Husein Sastranegara, Penerbang TNI AU Korban Jatuhnya Pesawat Cukiu

Minggu, 19 November 2017 - 05:00 WIB
Husein Sastranegara, Penerbang TNI AU Korban Jatuhnya Pesawat Cukiu
Husein Sastranegara, Penerbang TNI AU Korban Jatuhnya Pesawat Cukiu
A A A
Nama Husein Sastranegara tentu tak asing lagi bagi warga Bandung, Jawa Barat, atau Anda yang terbang dari dan menuju Bandung. Ya, nama tokoh TNI Angkatan Udara (AU) ini memang dijadikan nama bandara atau pangkalan udara di Kota Kembang tersebut. Seperti apa sosok dan perjuangan Husein Sastranegara hingga namanya diabadikan menjadi nama bandara dan pangkalan udara?

Husein Sastranegara lahir di Cianjur, Jawa Barat, 20 Januari 1919. Dia adalah anak kedelapan dari 14 bersaudara, buah hati Rd. Demang Ishak Sastranegara dan Rd Katjh Lasmingroem.

Rd. Demang Ishak Sastranegara adalah seorang pangreh peraja (Demang) zaman Belanda. Ayahnya juga pernah menjadi Wedana Ujung Berung, pejabat bupati di Tasikmalaya, dan Patih Tasikmalaya. Sementara, ibunya adalah putri Rd. Wiranata, Onder Collecteur Pensiun Cicalengka.

Cita-cita Husein ingin menjadi seorang perwira. Untuk menggapai cita-citanya itu, Husein sekolah di Europese Lagere School (ELS) di Bandung. ELS adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia

Setelah itu, Husein melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Bandung. HBS adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda menduduki Indonesia. Kemudian, Husein pindah ke HBS di Jakarta. Lulus HBS tahun 1939, Husein melanjutkan pendidikan di Technische Hoge School (THS) di Bandung atau yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).

Perang Dunia II pada tahun 1939 berdampak pada nasib sekolah dan perjalanan hidup Husein. Belanda menduduki Jerman. Menyadari posisinya itulah pemerintah Hindia Belanda menerapkan siasat menarik simpati rakyat Indonesia dengan memberi kelonggaran kepada pemuda Indonesia mencoba karier di bidang penerbangan militer.

Kesempatan tersebut ditanggapi sebagai peluang besar yang menjanjikan oleh Husein. Tanpa ragu, Husein pun mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliahnya dan mendaftarkan diri ke sekolah Militaire Luchvaart School atau disebut juga Luchtvaart di Kalijati, Subang. Husein termasuk salah satu dari 10 pemuda pribumi yang diterima untuk mengikuti pendidikan perwira penerbang.

Dari 10 orang siswa yang masuk, hanya lima orang yang berhasil mendapat brevet penerbang yakni Husein Sastranegara, Ignatius Adisutjipto, Sambudjo Hurip, Sulistiyo, dan Sujono. Kelima siswa penerbang yang lulus tersebut kelak menjadi perintis dalam dunia penerbangan di Indonesia.

Pendidikan bagi angkatan pertama itu berakhir tahun 1940. Sayangnya, Husein Sastranegara gagal meneruskan pendidikan penerbang di Bandung. Bersama dengan dua orang rekannya, Sujono dan Sulistyo, Husein hanya mendapat KMB (Kleine Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan pesawat-pesawat bermesin tunggal. Sementara, yang mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet) hanya Agustinus Adisutjipto dan Sambudjo Hurip.

Dengan kenyataan itu, rencana Husein memasuki Sekolah Penerbang Darurat di Bandung pun terhalang. Dia kemudian ganti haluan. Pada tahun 1941, dia memasuki pendidikan Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi.

Setelah kurang lebih dua tahun mengikuti pendidikan Inspektur Polisi (Keibuho) dan mengingat kebutuhan Jepang pada saat tu, meski belum lulus Husein diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi.

Dia lalu dipindahkan menjadi Kepala Polisi di Sukanagara, Cianjur. Jelang Proklamasi Kemerdekaan RI pada Agustus 1945, Husein dipindahkan lagi sebagai pejuang dan kusuma bangsa dimulai dari jalur kepolisian.

Menyerahnya tentara Jepang kepada Sekutu yang kemudian disusul dengan pergolakan revolusi fisik, menjadikan Husein harus menggabungkan diri dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bogor. Dia menjabat sebagai salah satu komandan pada divisi yang dibentuk oleh Didi Kartasasmita. Tetapi, pertentangan yang terjadi antara dirinya dengan atasannya menyebabkan Husein mengundurkan dari kesatuan tersebut dan memasuki kesatuan BKR Bandung bagian Resimen Kuda yang belum diorganisir.

Namun, perjalanan hidup tampaknya menggariskan Husein harus kembali ke jalur penerbangan. Sekitar bulan September-Oktober 1945, Husein dipanggil oleh Suryadi Suryadarma yang waktu itu sebagai pimpinan BKR Penerbangan.

Ternyata, panggilan itu berkaitan dengan kebutuhan mengurus Lapangan Udara Andir atau yang saat ini dikenal sebagai Lanud Husein Sastranegara yang baru saja berhasil direbut para pejuang RI. Kala itu, Husein dipercaya untuk mengurus Lapangan Udara Andir.

Namun, tugas itu belum sempat dilaksanakan Husein. Sebab, baru saja Husein melapor Suryadarma, beredar kabar Lapangan Udara Andir dapat dikuasai kembali oleh tentara Jepang dan pimpinan diambil alih oleh Inggris melalui Jepang.

Bukan cuma Lapangan Udara Andir, Bandung pun harus ditinggalkan para pejuang RI, termasuk Husein di dalamnya, Husein pun kemudian ikut hijrah ke ibu kota perjuangan Yogyakarta. Dia pun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian Penerbangan.

Di Yogyakarta inilah mulai disusun dan dibina pertahanan kekuatan udara. Kala itu, tenaga penerbang dirasakan sangat dibutuhkan. Ketika sekolah penerbangan pertama kali dibuka, Husein termasuk salah seorang dari siswanya. Mereka berasal dari berbagai pendidikan mulai dari pemilik brevet sampai kepada mereka yang belum pernah terbang sama sekali.

Mereka bermodal tekad yang sama, berusaha menjadi pejuang dalam memperkuat pertahanan Tanah Air. Pada 9 April 1946, status TKR bagian Penerbangan diubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang berdiri sendiri. Selesai mengikuti pendidikan Sekolah Penerbangan Lanjutan di Yogyakarta, Husein langsung diangkat sebagai instruktur di sekolah penerbangan tersebut merangkap sebagai perwira operasi AURI.

Untuk diketahu, pada 1945-1946, AURI masih sibuk dengan 'penerbitan' materiil yang berupa pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang. Karena itu, Husein aktif menerbangkan dan mencoba pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang. Pesawat itu antara lain Curen atau sering disebut Cureng, Cukiu, dan pembom Hayabusha Diponegoro-1

Pada 21 Mei 1946, Husein melakukan penerbangan formasi dari Lapangan Udara Maguwo di Yogyakarta ke Lapangan Udara Gorda di Serang menggunakan Cureng. Pada tanggal 10 Juni 1946 penerbangan formasi lima pesawat Cureng dari Yogyakarta ke Cibeureum Tasikmalaya. Penerbangan itu dalam rangka peresmian pembukaan pangkalan udara di Cibeureum.

Lalu, penerbangan lebih jauh ke Barat dilakukan pada tanggal 23 Juli 1946 sampai ke Lapangan Gorda di Serang. Husein juga pernah pula terbang dari Maguwo Yogyakarata ke Maospati dengan menggunakan pesawat pembom Diponegoro 1. Lalu, pada 13 September 1946, Husein menerbangkan Cureng untuk menaburkan bunga dalam upacara pemakaman Tarsono Rujito di Salatiga.

Opsir Udara II Tarsono Rujito gugur akibat kecelakaan pesawat di daerah Cipatujah, Tasikmalaya, saat melakukan Cross-Country Flight dengan Cureng (Yokosuka 5KY).

Kembali ke Husein, pada 26 September 1946 dia mendapatkan tugas melakukan test flight (uji terbang) sebuah pesawat Cukiu di atas Kota Yogyakarta. Pesawat rongsokan peninggalan Jepang itu rencananya digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir menuju Malang.

Uji terbang saat itu memang harus dilakukan. Sebab, pesawat-pesawat peninggalan Jepang tersebut sebetulnya masuk kualifikasi tidak layak terbang. Pesawat Cukiu yang diterbangkan Husein take off dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta. Namun, pesawat mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Lor, Yogyakarta.

Husein bersama juru teknik Rukidi tewas. Husein meninggalkan seorang istri, Koriyati Mangkuratmaja dengan tiga putra yang masih balita. Husein gugur sebagai pahlawan dalam usia yang relatif masih muda, yakni 27 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.

Atas jasa-jasanya, pangkat Husein dinaikkan dari Mayor Udara menjadi (Anumerta) Komodor Udara sederajat Kolonel Udara. Sejumlah penghargaan diraihnya. Namanya pun kemudian diabadikan untuk mengganti Pangkalan Udara Andir. Hal ini berlaku pada 17 Agustus 1952, berdasarkan Keputusan KSAU No. 76 Tahun 1952.

Sumber tulisan: tni-au.mil.id dan id.wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber).
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.8159 seconds (0.1#10.140)