Membangun Desa Mandiri dari Bibir Bengawan Solo (Bagian 1)

Selasa, 31 Oktober 2017 - 16:27 WIB
Membangun Desa Mandiri dari Bibir Bengawan Solo (Bagian 1)
Membangun Desa Mandiri dari Bibir Bengawan Solo (Bagian 1)
A A A
GRESIK - Dua motor dengan masing-masing berboncengan masuk ke lokasi parkir Kawasan Wisata Terpadu Banyuurip, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik. Setelah memarkir motor, keempat pengunjung berjalan kaki menuju jogging track wisata mangrove, sekitar 75 meter.

"Cuacanya panas. Tapi di mangrove nanti adem dan anginnya semilir. Jadi enak dipakai untuk bersantai," kata satu di antara empat pengunjung yang berjalan beriringan.

Saat itu, sekitar pukul 11.00 WIB, memang cuaca di lokasi wisata mangrove Banyuurip cukup panas. Mentari yang berada di atas kepala mengeluarkan sinarnya yang cukup menyengat tubuh. Namun, hal itu tidak menyurutkan empat pengunjung yang berasal dari Berondong, Lamongan itu.

Setelah melintasi jembatan yang melintasi anak kali Bengawan Solo, keempat orang itu menyusuri jogging track yang terbuat dari kayu. Sepanjang jalur sisi kanan maupun kiri dipenuhi rerimbunan bakau dan pohon api-api. Sesekali kicauan burung mengiringi gerak langkah mereka.

Sekitar 50 meter dari titik awal jogging track terbangun gazebo yang juga terbuat dari kayu. Lokasinya langsung di bibir muara Bengawan Solo, sehingga dapat melihat lalu-lalang para nelayan yang pulang dari melaut untuk kembali ke darat. Bisingnya mesin diesel perahu disertai gemericik air mengikis suara-suara-burung burung.

"Jangan di sini (menunjuk gazebo, red). Enakan yang ujung sana, dingin dan anginya semilir," pinta salah satu pengunjung perempuan berjilbab yang mengaku bernama Hasanah, asal Berondong, Lamongan itu.

Tanpa basa-basi dan menawar, ketiga orang pengunjung mengikuti langkah Hasanah. Setelah menyusuri jalur kayu yang seolah melayang di atas air itu, sampailah di ujung jogging track. Jaraknya sekitar 200 meter dari titik awal masuk kawasan wisata mangrove Banyuurip.

Di ujung track kawasan wisata Banyuurip itulah, dua pasang muda-mudi duduk bersantai. Dua perempuan yang masing-masing berjilbab duduk di sisi kiri dan dua kali-laki yang bercelana pendek duduk bersantai di sisi kanan. Tidak tahu apa yang menjadi topik pembicaraan mereka, hanya terdengar tawa dan terlihat juga diselingi memakan makanan yang dibawanya.

Selain mereka berempat, ada pula beberapa orang duduk-duduk bersantai di gazebo. Bahkan, di antara mereka juga ada yang duduk di atas bambu-bambu melintas menuju tambatan perahu para nelayan. Mereka terlihat sangat menikmati suasana wisata mangrove Banyuurip.

"Kalau hari-hari libur, juga Sabtu dan Minggu sangat ramai. Apalagi, menjelang sore selalu dipenuhi pengunjung. Tidak hanya dari warga sekitar Ujungpangkah saja, tetapi juga ada dari Lamongan, Surabaya dan Gresik kota," ungkap Ihsanul Haris, kepala Desa Banyuurip, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik.

Kawasan wisata mangrove Banyuurip memang belum lama diberdayakan. Total kawasan di bibir muara Bengawan Solo itu mempunyai luas total 60 hektare. Namun, dari sejumlah itu yang dikembangkan untuk kawasan mangrove hanya seluas 4 hektare. Itu pun baru digarap serius pada 2015 setelah ada kerja sama dengan program corporate social responsibility (CSR) PT PGN Saka Energy.

Melalui program tersebut, operator minyak lepas pantai itu mengucurkan dana untuk pembangunan jogging track sepanjang 100 meter. Kemudian tahun 2016 dilanjutkan sepanjang 116 meter lagi dari bantuan program pengembangan kawasan pesisir tangguh (PKPT) dari APBN sebesar Rp190 juta.

"Masih serba terbatas. Karena memang pengembangannya baru dilakukan 2015. Sebenarnya program kerja sama CSR dari salah satu perusahaan minyak sudah digagas sejak lama. Namun, tidak tahu kenapa tidak pernah terealisasi," kata Ihsanul Haris.

Karena belum lama dikembangkan, fasilitas pendukung kawasan wisata mangrove Banyuurip cukup terbatas. Jalan setapak dari desa berpenduduk 6.300 orang itu menuju kawasan baru berupa makadam. Begitu juga di sekitarnya kawasan baru berdiri satu gazebo. Mungkin hanya jalan dari lokasi parkir hingga jembatan yang tertata dengan sisi kanan dan kiri pohon cemara.

Kendati belum maksimal, Pemerintahan Desa Banyuurip sudah mulai mendapatkan untung. Setidaknya dalam sebulan mendapat pemasukan sebesar Rp3 juta. Padahal, untuk dapat menikmati wisata mangrove Banyuurip pengunjung hanya dikenakan biaya Rp2 ribu. Itu pun hanya untuk parkir kendaraan motor, sementara mobil Rp4 ribu.

"Hasilnya lumayan. Dengan pengunjung 50-100 orang setiap akhir pekan, kami dapat menghasilkan sekitar Rp3 juta dalam sebulan. Bahkan, dalam setahun lalu kami dapat masukan Rp12 juta," kata Abdul Mughni, ketua BUMDes Banyuurip.

Selain menikmati rerimbunan bibir muara Bengawan Solo, pengunjung juga dimanjakan karena bisa mengelilingi kawasan seluas 60 hektare tersebut. Di antaranya pantai berpasir putih yang panjangnya sekitar 350 meter. Bahkan, pantai tersebut belum terjamah sehingga terpelihara keasriannya.

"Para pengunjung dapat melakukan kegiatan di pantai, baik secara keluarga maupun kelompok kerja. Ombaknya tidak terlalu besar dan dapat menikmati matahari tenggelam saat sore hari," kata Ihsanul Haris.

Meski baru dioperasikan, kawasan wisata mangrove Banyuurip sudah cukup menarik para pengunjung. Apalagi, bila ingin datang ke kawasan tersebut tidak berdiri sendiri. Kawasan itu terintegrasi dengan beberapa kawasan wisata di Gresik Utara dan Lamongan, di antaranya wisata Pasir Putih Pantai Delegan di Desa Delegan, Kecamatan Panceng. Wisata Bahari Lamongan (WBL) juga tidak terlalu jauh.

"Sebagai destinasi baru, kawasan wisata mangrove Banyuurip cukup menarik. Bisa dipakai untuk wisata alternatif warga Gresik yang ingin berwisata di pantai," kata M Amin (29), warga Pangkah, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik. (Bersambung).
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7696 seconds (0.1#10.140)