Pencemaran Citarum Terjadi Sejak Berdiri Industri di Jabar
A
A
A
BANDUNG - Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Jabar Anang Sudarna mengatakan, pencemaran lingkungan, terutama di daerah aliran sungai (DAS) Citarum meningkat sejak industri tumbuh subur di Jabar.
Sebagian besar industri itu bergerak di bidang tekstil. Parahnya, dari ribuan pabrik yang beroperasi di tepi DAS Citarum, hanya sedikit yang memiliki instalasi pengolahan limbah (Ipal) memadai. Sebagian besar tidak punya sehingga membuang limbah cair langsung ke Citarum.
"Akibatnya, lingkungan tercemar berat. Sawah-sawah di Kabupaten Bandung mengalami pencemah limbah berbahaya. Kemungkinan nasi yang dikonsumsi masyarakat telah tercemar," kata Anang saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Bandung, Kamis (4/1/2018).
Selain lingkungan dan pangan tercemar, ujar Anang, krisis air juga terjadi. Bahkan untuk ibadah sudah sulit, tak ada air yang layak. "Saya datang ke sebuah musala yang berada di DAS Citarum. Air untuk wudu di sana bau dan hitam. Saya menangis. Sungguh merasa berdosa jika tidak bisa membenahi ini. Ini sudah tanggung jawab akhirat," ujar Anang.
Sementara itu, Direskrimum Polda Jabar Kombes Pol Samudi mengatakan, terdapat lima modus pencemaran lingkungan. Seperti, membuang limbah cair ke sungai atau lingkungan tanpa diolah terlebih dulu. Polda Jabar paling banyak menangani kasus seperti ini. Sepanjang 2017 lalu, polda menangani 80 kasus pembuangan limbah cair ke sungai.
"Untuk kasus limbah cair, kami penyidik polisi tidak serta merta bisa menindak. Ada azas ultimum remedium yang artinya, penegakan hukun adalah sanksi pamungkas atau terakhir. Pelaku pencemaran limbah cair lebih dulu dijatuhi sanski administrasi oleh dinas lingkungan hidup. Jika kembali melanggar, baru ditindak oleh penyidik kepolisian," kata Samudi di acara dan tempat sama.
Modus berikutnya, ungkap Samudi, pelaku industri memiliki pengolahan limbah yang tidak layak. Akibatnya, baku mutu limbah cair melampaui batas yang ditentukan. Namun, pelanggar tetap membuang limbah itu ke lingkungan.
Selanjutnya, pembuangan limbah padat, B3 (bahan beracun berbahaya) tanpa izin, dan perambahan hutan tak terkendali. Untuk kasus-kasus ini, polisi menerapkan azas premium renedium, yakni penindakan dilakukan langsung tanpa sanksi administratif. "Seperti di Kabupaten Garut. Polda Jabar menangani enam kasus perambahan hutan dan pembalakan liar. Keenam kasus itu sudah P21," pungkasnya.
Sebagian besar industri itu bergerak di bidang tekstil. Parahnya, dari ribuan pabrik yang beroperasi di tepi DAS Citarum, hanya sedikit yang memiliki instalasi pengolahan limbah (Ipal) memadai. Sebagian besar tidak punya sehingga membuang limbah cair langsung ke Citarum.
"Akibatnya, lingkungan tercemar berat. Sawah-sawah di Kabupaten Bandung mengalami pencemah limbah berbahaya. Kemungkinan nasi yang dikonsumsi masyarakat telah tercemar," kata Anang saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Bandung, Kamis (4/1/2018).
Selain lingkungan dan pangan tercemar, ujar Anang, krisis air juga terjadi. Bahkan untuk ibadah sudah sulit, tak ada air yang layak. "Saya datang ke sebuah musala yang berada di DAS Citarum. Air untuk wudu di sana bau dan hitam. Saya menangis. Sungguh merasa berdosa jika tidak bisa membenahi ini. Ini sudah tanggung jawab akhirat," ujar Anang.
Sementara itu, Direskrimum Polda Jabar Kombes Pol Samudi mengatakan, terdapat lima modus pencemaran lingkungan. Seperti, membuang limbah cair ke sungai atau lingkungan tanpa diolah terlebih dulu. Polda Jabar paling banyak menangani kasus seperti ini. Sepanjang 2017 lalu, polda menangani 80 kasus pembuangan limbah cair ke sungai.
"Untuk kasus limbah cair, kami penyidik polisi tidak serta merta bisa menindak. Ada azas ultimum remedium yang artinya, penegakan hukun adalah sanksi pamungkas atau terakhir. Pelaku pencemaran limbah cair lebih dulu dijatuhi sanski administrasi oleh dinas lingkungan hidup. Jika kembali melanggar, baru ditindak oleh penyidik kepolisian," kata Samudi di acara dan tempat sama.
Modus berikutnya, ungkap Samudi, pelaku industri memiliki pengolahan limbah yang tidak layak. Akibatnya, baku mutu limbah cair melampaui batas yang ditentukan. Namun, pelanggar tetap membuang limbah itu ke lingkungan.
Selanjutnya, pembuangan limbah padat, B3 (bahan beracun berbahaya) tanpa izin, dan perambahan hutan tak terkendali. Untuk kasus-kasus ini, polisi menerapkan azas premium renedium, yakni penindakan dilakukan langsung tanpa sanksi administratif. "Seperti di Kabupaten Garut. Polda Jabar menangani enam kasus perambahan hutan dan pembalakan liar. Keenam kasus itu sudah P21," pungkasnya.
(nag)