Warga Poboya Sudah Tinggalkan Penggunaan Merkuri
A
A
A
JAKARTA - Upaya pemerintah menyadarkan bahaya penggunaan merkuri berbuah manis. Masyarakat di sekitar wilayah penambangan tradisional di Poboya, kini meninggalkan penggunaan merkuri yang berakibat buruk pada kesehatan dan lingkungan dalam jangka panjang. Kesadaran ini diyakini tokoh masyarakat dan pegiat lingkungan hidup menjadikan mutu air di wilayah ini kini lebih baik.
Tokoh adat masyarakat Poboya, Adzis Lamureke menegaskan, masyarakat penambang tradisional di Pobaya saat ini telah meninggalkan kebiasaan penggunaan merkuri dalam menambang emas.
Kesadaran masyarakat, menurut Adzis merupakan hasil dari sosialisasi panjang dan terus-menerus yang dilakukan sejak tahun tahun 2016 lalu oleh berbagai pihak, diantaranya Pemda, Kepolisian, Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan (KLHK) dan lainnya. Dia meyakini pencemaran tak lagi terjadi.
“Sekarang sudah kita tinggalkan. Kita sadarkan bahwa kita sendirilah yang harus menjaga lingkungan kita sendiri,” tutur Adzis, Senin (2/10/2017).
Oleh karenanya, masyarakat kata Adzis merasa kecewa perihal mengemukanya informasi yang berembus akhir-akhir ini yang menyebutkan warga di Poboya masih menggunakan merkuri menambang, sehingga ada pencemaran air di sana.
“Kita sepakat menjaga kelestarian lingkungan kita dan menjaga mata pencaharian kita berkesinambungan,” tegasnya.
Mutu air membaik
Adzis mengingatkan, pihak-pihak yang sengaja mengembuskan isu penggunaan merkuri di penambangan Poboya. Persoalannya kata Adzis, empat kelurahan menggantungkan nasib perekonomiannya lewat penambangan emas di sana.
Untuk meluruskan ini, masyarakat Poboya justru mengundang lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melihat langsung fakta sebenarnya di lapangan. “Silahkan datang ke sini dan lihat kondisi di lapangan yang sebenarnya,” ujarnya.
Pegiat lingkungan Kota Palu, Musliman menegaskan hal serupa. Dia menceritakan, secara kasat mata penggunaan merkuri di wilayah ini sudah tak terlihat lagi oleh warga. Dia meyakini, adanya unsur merkuri di air juga jauh berkurang.
"Secara kasat mata sudah tak ada merkuri lagi disini. Kalau dulu, ada di sekitar 0,005 persen saja. Kini jelas sudah menurun jauh sekali," jelas Musliman yang pernah meneliti baku mutu air tanah di Palu.
Dia mengakui, pada 2014 Dinas Kesehatan Kota Palu melakukan penelitian. Kala itu, dia juga ikut dalam penelitian tersebut. Hasilnya menyimpulkan ada unsur merkuri di beberapa sumur di kota Palu.
Tetapi, ini merupakan dampak dari penambangan masa dahulu. Kini, dia memastikan baku mutu air jauh lebih baik. Hasil penelitian jika kini dilakukan, diyakini takkan sama dengan beberapa tahun lalu.
Musliman menyerukan, masyarakat Palu tak perlu khawatir lagi terhadap kabar tercemarnya air oleh merkuri. Menurutnya, penggunaan merkuri di wilayah ini hanya dilakukan oleh masyarakat Palu zaman dulu.
Apa yang dikemukakan Musliman dan Adzis diamini selaras dengan penjelasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa waktu belakangan, Kementerian menyiapkan proyek percontohan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengganti penggunaan merkuri dengan sianida.
Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Berbahaya Beracun KLHK Purwasto Saroprayogi mengatakan, salah satu lokasi percontohan adalah di Poboya. “Kini merkuri sudah ditinggalkan warga,” kata Purwasto di kesempatan berbeda.
Indonesia sudah memastikan bahwa sikap terhadap penggunaan merkuri ini melalui ratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa. Indonesia resmi meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Penyerahan naskah ratifikasi dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada kesekjenan PBB pada 22 September 2017.
Ada beberapa ukuran ambang batas terhadap merkuri, ditetapkan beberapa badan dan negara. Food and Drugs Administration (FDA) Amerika menetapkan ambang batas kandungan merkuri maksimum 0,0005 ppm untuk air dan 0,5 ppm untuk makanan. Badan dunia World Health Organisasion (WHO) menetapkan batasan maksimum yang lebih rendah yaitu 0,0001 ppm untuk air.
Sementara, Jepang, Swiss,Swedia menetapkan ambang batas kadar 1 ppm produk laut yang boleh dikonsumsi. Lain halnya dengan Jerman dan Amerika Serikat yang menetapkan batas lebih tinggi, yakni 0,5 ppm (mg/kg).
Indonesia juga punya standar batas ini. Lewat KEK-02/MENKLH/1/1998 ditetapkan baku mutu air untuk golongan A dan B kandungan merkuri maksimum yang dianjurkan adalah 0,005 ppm. Dan, maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,001 ppm.
Tokoh adat masyarakat Poboya, Adzis Lamureke menegaskan, masyarakat penambang tradisional di Pobaya saat ini telah meninggalkan kebiasaan penggunaan merkuri dalam menambang emas.
Kesadaran masyarakat, menurut Adzis merupakan hasil dari sosialisasi panjang dan terus-menerus yang dilakukan sejak tahun tahun 2016 lalu oleh berbagai pihak, diantaranya Pemda, Kepolisian, Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan (KLHK) dan lainnya. Dia meyakini pencemaran tak lagi terjadi.
“Sekarang sudah kita tinggalkan. Kita sadarkan bahwa kita sendirilah yang harus menjaga lingkungan kita sendiri,” tutur Adzis, Senin (2/10/2017).
Oleh karenanya, masyarakat kata Adzis merasa kecewa perihal mengemukanya informasi yang berembus akhir-akhir ini yang menyebutkan warga di Poboya masih menggunakan merkuri menambang, sehingga ada pencemaran air di sana.
“Kita sepakat menjaga kelestarian lingkungan kita dan menjaga mata pencaharian kita berkesinambungan,” tegasnya.
Mutu air membaik
Adzis mengingatkan, pihak-pihak yang sengaja mengembuskan isu penggunaan merkuri di penambangan Poboya. Persoalannya kata Adzis, empat kelurahan menggantungkan nasib perekonomiannya lewat penambangan emas di sana.
Untuk meluruskan ini, masyarakat Poboya justru mengundang lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melihat langsung fakta sebenarnya di lapangan. “Silahkan datang ke sini dan lihat kondisi di lapangan yang sebenarnya,” ujarnya.
Pegiat lingkungan Kota Palu, Musliman menegaskan hal serupa. Dia menceritakan, secara kasat mata penggunaan merkuri di wilayah ini sudah tak terlihat lagi oleh warga. Dia meyakini, adanya unsur merkuri di air juga jauh berkurang.
"Secara kasat mata sudah tak ada merkuri lagi disini. Kalau dulu, ada di sekitar 0,005 persen saja. Kini jelas sudah menurun jauh sekali," jelas Musliman yang pernah meneliti baku mutu air tanah di Palu.
Dia mengakui, pada 2014 Dinas Kesehatan Kota Palu melakukan penelitian. Kala itu, dia juga ikut dalam penelitian tersebut. Hasilnya menyimpulkan ada unsur merkuri di beberapa sumur di kota Palu.
Tetapi, ini merupakan dampak dari penambangan masa dahulu. Kini, dia memastikan baku mutu air jauh lebih baik. Hasil penelitian jika kini dilakukan, diyakini takkan sama dengan beberapa tahun lalu.
Musliman menyerukan, masyarakat Palu tak perlu khawatir lagi terhadap kabar tercemarnya air oleh merkuri. Menurutnya, penggunaan merkuri di wilayah ini hanya dilakukan oleh masyarakat Palu zaman dulu.
Apa yang dikemukakan Musliman dan Adzis diamini selaras dengan penjelasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa waktu belakangan, Kementerian menyiapkan proyek percontohan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengganti penggunaan merkuri dengan sianida.
Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Berbahaya Beracun KLHK Purwasto Saroprayogi mengatakan, salah satu lokasi percontohan adalah di Poboya. “Kini merkuri sudah ditinggalkan warga,” kata Purwasto di kesempatan berbeda.
Indonesia sudah memastikan bahwa sikap terhadap penggunaan merkuri ini melalui ratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa. Indonesia resmi meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Penyerahan naskah ratifikasi dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada kesekjenan PBB pada 22 September 2017.
Ada beberapa ukuran ambang batas terhadap merkuri, ditetapkan beberapa badan dan negara. Food and Drugs Administration (FDA) Amerika menetapkan ambang batas kandungan merkuri maksimum 0,0005 ppm untuk air dan 0,5 ppm untuk makanan. Badan dunia World Health Organisasion (WHO) menetapkan batasan maksimum yang lebih rendah yaitu 0,0001 ppm untuk air.
Sementara, Jepang, Swiss,Swedia menetapkan ambang batas kadar 1 ppm produk laut yang boleh dikonsumsi. Lain halnya dengan Jerman dan Amerika Serikat yang menetapkan batas lebih tinggi, yakni 0,5 ppm (mg/kg).
Indonesia juga punya standar batas ini. Lewat KEK-02/MENKLH/1/1998 ditetapkan baku mutu air untuk golongan A dan B kandungan merkuri maksimum yang dianjurkan adalah 0,005 ppm. Dan, maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,001 ppm.
(sms)