Yuk, Komboan di Tepi Bengawan Solo
A
A
A
GRESIK - Ada banyak sinyal alam muncul saat pergantian musim setiap tahunnya. Komboan di sepanjang Bengawan Solo wilayah Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur jadi sinyal alam kemarau menuju musim hujan.
Mentari pelan mulai menyembul dari sisi Timur. Jam dinding di Desa Baron, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur menunjuk di angka 06.12 WIB. Terlihat warga berbondong-bondong ke sempadan Bengawan Solo.
Tidak hanya warga yang hendak ke sawah, mereka yang mau berangkat kerja pun membatalkan diri dan memilih ikut ke tepi Bengawan Solo yang melintas di tepi desa yang berbatasan dengan Kabupaten Lamongan itu.
Ada yang hanya kail, ada pula yang membawa jaring. Bahkan, tidak sedikit yang membawa alat tangkap ikan bernama jala. Bagi yang tidak punya alat tangkap, mengharap ikan menepi di pinggir bengawan.
"Waktunya Komboan. Banyak ikan yang mengambang di permukaan Bengawan," ujar warga Baron, Sholikin (37).
Ya, Komboan adalah budaya atau sebutan pesta ikan di Bengawan Solo wilayah Kecamatan Dukun. Komboan itu dari bahasa Jawa yang artinya ikan-ikan munggut atau mengambang dan menepi di Bengawan Solo.
Kepala Desa Baron Nurul Yatim menjelaskan, Komboan terjadi sekali dalam setahun yaitu saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim hujan.
"Masyarakat sepanjang aliran sungai Bengawan Solo akan menyaksikan munculnya berbagai ikan di permukaan air," ungkapnya, Minggu (19/11/2017).
Ikan-ikan yang mengambang itu mulai jenis congga, keting, wagal, monto, mujair, atau nila sampai ikan beong atau tageh. Ikan beong dan congga paling banyak dicari warga. Selain harganya mahal, juga enak.
Yatim menyebut, mengambangnya berbagai jenis ikan disebabkan pergantian warna air, dari warna bening menjadi warna butek (cokelat). Kemudian, dari debit air yang sedang menjadi besar, dari keadaan air tenang menjadi air dengan arus cepat.
"Makanya, masyarakat menjadikan budaya atau pesta ikan. Yang ke sawah ditunda dan bahkan yang kerja pun batal, demi mencari ikan yang ngambang di Bengawan Solo," ujarnya.
Dia menambahkan, wilayah Dukun merupakan muara Bengawan Solo sebelum masuk muara laut. Makanya, musim Komboan hanya terjadi di wilayah Kecamatan Dukun.
Tidak hanya wilayah Desa Baron, Komboan juga terjadi desa-desa lain sepanjang bibir Bengawan Solo di Kecamatan Dukun di antaranya Desa Karangcangkring, Kedongkedoan, dan Desa Bangeran. Juga bibir Bengawan Solo yang melintas di Desa Tiremenggal, Madumulyorejo, Jrebeng. Bahkan, di Desa Sekargadung, Babak Bawo, Babak Sari, Kalirejo, Sembungan Anyar, Dukunanyar, dan Desa Padangbandung.
Warga Madumulyorejo, Abdul Hamid (38) menyatakan, saat Komboan, setiap warga minimal mendapat ikan sebanyak 3 kilogram. Ada yang dijual ke pengepul, ada pula yang dijadikan menu hidangan sendiri.
"Lumayan, udang congga satu kilogramnya Rp100 ribu. Kalau beong yang beratnya mencapai 2 kilogram dihargai Rp35 ribu per kilogramnya. Makanya warga menjadikan Komboan sebagai budaya," katanya.
Pentingnya lagi, budaya Komboan tidak hanya pesta ikan yang mengambang di permukaan Bengawan Solo, namun bagi par petani menandai musim hujan. Artinya, para petani tidak perlu waswas lagi untuk memulai musim tanam.
"Biasanya setelah Komboan diikuti musim hujan. Tandanya musim tanam, tapi di saat yang bersamaan terjadi banjir sepanjang Bengawan Solo. Untungnya, saat ini mulai berkurang," ujar Nurul Yatim.
Mentari pelan mulai menyembul dari sisi Timur. Jam dinding di Desa Baron, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur menunjuk di angka 06.12 WIB. Terlihat warga berbondong-bondong ke sempadan Bengawan Solo.
Tidak hanya warga yang hendak ke sawah, mereka yang mau berangkat kerja pun membatalkan diri dan memilih ikut ke tepi Bengawan Solo yang melintas di tepi desa yang berbatasan dengan Kabupaten Lamongan itu.
Ada yang hanya kail, ada pula yang membawa jaring. Bahkan, tidak sedikit yang membawa alat tangkap ikan bernama jala. Bagi yang tidak punya alat tangkap, mengharap ikan menepi di pinggir bengawan.
"Waktunya Komboan. Banyak ikan yang mengambang di permukaan Bengawan," ujar warga Baron, Sholikin (37).
Ya, Komboan adalah budaya atau sebutan pesta ikan di Bengawan Solo wilayah Kecamatan Dukun. Komboan itu dari bahasa Jawa yang artinya ikan-ikan munggut atau mengambang dan menepi di Bengawan Solo.
Kepala Desa Baron Nurul Yatim menjelaskan, Komboan terjadi sekali dalam setahun yaitu saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim hujan.
"Masyarakat sepanjang aliran sungai Bengawan Solo akan menyaksikan munculnya berbagai ikan di permukaan air," ungkapnya, Minggu (19/11/2017).
Ikan-ikan yang mengambang itu mulai jenis congga, keting, wagal, monto, mujair, atau nila sampai ikan beong atau tageh. Ikan beong dan congga paling banyak dicari warga. Selain harganya mahal, juga enak.
Yatim menyebut, mengambangnya berbagai jenis ikan disebabkan pergantian warna air, dari warna bening menjadi warna butek (cokelat). Kemudian, dari debit air yang sedang menjadi besar, dari keadaan air tenang menjadi air dengan arus cepat.
"Makanya, masyarakat menjadikan budaya atau pesta ikan. Yang ke sawah ditunda dan bahkan yang kerja pun batal, demi mencari ikan yang ngambang di Bengawan Solo," ujarnya.
Dia menambahkan, wilayah Dukun merupakan muara Bengawan Solo sebelum masuk muara laut. Makanya, musim Komboan hanya terjadi di wilayah Kecamatan Dukun.
Tidak hanya wilayah Desa Baron, Komboan juga terjadi desa-desa lain sepanjang bibir Bengawan Solo di Kecamatan Dukun di antaranya Desa Karangcangkring, Kedongkedoan, dan Desa Bangeran. Juga bibir Bengawan Solo yang melintas di Desa Tiremenggal, Madumulyorejo, Jrebeng. Bahkan, di Desa Sekargadung, Babak Bawo, Babak Sari, Kalirejo, Sembungan Anyar, Dukunanyar, dan Desa Padangbandung.
Warga Madumulyorejo, Abdul Hamid (38) menyatakan, saat Komboan, setiap warga minimal mendapat ikan sebanyak 3 kilogram. Ada yang dijual ke pengepul, ada pula yang dijadikan menu hidangan sendiri.
"Lumayan, udang congga satu kilogramnya Rp100 ribu. Kalau beong yang beratnya mencapai 2 kilogram dihargai Rp35 ribu per kilogramnya. Makanya warga menjadikan Komboan sebagai budaya," katanya.
Pentingnya lagi, budaya Komboan tidak hanya pesta ikan yang mengambang di permukaan Bengawan Solo, namun bagi par petani menandai musim hujan. Artinya, para petani tidak perlu waswas lagi untuk memulai musim tanam.
"Biasanya setelah Komboan diikuti musim hujan. Tandanya musim tanam, tapi di saat yang bersamaan terjadi banjir sepanjang Bengawan Solo. Untungnya, saat ini mulai berkurang," ujar Nurul Yatim.
(zik)