaviani, warga Perumahan Candi Indah Blok I/ 16, Jetis, Wedomartani, Ngemplak, Sleman diterima," kata Raras.
Untuk itu, dia berharap Pemkab Bantul bisa menerima kembali PHL secara profesional dan bukan atas dasar kedekatan dan lobi - lobi." Karena gerakan kita digembosi dengan iming-iming dipekerjakan asalkan tidak ikut aksi," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Forum LSM DIY Beny Susanto mengaku prihatin dengan arogansi Pemkab Bantul. Semestinya, pemerintah daerah memberikan ruang bagi warga untuk bisa bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak, bukannya justru melakukan pemecatan sepihak. "Tugas pemkab adalah melindungi, memberi dan melayani. Ini harus dipegang teguh," ucapnya.
Pihaknya juga berjanji akan mengawal kasus ini sehingga para PHL di Bantul bisa kembali bekerja di lingkungan kantor masing-masing. "Kalau akan melaporkan ke Presiden, kami siap ikut mengawalnya," pungkasnya.
Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka mengancam akan membawa persoalan ini kepada Presiden Joko Widodo. "Kami sudah menyampaikan hal ini kepada wakil rakyat di DPRD dan gubernur. Jika tidak selesai, maka kami akan membawa persoalan ini ke Presiden," ungkap Koordinator FPPPK Korban PHK massal, Raras Rahmawatiningsih, kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (21/1/2018)
Raras menyebutkan banyak keganjilan dari alasan yang diberikan Pemkab Bantul terkait PHK massal tersebut. Diantaranya terkait efisiensi, padahal kenyataannya justru pemkab melakukan rekruitmen PHL dengan jumlah lebih besar lagi. "Justru yang direkrut dua kali lebih besar, mencapai 666. Kok bisa beralasan efisiensi," bebernya.
Tidak hanya itu, mereka juga kecewa dengan jawaban bupati yang asal berbicara. Hal ini terkait dengan kemungkinan PHL bekerja di pabrik yang berada di Piyungan. Padahal belum ada koordinasi dengan manajemen pabrik.
Ditambah lagi dengan jawaban yang dianggap tidak memenuhi syarat bisa mendaftar kembali. "Bagaimana kami bisa mendaftar dengan usia kami yang sudah lebih dari 35 tahun," keluhnya.
Kemudian dengan istilah gantian."Sebuah pernyataan yang aneh menurut kami. Pekerjaan kok seperti mainan saja. Tidak profesional," tandas PHL di Dinas Perdagangan ini.
Terlebih lagi pihaknya menemukan adanya PHL baru yang diloloskan adalah peserta dari luar Kabupaten Bantul. Padahal sesuai persyaratan administrasi, yang berhak mendaftarkan diri adalah warga Kabupaten Bantul.
"Namun ada peserta atas nama Reni Oktaviani, warga Perumahan Candi Indah Blok I/ 16, Jetis, Wedomartani, Ngemplak, Sleman diterima," kata Raras.
Untuk itu, dia berharap Pemkab Bantul bisa menerima kembali PHL secara profesional dan bukan atas dasar kedekatan dan lobi - lobi." Karena gerakan kita digembosi dengan iming-iming dipekerjakan asalkan tidak ikut aksi," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Forum LSM DIY Beny Susanto mengaku prihatin dengan arogansi Pemkab Bantul. Semestinya, pemerintah daerah memberikan ruang bagi warga untuk bisa bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak, bukannya justru melakukan pemecatan sepihak. "Tugas pemkab adalah melindungi, memberi dan melayani. Ini harus dipegang teguh," ucapnya.
Pihaknya juga berjanji akan mengawal kasus ini sehingga para PHL di Bantul bisa kembali bekerja di lingkungan kantor masing-masing. "Kalau akan melaporkan ke Presiden, kami siap ikut mengawalnya," pungkasnya.
(thm)