Seusai Liputan, Sempatkan Mengajar Ngaji di Eks Lokalisasi
A
A
A
MOJOKERTO - Dengan tergesa Fuad Amanulloh menyelesaikan naskah hasil liputannya seharian. Di salah satu radio swasta di Mojokerto tempat ia bekerja, ia harus mengejar waktu untuk menyelesaikan tugasnya sebagai jurnalis radio. Tuntas menuliskan naskah liputan, ia lantas merekam suara yang bakal disiarkan sore itu. Tepat pukul 16.00, ia harus sudah menyelesaikan tugasnya. Secepat kilat ia menyambar kunci motor menuju Balong Cangkring, sebuah wilayah di Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto yang sebelumnya merupakan lokalisasi yang telah dibubarkan tahun lalu.
Di sebuah musala kecil, puluhan anak-anak lengkap dengan menggunakan kopiah dan sarung telah menunggunya. Di tangan mereka tampak kitab panduan membaca alquran. Tak banyak basa-basi, Fuad lantas meminta anak-anak didiknya itu untuk membuka halaman lanjutan dari belajar membaca alquran sehari sebelumnya. Dengan telaten ia memberikan pengajaran membaca alquran terhadap satu per satu anak-anak yang memiliki masalah sosial itu. Ya, sebagian dari mereka adalah anak jalanan.
Empat tahun sudah Fuad menjalani aktivitas ini, sebelum lokalisasi Balong Cangring dibubarkan Pemkot Mojokerto. Mengajar mengaji di tempat yang sebelumnya menjadi sarang maksiat itu, bukanlah hal mudah baginya. Sejumlah pertentangan terjadi. Terlebih, warga penghuni kampung ini rata-rata memiliki masalah sosial yang berprofesi sebagai pengemis, atau menjual jasa di bisnis esek-esek. "Awalnya saya dicemooh. Tapi saya sabar dan memulai mengajar beberapa gelintir anak-anak di sini," kata Fuad.
Pemuda berumur 24 tahun itu tak begitu saja menyerah meski aktivitas sosialnya itu mendapat banyak cibiran dan sama sekali tak membuahkan hasil materiil. Bahkan, selama empat tahun ini, ia terbilang tak pernah absen untuk memberikan pengajaran membaca alquran. Dan saat ini, lebih dari 50 anak-anak yang sudah ikut bergabung bersamanya untuk belajar mengaji. "Sekarang sudah ada empat teman lainnya yang bergabung. Belajar mengajinya lebih efektif karena banyak yang mengajari," kata pria yang belum menamatkan kuliahnya di STIT Raden Wijaya, Kota Mojokerto itu.
Di TPQ Ad Darojah tempat ia mengajar, Fuad banyak mendapatkan pengalaman baru. Terutama soal bagaimana melakukan pendekatan terhadap anak-anak yang biasa hidup di jalanan sebagai pengemis. Menurut pemuda asal Dusun Miru, Desa Banyu Urip, Kecamatan Kedamean, Kabupaten Gresik ini, anak didiknya merupakan anak-anak yang cerdas. Hanya saja, butuh ketelatenan agar mereka tak bosan untuk ikut mengaji. "Butuh telaten. Kadang harus keras, tapi kadang juga harus lembut. Harus pintar membaca psikologis mereka," tuturnya.
Lantas apa yang melatarbekalanginya untuk melakukan aktivitas ini? Fuad menyebut bahwa anak-anak di Balong Cangring tak banyak yang melirik untuk memberikan pendidikan membaca alquran atau pendidikan agama. Padahal menurutnya, di lokasi seperti inilah justru pendidikan agama termasuk perilaku harus gencar dilakukan agar anak-anak tak terjerumus dalam kehidupan yang salah. "Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan agama. Lalu siapa kalau tidak ada yang memulai," ujarnya.
Menjalani pendidikan tanpa berbayar seperti ini, tentu saja Fuad menemui sejumlah kendala. Terutama soal pengadaan buku. Namun menurutnya, beberapa waktu lau ia mendapatkan support dari beberapa orang yang memberikan bantuan buku panduan membaca alquran. Pun saat ia kini menjalani profesi sebagai jurnalis, ia harus ekstra mengatur waktu agar pekerjaannya itu tak mengganggu jadwalnya mengajar. "Memang harus pontang-panting. Selesai membuat naskah berita dan rekaman suara, saya langsung mengajar," tuturnya.
Meski dengan kesulitan itu, Fuad tak berniat mengakhiri aksi sosialnya tersebut. Menurutnya, sudah menjadi risiko jika dirinya harus berbagi waktu antara pekerjaan dan tanggungjawab sosialnya. Ia hanya berharap, aksinya itu memberikan dampak positif bagi kehidupan anak-anak jalanan di kemudian hari. "Tidak tahu sampai kapan. Ini akan terus saya jalani selama saya mampu. Dan alhamdulillah, ini bisa saya lanjutkan meski sambil bekerja," ujar lajang ini.
Di sebuah musala kecil, puluhan anak-anak lengkap dengan menggunakan kopiah dan sarung telah menunggunya. Di tangan mereka tampak kitab panduan membaca alquran. Tak banyak basa-basi, Fuad lantas meminta anak-anak didiknya itu untuk membuka halaman lanjutan dari belajar membaca alquran sehari sebelumnya. Dengan telaten ia memberikan pengajaran membaca alquran terhadap satu per satu anak-anak yang memiliki masalah sosial itu. Ya, sebagian dari mereka adalah anak jalanan.
Empat tahun sudah Fuad menjalani aktivitas ini, sebelum lokalisasi Balong Cangring dibubarkan Pemkot Mojokerto. Mengajar mengaji di tempat yang sebelumnya menjadi sarang maksiat itu, bukanlah hal mudah baginya. Sejumlah pertentangan terjadi. Terlebih, warga penghuni kampung ini rata-rata memiliki masalah sosial yang berprofesi sebagai pengemis, atau menjual jasa di bisnis esek-esek. "Awalnya saya dicemooh. Tapi saya sabar dan memulai mengajar beberapa gelintir anak-anak di sini," kata Fuad.
Pemuda berumur 24 tahun itu tak begitu saja menyerah meski aktivitas sosialnya itu mendapat banyak cibiran dan sama sekali tak membuahkan hasil materiil. Bahkan, selama empat tahun ini, ia terbilang tak pernah absen untuk memberikan pengajaran membaca alquran. Dan saat ini, lebih dari 50 anak-anak yang sudah ikut bergabung bersamanya untuk belajar mengaji. "Sekarang sudah ada empat teman lainnya yang bergabung. Belajar mengajinya lebih efektif karena banyak yang mengajari," kata pria yang belum menamatkan kuliahnya di STIT Raden Wijaya, Kota Mojokerto itu.
Di TPQ Ad Darojah tempat ia mengajar, Fuad banyak mendapatkan pengalaman baru. Terutama soal bagaimana melakukan pendekatan terhadap anak-anak yang biasa hidup di jalanan sebagai pengemis. Menurut pemuda asal Dusun Miru, Desa Banyu Urip, Kecamatan Kedamean, Kabupaten Gresik ini, anak didiknya merupakan anak-anak yang cerdas. Hanya saja, butuh ketelatenan agar mereka tak bosan untuk ikut mengaji. "Butuh telaten. Kadang harus keras, tapi kadang juga harus lembut. Harus pintar membaca psikologis mereka," tuturnya.
Lantas apa yang melatarbekalanginya untuk melakukan aktivitas ini? Fuad menyebut bahwa anak-anak di Balong Cangring tak banyak yang melirik untuk memberikan pendidikan membaca alquran atau pendidikan agama. Padahal menurutnya, di lokasi seperti inilah justru pendidikan agama termasuk perilaku harus gencar dilakukan agar anak-anak tak terjerumus dalam kehidupan yang salah. "Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan agama. Lalu siapa kalau tidak ada yang memulai," ujarnya.
Menjalani pendidikan tanpa berbayar seperti ini, tentu saja Fuad menemui sejumlah kendala. Terutama soal pengadaan buku. Namun menurutnya, beberapa waktu lau ia mendapatkan support dari beberapa orang yang memberikan bantuan buku panduan membaca alquran. Pun saat ia kini menjalani profesi sebagai jurnalis, ia harus ekstra mengatur waktu agar pekerjaannya itu tak mengganggu jadwalnya mengajar. "Memang harus pontang-panting. Selesai membuat naskah berita dan rekaman suara, saya langsung mengajar," tuturnya.
Meski dengan kesulitan itu, Fuad tak berniat mengakhiri aksi sosialnya tersebut. Menurutnya, sudah menjadi risiko jika dirinya harus berbagi waktu antara pekerjaan dan tanggungjawab sosialnya. Ia hanya berharap, aksinya itu memberikan dampak positif bagi kehidupan anak-anak jalanan di kemudian hari. "Tidak tahu sampai kapan. Ini akan terus saya jalani selama saya mampu. Dan alhamdulillah, ini bisa saya lanjutkan meski sambil bekerja," ujar lajang ini.
(zik)