Gedung Negara Grahadi dan Berakhirnya Kekuasaan Dirk van Hogendorp
A
A
A
Wirawan Setyo Utomo (45), datang ke Surabaya bersama istri dan kedua anaknya dari Jember di saat libur sekolah. Mereka memilih menginap di Garden Palace Hotel yang berada di jantung Kota Pahlawan. Tujuannya sederhana, bisa mengajak anaknya jalan-jalan ke Monumen Kapal Selam dan bisa foto bersama di depan Gedung Negara Grahadi.
Saat matahari sepenggalah, ia berjalan pelan menyusuri Jalan Pemuda dan Jalan Gubernur Suryo. Siang yang hangat membuat mereka nyaman menyusuri jalanan Surabaya. Sesekali berhenti di depan Balai Pemuda sambil mengabadikan bangunan bersejarah yang ada di sudut Jalan Yus Sudarso.
Tepat di depan Grahadi, ia langsung mengarahkan anak dan istrinya menghadap ke Patung Gubernur Suryo yang ada di Taman Apsari Surabaya. Senyum lebar langsung ditunjukkan sembari meminta pejalan kaki membantunya untuk mengambil gambar ia dan keluarganya dengan latar belakang Grahadi.
"Banyak kenangan di sini (Grahadi). Dulu pas masih jadi mahasiswa juga pernah demo di sini," ujar Wirawan, Kamis (28/12/2017).
Ia pun ingin mengenalkan banyak bangunan bersejarah di Surabaya pada kedua anaknya. Grahadi baginya menjadi penanda pergolakan kemerdekaan di Indonesia. Bangunan yang sarat dengan sejarah panjang upaya Arek-arek Suroboyo dalam mewujudkan kemerdekaan.
"Minimal anak-anak jadi tahu sejarah bangsanya. Mereka mengetahui Jembatan Merah, Hotel Majapahit (Yamato), dan Gedung Negara Grahadi ini," jelasnya.
Sehari sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo melantik Dewanti Rumpoko sebagai Wali Kota Batu dan H Punjul Santoso sebagai Wakil Wali Kota Batu di Gedung Negara Grahadi.
Pakde Karwo, panggilan akrab Gubernur Jawa Timur ini menjelaskan, Grahadi selalu dipakai untuk acara resmi kenegaraan. Berbagai pertemuan kenegaraan selalu digelar di Grahadi.
Gedung yang dibangun pada 1795 menyisakan banyak kenangan di Surabaya. Saat dibangun di era penguasa tunggal Belanda Dirk van Hogendorp yang menjabat sejak 1791-1798, ia beranggapan tempat kediaman resminya di kota bawah dekat Jembatan Merah kurang sesuai dengan kedudukannya.
Sikap ngotot dari van Hogendorp akhirnya terwujud dengan sebidang lahan di tepi Kalimas untuk membangun sebuah rumah taman yang lebih mewah sebagai tempat tinggalnya. Hasilnya, sebidang tanah yang ada di Jalan Pemuda yang dahulu bernama Simpang milik seorang pedagang keturunan Tionghoa akhirnya bisa didapat. Prosesnya pun cukup panjang untuk bisa memiliki tanah itu. Si pemilik akhirnya berhasil dipaksa dengan pernyataan bahwa tanah itu akan 'disimpan' baginya. Dalam catatan sejarah, pemiliknya hanya diberi uang ganti rugi segobang atau 2,5 sen. Istilah 'disimpan' itulah yang kemudian konon melahirkan kata 'Simpang'.
Van Hogendorp membangun Grahadi dengan biaya 14.000 ringgit. Namun ia menikmati tempat kediaman itu hanya sekitar tiga tahun, karena diturunkan dari jabatannya. Selama ia memangku jabatan, banyak keluhan disampaikan kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda di Batavia (Jakarta), antara lain ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya ketika diadakan resepsi tahun baru 1 Januari 1789, ia ditangkap dan dikirim kembali ke Batavia.
Setelah era van Hogendorp, Gubernur Jenderal Daendels yang dikenal dengan sebutan Toean Besar Goentoer memperbaiki Gedung Grahadi itu. Ia ingin menjadikan gedung itu sebagai istana. Jembatan di atas Kalimas pun dibangun di halaman depan gedung yang menghadap langsung ke sungai.
Awal berdirinya Gedung Grahadi memang menghadap ke Kalimas. Romantisme itu pun terbangun ketika sore hari, saat para penghuni minum teh, dapat melihat perahu-perahu yang menyusuri sungai. Perahu-perahu itu juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi. Mereka datang dan pergi dengan naik perahu menyusuri Kalimas yang tenang.
Grahadi juga dipakai juga untuk tempat bersidang Rood Von Justitie (Pengadilan Tinggi) serta menjadi tempat acara pesta dan resepsi yang mewah. Pada 1802, Gedung Grahadi yang semula menghadap ke utara, diubah menjadi menghadap ke selatan seperti saat ini.
Di seberangnya ada taman yang bernama Kroesen (Taman Simpang) yang diambil dari nama Residen J.C. Th. Kroesen. Di belakang taman itu ada patung Joko Dolog yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Patung itu juga masih berdiri kokoh.
Grahadi berasal dari bahasa sansekerta "graha" dan "adi" yang berarti rumah yang indah. Awal pembangunannya, Gedung Grahadi berkonsep Tuinhuis yang diterjemahkan menjadi konsep rumah indah yang dikelilingi taman bunga. Grahadi juga menerapkan gaya Oud Hollandstijl (gaya Belanda kuno) yang memakai jasa arsitek Belanda bernama Ir. W. Lemci.
Luas tanah Grahadi mencapai 16.284 meter persegi dan tepat berada di tepi Kalimas yang legendaris. Sungai itu menjadi medan pertempuran Raden Wijaya ketika memukul mundur pasukan Tar-Tar di era keemasan Kerajaan Majapahit.
Bung Karno penah merasakan tuah Grahadi ketika menjadikannya tempat perundingan dengan Jenderal Hawthorn pada Oktober 1945. Pertemuan itu untuk mendamaikan pertempuran pejuang RI dengan pasukan Sekutu.
Pesona Grahadi menarik minat para presiden untuk tinggal di sana. Para Presiden RI menjadikan Grahadi sebagai tempat peristirahatan dan singgah ketika mereka punya urusan kenegaraan di Surabaya dan sekitarnya.
Saat matahari sepenggalah, ia berjalan pelan menyusuri Jalan Pemuda dan Jalan Gubernur Suryo. Siang yang hangat membuat mereka nyaman menyusuri jalanan Surabaya. Sesekali berhenti di depan Balai Pemuda sambil mengabadikan bangunan bersejarah yang ada di sudut Jalan Yus Sudarso.
Tepat di depan Grahadi, ia langsung mengarahkan anak dan istrinya menghadap ke Patung Gubernur Suryo yang ada di Taman Apsari Surabaya. Senyum lebar langsung ditunjukkan sembari meminta pejalan kaki membantunya untuk mengambil gambar ia dan keluarganya dengan latar belakang Grahadi.
"Banyak kenangan di sini (Grahadi). Dulu pas masih jadi mahasiswa juga pernah demo di sini," ujar Wirawan, Kamis (28/12/2017).
Ia pun ingin mengenalkan banyak bangunan bersejarah di Surabaya pada kedua anaknya. Grahadi baginya menjadi penanda pergolakan kemerdekaan di Indonesia. Bangunan yang sarat dengan sejarah panjang upaya Arek-arek Suroboyo dalam mewujudkan kemerdekaan.
"Minimal anak-anak jadi tahu sejarah bangsanya. Mereka mengetahui Jembatan Merah, Hotel Majapahit (Yamato), dan Gedung Negara Grahadi ini," jelasnya.
Sehari sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo melantik Dewanti Rumpoko sebagai Wali Kota Batu dan H Punjul Santoso sebagai Wakil Wali Kota Batu di Gedung Negara Grahadi.
Pakde Karwo, panggilan akrab Gubernur Jawa Timur ini menjelaskan, Grahadi selalu dipakai untuk acara resmi kenegaraan. Berbagai pertemuan kenegaraan selalu digelar di Grahadi.
Gedung yang dibangun pada 1795 menyisakan banyak kenangan di Surabaya. Saat dibangun di era penguasa tunggal Belanda Dirk van Hogendorp yang menjabat sejak 1791-1798, ia beranggapan tempat kediaman resminya di kota bawah dekat Jembatan Merah kurang sesuai dengan kedudukannya.
Sikap ngotot dari van Hogendorp akhirnya terwujud dengan sebidang lahan di tepi Kalimas untuk membangun sebuah rumah taman yang lebih mewah sebagai tempat tinggalnya. Hasilnya, sebidang tanah yang ada di Jalan Pemuda yang dahulu bernama Simpang milik seorang pedagang keturunan Tionghoa akhirnya bisa didapat. Prosesnya pun cukup panjang untuk bisa memiliki tanah itu. Si pemilik akhirnya berhasil dipaksa dengan pernyataan bahwa tanah itu akan 'disimpan' baginya. Dalam catatan sejarah, pemiliknya hanya diberi uang ganti rugi segobang atau 2,5 sen. Istilah 'disimpan' itulah yang kemudian konon melahirkan kata 'Simpang'.
Van Hogendorp membangun Grahadi dengan biaya 14.000 ringgit. Namun ia menikmati tempat kediaman itu hanya sekitar tiga tahun, karena diturunkan dari jabatannya. Selama ia memangku jabatan, banyak keluhan disampaikan kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda di Batavia (Jakarta), antara lain ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya ketika diadakan resepsi tahun baru 1 Januari 1789, ia ditangkap dan dikirim kembali ke Batavia.
Setelah era van Hogendorp, Gubernur Jenderal Daendels yang dikenal dengan sebutan Toean Besar Goentoer memperbaiki Gedung Grahadi itu. Ia ingin menjadikan gedung itu sebagai istana. Jembatan di atas Kalimas pun dibangun di halaman depan gedung yang menghadap langsung ke sungai.
Awal berdirinya Gedung Grahadi memang menghadap ke Kalimas. Romantisme itu pun terbangun ketika sore hari, saat para penghuni minum teh, dapat melihat perahu-perahu yang menyusuri sungai. Perahu-perahu itu juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi. Mereka datang dan pergi dengan naik perahu menyusuri Kalimas yang tenang.
Grahadi juga dipakai juga untuk tempat bersidang Rood Von Justitie (Pengadilan Tinggi) serta menjadi tempat acara pesta dan resepsi yang mewah. Pada 1802, Gedung Grahadi yang semula menghadap ke utara, diubah menjadi menghadap ke selatan seperti saat ini.
Di seberangnya ada taman yang bernama Kroesen (Taman Simpang) yang diambil dari nama Residen J.C. Th. Kroesen. Di belakang taman itu ada patung Joko Dolog yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Patung itu juga masih berdiri kokoh.
Grahadi berasal dari bahasa sansekerta "graha" dan "adi" yang berarti rumah yang indah. Awal pembangunannya, Gedung Grahadi berkonsep Tuinhuis yang diterjemahkan menjadi konsep rumah indah yang dikelilingi taman bunga. Grahadi juga menerapkan gaya Oud Hollandstijl (gaya Belanda kuno) yang memakai jasa arsitek Belanda bernama Ir. W. Lemci.
Luas tanah Grahadi mencapai 16.284 meter persegi dan tepat berada di tepi Kalimas yang legendaris. Sungai itu menjadi medan pertempuran Raden Wijaya ketika memukul mundur pasukan Tar-Tar di era keemasan Kerajaan Majapahit.
Bung Karno penah merasakan tuah Grahadi ketika menjadikannya tempat perundingan dengan Jenderal Hawthorn pada Oktober 1945. Pertemuan itu untuk mendamaikan pertempuran pejuang RI dengan pasukan Sekutu.
Pesona Grahadi menarik minat para presiden untuk tinggal di sana. Para Presiden RI menjadikan Grahadi sebagai tempat peristirahatan dan singgah ketika mereka punya urusan kenegaraan di Surabaya dan sekitarnya.
(zik)