Kenaikan UMK Harus Diiringi Peningkatan Produktivitas

Selasa, 07 November 2017 - 22:16 WIB
Kenaikan UMK Harus Diiringi...
Kenaikan UMK Harus Diiringi Peningkatan Produktivitas
A A A
BANDUNG - Para pekerja atau buruh di Jabar diharapkan untuk tidak hanya menuntut upah tinggi tanpa disertai kinerja dan produktivitas. Tuntutan kenaikan upah juga jangan disamaratakan bagi masing-masing sektor, sebab pertumbuhan usaha setiap sektor berbeda.

Demikian beberapa poin yang muncul dalam Obrolan Teras Sindo (OTS) bertema "Ketok Palu UMP 2018" yang disiarkan langsung dari Studio SINDO Radio Trijaya FM, Jalan Setiabudi Nomor 170-B1, Kota Bandung, Selasa (7/11/2017). OTS merupakan diskusi ringan tanpa menghilangkan esensi yang terselenggara atas kerja sama SINDO Radio Trijaya FM, KORAN SINDO, INewsTV Jabar, dan MNC Play.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Ferry Sofwan Arief, pengamat ekonomi Acuviarta Kartabi, Ketua Bidang Networking Jaringan Pengusaha Nasional (Japnas) Jabar Deden Roby, dan Ketua FSP LEM SPSI Jabar M Sidharta.

Kepala Disnakertrans Jabar Ferry Sofwan Arief mengatakan, Pemprov Jabar telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar 2018 sebesar Rp1.544.000. UMP Jabar 2018 ditetapkan pada 1 November 2017 oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tentang Pengupahan.

Besaran UMP 2018 itu naik 8,71% dibanding UMP 2017. Kenaikan tersebut didasarkan atas Surat Edaran (SE) Kemenaker yang mematok besaran kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) 8,71%. “UMP Jabar 2018 sebesar Rp1,5 juta itu diperoleh dari perhitungan inflasi dari triwulan 2016 dan dua triwulan 2017 sebesar 3,72%, ditambah pertumbuhan ekonomi 4,99% dan pendapatan domestik bruto (PDB) sehingga menjadi 8,71%,” kata Ferry.

Dia mengemukakan, UMP Jabar 2018 merupakan jaring pengaman. Artinya, pemerintah kota dan kabupaten tidak boleh menetapkan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektor Kota/Kabupaten (UMSK) di bawah angka UMP. “Angka inflasi masuk dalam perhitungan itu untuk mengeliminasi kenaikan harga barang dan jasa. Sedangkan angka pertumbuhan ekonomi, merupakan komponen untuk penghargaan atas kinerja para pekerja,” ujar Ferry.

Menurut Ferry, saat penetapan besaran UMP Jabar 2018, masih terjadi pergolakan. Sebagian serikat pekerja yang menolak penetapan UMP itu. Padahal UMP bukan akhir dari penetapan upah, masih ada UMK dan UMSK. Selain itu, besaran upah bagi pekerja juga bisa dinegosiasikan oleh pekerja dengan pengusaha.

“Contohnya UMK Karawang yang tertinggi pada 2017 sebesar Rp3,6 juta. UMK itu untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan. Sedangkan bagi yang lebih dari 12 bulan, ada perjanjian bipartit, antara pengusaha dengan pekerja untuk menaikkan upah. Jadi ada grade-nya, seperti PNS, ada tunjangan kinerja,” tutur Ferry.

Ketua Bidang Networking Japnas Jabar Deden Roby menyatakan, secara prinsip, para pengusaha melihat UMP Jabar 2018 yang telah ditetapkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan pada 1 November 2017 berada di angka wajar. Besaran UMP itu merupakan itu titik tengah. Tentu pengusaha tak ingin melawan kebijakan pemerintah.

Namun, kata Deden, dari sisi pengusaha, ada satu harapan kepada rekan-rekan buruh sebagai partner usaha, jika di satu sisi minta kenaikan upah atau UMK, harus juga dibarengi dengan produktivitas dan kinerja. “Saat ini saya melihat, para pekerja membandingkan upah buruh dengan negara lain. Misalnya, China. Dulu upah buruh atau labor cost di China rendah, sekarang lebih tinggi. Setelah diteliti, faktanya produktivitas buruh di China memang lebih tinggi,” kata Deden.

Deden menambahkan, dalam penetapan UMSK, harus dipertajam. Jangan disamaratakan. Sebab pertumbuhan setiap sektor berbeda. Misalnya, saat ini sektor industri ritel turun. Terjadi penutupan ritel beberapa tempat. Di sisi lain, sektor telekomunikasi justru naik. “Jadi kenaikan UMSK tidak bisa disamaratakan,” ujar dia.

Pengamat ekonomi Acuviarta Kartabi membenarkan bahwa, di pasar, dalam kondisi nyata, ada sektor-sektor yang pertumbuhannya di bawah. Tetapi ada juga sektor-sektor yang pertumbuhannya tinggi. Seperti sektor komunikasi dan informasi, pertumbuhannya double digit, di atas 10%, bahkan 17%. Begitu juga sektor pergudangan.

Namun sayangnya, pertubuhan itu justru terjadi bukan di tempat yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Ini yang jadi persoalan. Pertumbuhan sektor industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar justru melambat. Jadi memang, UMK dan UMSK tidak bisa disamaratakan.

Penetapan UMK dan UMSK 2018, kata pria yang akrab disapa Acu ini, harus representatif, mempertimbangkan banyak hal. UMP Jabar 2018 sebesar Rp1,5 juta hanya patokan. Yang pasti, UMK dan UMSK tidak boleh di bawah dari UMP. Silakan kabupaten/kota, dengan kondisi wilayah masing-masing, menyesuaikan, melihat perkembangan yang ada dan mengacu kepada peraturan menteri tadi. Jadi putuskan UMK-UMSK secara arif dan bijaksana.

“Menurut saya, jika kita melihat pertumbuhan ekonomi yang melambat sekarang, penetapan UMP Jabar 2018 sebesar Rp1,5 juta, jauh lebih baik. Ini hanya sebagai rujukan. Seperti kita ketahui, tidak semua sektor tumbuh sama. Bahkan ada yang justru melambat, bahkan turun. Berapa pun besaran upah, bukan besar kecilnya, tetapi yang penting bisa mengkompensasi harga barang dan jasa,” kata Acu.

Sementara itu, Ketua FSP LEM SPSI Jabar M Sidharta menandaskan, SPSI telah menyatakan menolak penetapan UMP Jabar 2018 sebesar Rp1,5 juta. Tetapi UMP kan bukan satu-satunya. Ada UMK dan UMSK 2018 yang akan ditetapkan pada 2018. Pihak pekerja berharap UMK dan UMSK memenuhi tuntutan. Untuk menuntaskan masalah pengupahan ini, ujar dia, semua stakeholder bidang ketenagakerjaan harus duduk bersama, seperti kementerian ketenagakerjaan, perdagangan, perindustrian, dan kependudukan. Sebab, hubungan industrial ini berkaitan dengan persoalan lain.

“Kami berharap, bagaimana hubungan industrial ini menjadi pilar terdepan penguatan ekonomi nasional dan lokal. Sebab hubungan ini tak hanya berkait dengan pekerja, tetapi juga berhubungan dengan departemen perdagangan, perindustrian, kependudukan. Namun sayang selama ini, pemerintah kurang tegas. Antardepartemen kurang koordinasi. Semua sendiri-sendiri. Padahal masalah ketenagakerjaan bukan urusan menaker atau disnakertrans saja. Upah ini sensitif, krusial,” tandas Sidharta.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1514 seconds (0.1#10.140)