Mapaquilts, Komunitas Ibu Rumah Tangga yang Menolak Menganggur
A
A
A
MALANG - Lembaran kain berkombinasi warna merah dan putih terhampar di atas meja. Beberapa ibu terlihat begitu sibuk menata bagian ujung kain. Tangan-tangan mereka begitu cekatan menata lembaran kain dalam ukuran kecil, untuk dijahit manual menjadi bagian dari lembaran kain lebar.
Setelah satu bagian terjahit secara manual, ibu yang lain langsung menyetrikanya sehingga kain yang baru dijahit menjadi halus dan rata dengan lembaran besar. Pekerjaan itu dengan tekun mereka kerjakan secara berkelompok.
Lembaran kain dengan corak merah putih, di mana lembaran-lembaran kain yang disambungkan itu, berbentuk segi enam beraturan. "Lembaran kain ini berasal dari perca yang sudah tidak berguna," ujar Ortien Wahyu, ketua Malang Patchwork and Quilts (Mapaquilts).
Dia menyebutkan, ada dua teknik yang dikerjakan dalam menyusun kain-kain perca ini, yakni patchwork dan quilting. Limbah yang bagi sebagian orang tak berguna, bisa menjadi karya seni dan produk kain yang berguna untuk kebutuhan rumah tangga.
Teknik patchwork adalah seni menggabung potongan-potongan kecil kain perca menggunakan jahitan manual, menjadi susunan yang beraturan. Teknik kedua adalah quilting atau membuat pola di atas lembaran kain hasil patchwork. Pola ini dibuat secara manual dengan jahitan tangan.
Komunitas Mapaquilts mampu membangun kebersamaan mereka untuk menyusun lembaran-lembaran kain berbahan perca tersebut. Semua anggotanya merupakan ibu rumah tangga yang selalu aktif dan menolak untuk menganggur.
"Kami mencintai kain dan kami tidak ingin berpangku tangan di rumah. Kami ingin terus berkarya meskipun banyak keterbatasan yang harus dihadapi," ujar Ortien, yang sudah puluhan tahun hidup di ibu kota bekerja di sektor perbankan, dan kini pulang ke Kota Malang, bersama-sama ibu rumah tangga lainnya berkarya di seni patchwork dan quilting.
Komunitas yang terbangun dari hasil pelatihan yang digelar oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dua tahun silam ini mampu menyatukan mereka, melintasi batas perbedaan suku, agama, ras, dan menembus sekat-sekat keterbatasan sebagai ibu rumah tangga.
Kegembiraan tidak bisa disembunyikan dari wajah Surtiningsih (41). Ibu rumah tangga dari Kelurahan Tanjung, Kota Malang, tersebut, turut terlibat menyelesaikan kain merah putih yang mereka kerjakan bersama-sama. "Ini karya bersama kita. Pastinya senang bisa berkarya bersama," katanya.
Selain membuat karya bersama di Mapaquilts, Surtiningsih juga membuat karya sendiri dengan teknik patchwork dan quilting. Dia mampu membuat sebuah bed cover berbahan kain perca dengan tangannya sendiri.
Waktu berbulan-bulan dihabiskannya untuk menyelesaikan lembaran kain dengan corak yang menarik. Keahliannya membuat bed cover dari kain perca ini didapatkan dari hasil pelatihan yang digelar Bekraf. Selanjutnya, dia bersama anggota Mapaquilts lainnya belajar bersama secara kelompok. Salah satu tempat belajar bersama ini adalah RKB BRI.
Sambil mengasuh anaknya yang baru berusia dua tahun, dia dengan tekun terus belajar untuk mematangkan kemampuannya dalam membuat karya seni dari perca. "Kain-kain tidak terpakai bisa kita manfaatkan menjadi barang berharga, bahkan bisa memiliki nilai ekonomi untuk tambahan penghasilan rumah tangga," ujarnya.
Melihat komunitas yang beranggotakan ibu rumah tangga ini seperti menyaksikan miniatur Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak dan berasal dari berbagai latar belakang, mereka mampu bersatu, bekerja sama, belajar bersama, dan bergotong royong. Mereka tak melihat golongan, strata sosial, maupun status ekonomi.
Ortien yang mantan wanita karier di dunia perbankan mampu membaur dengan Surtiningsih yang hanya ibu rumah tangga biasa dan tinggal di perkampungan padat. Demikian juga Popy (62), seorang ibu rumah tangga yang sudah mapan masih bersedia bergabung untuk belajar bersama, bahkan mengajari para ibu rumah tangga tersebut menyempurnakan karyanya.
Popy yang kini tinggal sendiri karena anak-anaknya sudah berada di Irlandia, mengaku sangat mencintai dunia seni kain ini. "Sudah sejak muda saya menekuni dunia patchwork dan quilting ini. Sekarang saya sudah tidak banyak kesibukan mengurus anak, sehingga bisa mengisi waktu dengan berkumpul bersama ibu rumah tangga lainnya, untuk berkarya bersama," ujarnya.
Seniman tekstil berdarah Tionghoa Lusiana Limono (40) juga terlibat dalam komunitas Mapaquilts ini. Wanita pengusaha tekstil yang baru saja meraih penghargaan dari Kementerian Perdagangan tersebut tidak merasa canggung berkumpul belajar bersama para ibu rumah tangga lainnya.
Ibu dua anak yang sehari-hari telah mampu memproduksi karya seni tekstil dalam bentuk rajut dan batik tersebut mengaku setiap manusia mempunyai tanggung jawab sosial, bukan hanya bekerja untuk dirinya sendiri.
"Apa enaknya saya bisa sendirian, tetapi ibu-ibu lainnya hanya bisa menonton. Belajar dan berjuang bersama, akan lebih banyak manfaatnya," ujar lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Setelah satu bagian terjahit secara manual, ibu yang lain langsung menyetrikanya sehingga kain yang baru dijahit menjadi halus dan rata dengan lembaran besar. Pekerjaan itu dengan tekun mereka kerjakan secara berkelompok.
Lembaran kain dengan corak merah putih, di mana lembaran-lembaran kain yang disambungkan itu, berbentuk segi enam beraturan. "Lembaran kain ini berasal dari perca yang sudah tidak berguna," ujar Ortien Wahyu, ketua Malang Patchwork and Quilts (Mapaquilts).
Dia menyebutkan, ada dua teknik yang dikerjakan dalam menyusun kain-kain perca ini, yakni patchwork dan quilting. Limbah yang bagi sebagian orang tak berguna, bisa menjadi karya seni dan produk kain yang berguna untuk kebutuhan rumah tangga.
Teknik patchwork adalah seni menggabung potongan-potongan kecil kain perca menggunakan jahitan manual, menjadi susunan yang beraturan. Teknik kedua adalah quilting atau membuat pola di atas lembaran kain hasil patchwork. Pola ini dibuat secara manual dengan jahitan tangan.
Komunitas Mapaquilts mampu membangun kebersamaan mereka untuk menyusun lembaran-lembaran kain berbahan perca tersebut. Semua anggotanya merupakan ibu rumah tangga yang selalu aktif dan menolak untuk menganggur.
"Kami mencintai kain dan kami tidak ingin berpangku tangan di rumah. Kami ingin terus berkarya meskipun banyak keterbatasan yang harus dihadapi," ujar Ortien, yang sudah puluhan tahun hidup di ibu kota bekerja di sektor perbankan, dan kini pulang ke Kota Malang, bersama-sama ibu rumah tangga lainnya berkarya di seni patchwork dan quilting.
Komunitas yang terbangun dari hasil pelatihan yang digelar oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dua tahun silam ini mampu menyatukan mereka, melintasi batas perbedaan suku, agama, ras, dan menembus sekat-sekat keterbatasan sebagai ibu rumah tangga.
Kegembiraan tidak bisa disembunyikan dari wajah Surtiningsih (41). Ibu rumah tangga dari Kelurahan Tanjung, Kota Malang, tersebut, turut terlibat menyelesaikan kain merah putih yang mereka kerjakan bersama-sama. "Ini karya bersama kita. Pastinya senang bisa berkarya bersama," katanya.
Selain membuat karya bersama di Mapaquilts, Surtiningsih juga membuat karya sendiri dengan teknik patchwork dan quilting. Dia mampu membuat sebuah bed cover berbahan kain perca dengan tangannya sendiri.
Waktu berbulan-bulan dihabiskannya untuk menyelesaikan lembaran kain dengan corak yang menarik. Keahliannya membuat bed cover dari kain perca ini didapatkan dari hasil pelatihan yang digelar Bekraf. Selanjutnya, dia bersama anggota Mapaquilts lainnya belajar bersama secara kelompok. Salah satu tempat belajar bersama ini adalah RKB BRI.
Sambil mengasuh anaknya yang baru berusia dua tahun, dia dengan tekun terus belajar untuk mematangkan kemampuannya dalam membuat karya seni dari perca. "Kain-kain tidak terpakai bisa kita manfaatkan menjadi barang berharga, bahkan bisa memiliki nilai ekonomi untuk tambahan penghasilan rumah tangga," ujarnya.
Melihat komunitas yang beranggotakan ibu rumah tangga ini seperti menyaksikan miniatur Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak dan berasal dari berbagai latar belakang, mereka mampu bersatu, bekerja sama, belajar bersama, dan bergotong royong. Mereka tak melihat golongan, strata sosial, maupun status ekonomi.
Ortien yang mantan wanita karier di dunia perbankan mampu membaur dengan Surtiningsih yang hanya ibu rumah tangga biasa dan tinggal di perkampungan padat. Demikian juga Popy (62), seorang ibu rumah tangga yang sudah mapan masih bersedia bergabung untuk belajar bersama, bahkan mengajari para ibu rumah tangga tersebut menyempurnakan karyanya.
Popy yang kini tinggal sendiri karena anak-anaknya sudah berada di Irlandia, mengaku sangat mencintai dunia seni kain ini. "Sudah sejak muda saya menekuni dunia patchwork dan quilting ini. Sekarang saya sudah tidak banyak kesibukan mengurus anak, sehingga bisa mengisi waktu dengan berkumpul bersama ibu rumah tangga lainnya, untuk berkarya bersama," ujarnya.
Seniman tekstil berdarah Tionghoa Lusiana Limono (40) juga terlibat dalam komunitas Mapaquilts ini. Wanita pengusaha tekstil yang baru saja meraih penghargaan dari Kementerian Perdagangan tersebut tidak merasa canggung berkumpul belajar bersama para ibu rumah tangga lainnya.
Ibu dua anak yang sehari-hari telah mampu memproduksi karya seni tekstil dalam bentuk rajut dan batik tersebut mengaku setiap manusia mempunyai tanggung jawab sosial, bukan hanya bekerja untuk dirinya sendiri.
"Apa enaknya saya bisa sendirian, tetapi ibu-ibu lainnya hanya bisa menonton. Belajar dan berjuang bersama, akan lebih banyak manfaatnya," ujar lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
(zik)