Jejak Manusia Purba di Bukit Kerang Kawal Darat

Jum'at, 24 November 2017 - 05:00 WIB
Jejak Manusia Purba di Bukit Kerang Kawal Darat
Jejak Manusia Purba di Bukit Kerang Kawal Darat
A A A
Untuk mencapai Bukit Kerang Kawal Darat tidaklah mudah. Lokasinya berada di dalam perkebunan sawit milik PT Tirta Madu. Melewati jalan tanah merah sejauh 6,3 kilometer, melewati Jalan Wakatobi, Kawal. Jaraknya sekitar 46 kilometer dari Kota Tanjungpinang.

Sekilas, gundukan tanah setinggi 4 meter dari permukaan tanah atau 12 meter ketinggian dari permukaan laut, lebar gundukan 18X24 meter, itu seperti gundukan biasa, tidak ada keistimewaannya. Namun, semakin didekati, barulah kelihatan bahwa gundukan itu bukanlah tanah, melainkan susunan kulit kerang yang menumpuk menjadi bukit.

Gundukan itu diberi nama Bukit Kerang Kawal Darat, karena lokasinya di daratan Kampung Kawal, Kecamatan Gunungkijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Kepala Dinas Pariwisata Bintan Luki Zaiman Prawira mengatakan, situs bukit kerang ini sudah diteliti oleh Balai Arkeologi Medan sejak tahun 2009, dipimpin langsung oleh Kepala Balai Arkeologi Medan Lucas Partanda Koestoro. Ia ditemani oleh Ketut Wiradnyana yang dikenal ahli mendalami masalah situs bukit kerang di Indonesia. Balai Arkeologi Medan merekomendasikan agar Bukit Kerang Kawal Darat dimanfaatkan sebagai bagian dari objek ekowisata mangrove.

"Akan dikembangkan sebagai salah satu daya tarik objek wisata lingkungan mangrove tour," kata Luki di Gunung Kijang, Selasa (21/11/2017).

Ia menjelaskan, ketinggian Bukit Kerang Kawal Darat 4 meter, terdiri dari beberapa lapisan. Paling atas lapisan kulit kerang bercampur humus. Lalu lapisan kerang, disusul lapisan kerang bercampur lumpur. Dan, paling bawah lapisan kerang.

Bisa jadi pada masa lalu, tinggi tumpukan kerang itu di atas 4 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, tinggi tumpukan kerang semakin berkurang. Apalagi di bagian tengah tumpukan kerang itu kini sudah ada lubang.

"Berdasarkan pemeriksaan laboratorium dengan metode carbon dating dinyatakan bahwa Bukit Kerang Kawal Darat merupakan sisa aktivitas manusia masa lalu (prasejarah) di daerah pesisir. Aktivitasnya paling tidak telah berlangsung sekitar 300 tahun sebelum masehi," katanya.

Dari hasil penelitian tersebut, masyarakatnya waktu itu mengonsumsi moluska (hewan berbadan lunak, sering bercangkang keras, seperti siput) sebagai bahan makanan dan menggunakan peralatan berbahan batu, tanah liat, cangkang kerang dan tulang, jenis moluska. Cara hidup dan model peralatan tersebut memiliki persamaan teknologi dengan sebaran situs bukit kerang di Sumatera Utara dan Aceh.
Jejak Manusia Purba di Bukit Kerang Kawal Darat

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Bukit Kerang di Kampung Kawal Darat adalah sebuah situs masa prasejarah yang layak digolongkan sebagai benda cagar budaya. Melalui periodisasi berdasarkan data artefaktual yang ditemukan hingga saat ini, situs ini masuk dalam periode akhir neolitikum awal.

Alat yang ditemukan adalah alat dari cungkil bahan tulang (spatula), alat dari cangkang kerang, ekofak moluska (strombidae), ekofak moluska (arcidae), dan batu pukul.

Kepala Balai Arkeologi Medan Lucas Partanda Koestoro mengatakan, terkait dengan persoalan penemuan bukit kerang itu, sebenarnya di Kawal Darat bukanlah yang pertama. Peninggalan manusia prasejarah berbentuk bukit kerang ditemukan pertama kali di sekitar Pantai Timur Sumatera tahun 1925 oleh peneliti Dr PV Van Stein Callenfels. Di tempat itu dia juga menemukan kapak genggam, yang disebut dengan pebble atau kapak sumatera (Sumatralith).

Selain di Bintan, masih ada empat tempat lainnya ditemukan situs prasejarah seperti ini. Selain di kawasan pesisir Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Utara, di Sulawesi juga pernah ditemukan situs serupa.

Karena itu, perlu ada penjagaan terhadap lokasi sekitar situs. Sebab, bercermin pada Deli Serdang, lokasi situs saat ini sudah hilang. Di Deli Serdang, situs tersebut ditemukan tahun 1970. Namun, untuk situs bukit kerang yang di Aceh dan di Sumatera Utara, diperkirakan usianya lebih tua, yakni sekitar 7.000 tahun sebelum masehi.

Para manusia prasejarah ini memiliki ciri hidup berkelompok. Umumnya mereka tinggal di sekitar muara sungai, tepi sungai, dan di pinggir laut. Hal ini terbukti dengan penemuan bukit kerang di Kawal Darat, yang jaraknya dari bibir pantai sekitar 4,7 kilometer. Dari lima situs bukit kerang yang ditemukan di Indonesia, semuanya berada di bibir pantai.

Di Kawal Darat sendiri sebenarnya bukan hanya ada satu situs kjokkenmoddinger, melainkan tiga. Masing-masing digunakan tiga kelompok yang berbeda. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 25-30 orang yang tinggal di rumah berbentuk panggung. Kondisi rumah berbentuk panggung ini juga mirip seperti yang ditemukan di Aceh. Namun, seiring berlalunya waktu, bekas-bekas rumah sudah tidak bisa ditemukan lagi jejaknya di Kawal.

Para manusia prasejarah yang pernah hidup di Kawal ini umumnya mencari makan dengan berburu. Kegiatan ini dilakukan oleh pria dewasa. Sedangkan yang anak-anak, wanita, dan orang tua mencari atau mengumpulkan makanan seperti kerang-kerangan serta umbi-umbian di sekitar tempat tinggal mereka.

"Itu sebabnya, tulang manusia yang biasanya ditemukan di dalam tumpukan kjokkenmoddinger berasal dari anak-anak atau wanita," lanjut Lucas.

Namun, dalam survei awal yang dilakukan arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, di kjokkenmoddinger Kawal ini belum ditemukan adanya tulang manusia. Namun, bisa jadi kalau dilakukan penelitian lanjutan, tulang belulang manusia purba itu bukan tidak mungkin dapat ditemukan. Jejak pengembaraan manusia prasejarah Bintan sendiri terbilang panjang.

Berdasarkan analisa dan kajian mendalam, Lucas sampai pada kesimpulan bahwa jejak pengembaraan manusia prasejarah di Bintan itu dimulai dari daratan kawasan Asia Tenggara, tepatnya di Thailand.

Mereka terus menuju arah selatan, hingga sampai di Bintan. Dari Thailand, mereka menuju arah Pantai Timur Sumatera sebelum sampai di Pulau Bintan. Sebenarnya, jejak manusia prasejarah yang ada di kawasan Asia Tenggara ini tidak semuanya berasal dari Thailand. Ada juga yang berasal dari Filipina. Mereka diperkirakan menjadi bagian dari Kebudayaan Hoabinh yang bermula dari Vietnam Utara.

Namun, untuk kajian lanjutan serta pendalaman, Lucas mengatakan masih perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh. Satu hal lagi yang bisa ditarik dari penemuan situs bukit kerang di Kawal itu adalah pembuktian bahwa laut telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan orang-orang Bintan sejak dahulu. "Kehidupan sebelum masehi sudah menggunakan kekayaan laut untuk kehidupan. Sayangnya, zaman sekarang kita belum memanfaatkan sumber daya laut untuk kehidupan."
Jejak Manusia Purba di Bukit Kerang Kawal Darat

Temuan bukit kerang ini akan menjadi lokasi objek penelitian lanjutan para arkeolog Indonesia. "Kita harus melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jauh sisi lainnya dari peninggalan tersebut."

Selain untuk objek penelitian arkeolog Indonesia, kawasan Bukit Kerang Kawal Darat juga bisa dijadikan objek wisata yang memungkinkan untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemda. Di sejumlah negara Eropa, kata Lucas, penemuan situs purbakala ini sendiri kemudian dikelola sebagai objek wisata.

Berawal dari Pencarian Benteng Batak
Jejak sejarah Bukit Kerang Kawal Darat bermula pada tahun 2005. Ketika itu, Aswandi Syahri, seorang penulis buku-buku sejarah di Kepri tengah melakukan penggalian data-data tentang cerita rakyat di Kepri. Satu di antara lokasi penelitiannya adalah di kawasan Kawal, sebuah desa di tepi Pantai Trikora, sekitar 46 kilometer dari pusat Kota Tanjungpinang.

Kawal adalah kampung tua yang banyak menyimpan kisah masa lalu. Dalam pembicaraan singkat dengan Lurah Kawal, saat itu Aswandi mendapat informasi tentang adanya peninggalan sejarah yang berbentuk benteng. Orang kampung menamainya dengan sebutan 'Benteng Batak'. Naluri Aswandi pun cepat bergerak. Setelah mengumpulkan berbagai serpihan informasi awal, ia langsung melakukan pelacakan. Tidak mudah menemukan tempat yang dimaksud, sebab, kisah tentang Benteng Batak itu lebih mirip dongeng.

Bisa saja memang ada tempat yang dimaksud pada zaman dahulu, namun apakah ia benar-benar berwujud seperti benteng, atau ada kisah lain yang melatarbelakanginya, sulit terlacak. Tapi dari pencarian Benteng Batak itulah, Aswandi justru mendapatkan hal lain yang bisa jadi akan mengubah pandangan orang tentang sejarah Bintan.

Ia saat itu memang tidak menemukan Benteng Batak, melainkan sebuah tumpukan kerang di perbatasan perkebunan sawit. Kerang adalah sejenis hewan laut yang memang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Lokasi penemuan tumpukan kerang itu berada di Kawal Darat. Sekilas, tidak ada yang menarik dari tumpukan sampah kerang itu. Memang ada yang mengundang tanya, yakni mengapa kulit kerang dalam jumlah besar ditumpuk di suatu tempat hingga membentuk sebuah gundukan tanah.

Tapi bagi Aswandi yang sempat mendalami sejarah, tumpukan kerang itu bukan sekadar tempat yang memiliki aura mistis, melainkan juga sebuah jejak peninggalan sejarah yang nyaris terkubur seiring berjalannya waktu. Tumpukan kerang itu dalam istilah sejarah dikenal dengan sebutan kjokkenmoddinger.

Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark, yang berarti bukit kerang, atau sampah dapur. Bukan sekadar sampah dapur biasa, kjokkenmoddinger adalah jejak peninggalan manusia purba di zaman prasejarah. "Tumpukan kerang itu merupakan sampah dapur pada masa prasejarah," kata Aswandi.

Kemudian ia menginformasikan temuan itu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Bintan. Disparbud pun langsung meminta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menyelidiki temuan tersebut. Selang beberapa waktu, temuan ini juga dipublikasikan di media massa. Akhirnya Pusat Peneliti Kebudayaan Arkelogi Nasional melakukan penelitian.

Dengan dilatarbelakangi rasa ingin tahu yang kuat, Aswandi juga sempat mengirimkan foto penemuan tersebut ke Arkeolog di National University Singapura (NUS) Profesor John Miksic. John menyarankan kepada Aswandi agar menjaga lokasi penemuan, mengingat tingginya kandungan sejarahnya.

Bisa jadi Aswandi bukanlah orang yang pertama menemukan tumpukan kerang yang memiliki nilai sejarah yang kuat itu. Sebelumnya, selain warga kampung yang sering lalu lalang untuk mencari rumput di kebun, juga ada sejumlah orang yang tertarik dengan persoalan mistis mengunjungi tempat tersebut. Namun apa yang dilakukan oleh Aswandi adalah merupakan bagian dari upaya menguak jejak sejarah Bintan.

Aswandi Syahri punya pandangan yang sama. Menurut Aswandi, dengan hasil temuan tersebut, sejarah Pulau Bintan harus ditulis ulang. Semula sejarah Bintan berasal dari Kerajaan Bentan. "Harus dilakukan penulisan sejarah kembali dimulai babakan baru sejarah. Bukit Kerang penemuan besar dalam sejarah di Indonesia dan Kepri," katanya.

Dan, dalam penulisan sejarah ulang tersebut, sejarah Kepri tidak lagi dimulai dari Kerajaan Bentan, melainkan bukit kerang di Kawal. Dari sebuah hasil laporan di Belanda, Aswandi mengetahui bahwa bukit kerang tidak saja ditemukan di Kawal, tetapi diperkirakan juga ada di Tanjunguban dan Pulau Galang, Batam. "Tetapi kita belum bisa membuktikan kebenaran laporan tersebut. Perlu ada penelitian lanjutan."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3058 seconds (0.1#10.140)