Gubernur Aher Didesak Cabut Kebijakan Upah Minimum Padat Karya
A
A
A
BANDUNG - Ratusan buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa Barat mendesak Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mencabut Surat Keputusan (SK) tentang Upah Minimum Padat Karya diterapkan di empat kabupaten/kota di Jabar.
Desakan ini disampaikan buruh melalui aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (11/9/2017). Dalam orasinya, mereka menuntut Pemprov Jabar untuk memperhatikan kesejahteraan buruh dalam mengambil kebijakan terkait perburuhan.
Koordinator Departeman Buruh Perempuan KASBI Siti Eni menerangkan, SK Gubernur Jabar yang sudah diterapkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, dan Kota Depok itu dinilai akan berpengaruh terhadap upah buruh secara keseluruhan.
"Sebelumnya, upah yang diterima buruh sudah sesuai UMK (upah minimum kota). Setelah disahkannya SK gubernur, bisa jadi banyak perusahaan yang memberikan upah sesuai dengan upah padat karya," jelas Siti.
Dia juga mengungkapkan, dalam penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015, masih ditemukan praktik pengupahan yang tidak memperhatikan aspek keadilan, terutama dalam penerapan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13/2013.
Menurutnya, banyak perusahaan yang tidak memberikan perlindungan upah upah bagi pekerja kontrak, outsourching, maupun pekerja informal. Selain itu, penentuan upah minimum provinsi (UMP) pun kerap tak memperhatikan koofisien hidup layak (KHL).
"Dalam PP 78 ada permen (peraturan menteri) soal skala upah yang belum dijalankan (di semua daerah). Itu sudah dikebiri melalui turunnya SK tentang Upah Minimum Padat Karya," ucapnya.
Selain mendesak Gubernur Jabar mencabut SK tentang Upah Minimum Padat Karya, para buruh juga mendesak pemerintah berpihak kepada buruh. Di antaranya menolak PP Nomor 78 tentang Pengupahan, menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourching, hingga penghapusan sistem kerja magang.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Ferry Sofwan Arif mengakui, pihaknya terus berusaha mendapatkan kesepahaman antara buruh dan pengusaha. Harapannya penentuan besaran upah minimum padat karya tersebut diambil berdasarkan kesepakatan bersama.
"Si pengusaha harus pada posisi bisa tetap berinvestasi di Jabar. Di sisi lain kami juga bertugas menyejahterakan pekerja. Jadi dua ini harus ada titik temunya melalui upah padat karya tersebut," katanya.
Menurut Ferry, SK Gubernur Jabar tentang Upah Minimum Padat Karya dikeluarkan 2017 lalu untuk sektor garment di empat daerah. Sesuai SK, perusahaan yang mendapat keringanan adalah perusahaan yang memiliki karyawan di atas 200 orang.
Mengacu pada SK itu, upah padat karya di Kota Bekasi menjadi Rp3,1 juta dari UMK Rp3,6 juta, Purwakarta Rp2,5 juta dari UMK Rp3,1 juta, Kota Depok Rp2,9 juta dari UMK sebesar Rp3,2 juta, dan Kabupaten Bogor Rp2,8 juta dari Rp3,2 juta.
Desakan ini disampaikan buruh melalui aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (11/9/2017). Dalam orasinya, mereka menuntut Pemprov Jabar untuk memperhatikan kesejahteraan buruh dalam mengambil kebijakan terkait perburuhan.
Koordinator Departeman Buruh Perempuan KASBI Siti Eni menerangkan, SK Gubernur Jabar yang sudah diterapkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, dan Kota Depok itu dinilai akan berpengaruh terhadap upah buruh secara keseluruhan.
"Sebelumnya, upah yang diterima buruh sudah sesuai UMK (upah minimum kota). Setelah disahkannya SK gubernur, bisa jadi banyak perusahaan yang memberikan upah sesuai dengan upah padat karya," jelas Siti.
Dia juga mengungkapkan, dalam penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015, masih ditemukan praktik pengupahan yang tidak memperhatikan aspek keadilan, terutama dalam penerapan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13/2013.
Menurutnya, banyak perusahaan yang tidak memberikan perlindungan upah upah bagi pekerja kontrak, outsourching, maupun pekerja informal. Selain itu, penentuan upah minimum provinsi (UMP) pun kerap tak memperhatikan koofisien hidup layak (KHL).
"Dalam PP 78 ada permen (peraturan menteri) soal skala upah yang belum dijalankan (di semua daerah). Itu sudah dikebiri melalui turunnya SK tentang Upah Minimum Padat Karya," ucapnya.
Selain mendesak Gubernur Jabar mencabut SK tentang Upah Minimum Padat Karya, para buruh juga mendesak pemerintah berpihak kepada buruh. Di antaranya menolak PP Nomor 78 tentang Pengupahan, menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourching, hingga penghapusan sistem kerja magang.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Ferry Sofwan Arif mengakui, pihaknya terus berusaha mendapatkan kesepahaman antara buruh dan pengusaha. Harapannya penentuan besaran upah minimum padat karya tersebut diambil berdasarkan kesepakatan bersama.
"Si pengusaha harus pada posisi bisa tetap berinvestasi di Jabar. Di sisi lain kami juga bertugas menyejahterakan pekerja. Jadi dua ini harus ada titik temunya melalui upah padat karya tersebut," katanya.
Menurut Ferry, SK Gubernur Jabar tentang Upah Minimum Padat Karya dikeluarkan 2017 lalu untuk sektor garment di empat daerah. Sesuai SK, perusahaan yang mendapat keringanan adalah perusahaan yang memiliki karyawan di atas 200 orang.
Mengacu pada SK itu, upah padat karya di Kota Bekasi menjadi Rp3,1 juta dari UMK Rp3,6 juta, Purwakarta Rp2,5 juta dari UMK Rp3,1 juta, Kota Depok Rp2,9 juta dari UMK sebesar Rp3,2 juta, dan Kabupaten Bogor Rp2,8 juta dari Rp3,2 juta.
(rhs)