24 Jam Karawitan, Mengenang 40 Tahun Peluncuran Voyager 1 oleh NASA
A
A
A
YOGYAKARTA - Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta akan menggelar Pagelaran 24 Jam Menabuh bertema Sounds of the Universe pada 5-6 September 2017 mendatang. Kegiatan ini digelar untuk mengenang 40 tahun peluncuran pesawat tanpa awak Voyager oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) atau badan antariksa milik Amerika Serikat (AS).
Dekan FSP ISI Yogyakarta, Yudi Aryani memaparkan, lebih dari 1.000 pengrawait atau penabuh gamelan atau musik karawitan yang terbagi dalam 29 kelompok karawitan akan unjuk gigi di Concert Hall dan Pendopo Jurusan Karawitan FSP ISI Yogya. Ke-29 kelompok itu tidak hanya dari mahasiswa ISI Yogyakarta saja, tapi juga pengrawit dari luar kampus di Jalan Parangritis, Bantul, DI Yogyakarta itu.
Rinciannya, lima kelompok profesional, lima kelompok karawitan wanita, tiga kelompok karawitan tingkat SMA, tiga kelompok anak-anak, serta satu kelompok hadroh dari Kulonprogo. Selain itu, ada juga 13 kelompok dari UKM Perguruan Tinggi. Kelompok Karawitan Bali Purantara Yogyakarta dan Sanggar Tari Bali Saraswati Yogyakarta juga turut dalam mengisi dalam pembukaan acara ini.
Rencananya, acara ini akan dibuka oleh Raja Keraton Yogyakarta yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Ngarsodalem (sapaan Sultan HB X) akan membuka langsung acara ini. Kami sudah konfirmasi dengan sekretaris beliau. Rencananya Ngarsodalem sendiri yang akan hadir. Selain dari Kasultanan, kami juga mengundang pihak Puro Pakualaman Yogyakarta dan Mangkunegaran Surakarta untuk hadir,” kata Yudi Aryani di Kampus ISI Yogyakarta, Rabu (30/8/2017).
Dia menuturkan, lewat kegiatan tersebut, FSP ISI Yogyakarta juga ingin lebih mengingatkan kembali bahwa karawitan sudah mendunia dan diakui dunia sebagai warisan budaya yang luhur. Sementara manfaat akademik dari pertunjukan ini untuk meningkatkan kualitas ketrampilan serta keilmuan bagi mahasiswa dan dosen. “Keterlibatan seniman di luar ISI Yogyakarta ini juga bisa mengikat kebersamaan antar seniman karawitan itu sendiri,” ungkapnya.
Kegiatan serupa pernah digelar tahun 2012 lalu. Namun, kala itu jumlah pengrawit hanya belasan dan bisa memecahkan rekor MURI. Kali ini, pihaknya tidak ingin kegiatan ini kembali memecahkan MURI, tapi untuk mengajak dan mengenalkan kembali pada generasi muda tentang karawitan. Ke depan, kegiatan ini bakal diagendakan setiap tahun sekali.
Ketua Pelaksana, Siswandi menyampaikan, gending Puspawarna merupakan salah satu gending kebesaran Keraton Mangkunegaran. Gending itu diciptakan Mangkunegaran IV, kemudian direkam di Keraton Pakualaman. Salah satu empu karawitan yang menjadi pioner perekaman itu adalah Wasitodiningrat. Atas jasanya itu, seorang komponis Lou Harison membuat proposal untuk NASA agar nama Wasitodiningrat diabadikan menjadi nama bintang.
Sementara etnomusikolog Prof Robert E Brown mengusulkan nama gending Ketawang Puspawarna Wasitodiningrat dimuat di wahana penjelajah Voyager 1 tahun 1977 silam. “Gending Puspawarna ini pernah diputar di luar angkasa tahun 1977. Kita pilih tanggal 5 September itu sebagai peringatan 40 tahun diluncurkannya pesawat tanpa awak oleh NASA yang juga memutar gending Puspawarna,” katanya.
Dosen ISI Yogyakarta ini juga menyampaikan, tak hanya gending Puspawarna yang dimainkan pengrawit, tapi akan ada banyak gending ditampilkan nanti. Sebab, gending-gending itu tidak hanya milik orang Jawa, Sunda, atau Bali, tapi milik semua insan seniman dari belahan bumi.
Dosen Jurusan Karawitan FSP ISI Yogyakarta, Raharjo mengakui karawitan sudah banyak ditinggalkan di era teknologi digital saat ini. Menurutnya perlu ada pemantik seperti berbagai event agar seni karawitan ini tidak ditinggalkan generasi muda sekarang. “Karawitan di tahun 70-an itu jaya-jayanya. Setiap ada kegiatan ada karawitan, seiring perjalanan waktu mulai ditinggalkan. Kami ingin karawitan dihidupkan kembali agar seni ini tetap eksis,” katanya.
Dekan FSP ISI Yogyakarta, Yudi Aryani memaparkan, lebih dari 1.000 pengrawait atau penabuh gamelan atau musik karawitan yang terbagi dalam 29 kelompok karawitan akan unjuk gigi di Concert Hall dan Pendopo Jurusan Karawitan FSP ISI Yogya. Ke-29 kelompok itu tidak hanya dari mahasiswa ISI Yogyakarta saja, tapi juga pengrawit dari luar kampus di Jalan Parangritis, Bantul, DI Yogyakarta itu.
Rinciannya, lima kelompok profesional, lima kelompok karawitan wanita, tiga kelompok karawitan tingkat SMA, tiga kelompok anak-anak, serta satu kelompok hadroh dari Kulonprogo. Selain itu, ada juga 13 kelompok dari UKM Perguruan Tinggi. Kelompok Karawitan Bali Purantara Yogyakarta dan Sanggar Tari Bali Saraswati Yogyakarta juga turut dalam mengisi dalam pembukaan acara ini.
Rencananya, acara ini akan dibuka oleh Raja Keraton Yogyakarta yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Ngarsodalem (sapaan Sultan HB X) akan membuka langsung acara ini. Kami sudah konfirmasi dengan sekretaris beliau. Rencananya Ngarsodalem sendiri yang akan hadir. Selain dari Kasultanan, kami juga mengundang pihak Puro Pakualaman Yogyakarta dan Mangkunegaran Surakarta untuk hadir,” kata Yudi Aryani di Kampus ISI Yogyakarta, Rabu (30/8/2017).
Dia menuturkan, lewat kegiatan tersebut, FSP ISI Yogyakarta juga ingin lebih mengingatkan kembali bahwa karawitan sudah mendunia dan diakui dunia sebagai warisan budaya yang luhur. Sementara manfaat akademik dari pertunjukan ini untuk meningkatkan kualitas ketrampilan serta keilmuan bagi mahasiswa dan dosen. “Keterlibatan seniman di luar ISI Yogyakarta ini juga bisa mengikat kebersamaan antar seniman karawitan itu sendiri,” ungkapnya.
Kegiatan serupa pernah digelar tahun 2012 lalu. Namun, kala itu jumlah pengrawit hanya belasan dan bisa memecahkan rekor MURI. Kali ini, pihaknya tidak ingin kegiatan ini kembali memecahkan MURI, tapi untuk mengajak dan mengenalkan kembali pada generasi muda tentang karawitan. Ke depan, kegiatan ini bakal diagendakan setiap tahun sekali.
Ketua Pelaksana, Siswandi menyampaikan, gending Puspawarna merupakan salah satu gending kebesaran Keraton Mangkunegaran. Gending itu diciptakan Mangkunegaran IV, kemudian direkam di Keraton Pakualaman. Salah satu empu karawitan yang menjadi pioner perekaman itu adalah Wasitodiningrat. Atas jasanya itu, seorang komponis Lou Harison membuat proposal untuk NASA agar nama Wasitodiningrat diabadikan menjadi nama bintang.
Sementara etnomusikolog Prof Robert E Brown mengusulkan nama gending Ketawang Puspawarna Wasitodiningrat dimuat di wahana penjelajah Voyager 1 tahun 1977 silam. “Gending Puspawarna ini pernah diputar di luar angkasa tahun 1977. Kita pilih tanggal 5 September itu sebagai peringatan 40 tahun diluncurkannya pesawat tanpa awak oleh NASA yang juga memutar gending Puspawarna,” katanya.
Dosen ISI Yogyakarta ini juga menyampaikan, tak hanya gending Puspawarna yang dimainkan pengrawit, tapi akan ada banyak gending ditampilkan nanti. Sebab, gending-gending itu tidak hanya milik orang Jawa, Sunda, atau Bali, tapi milik semua insan seniman dari belahan bumi.
Dosen Jurusan Karawitan FSP ISI Yogyakarta, Raharjo mengakui karawitan sudah banyak ditinggalkan di era teknologi digital saat ini. Menurutnya perlu ada pemantik seperti berbagai event agar seni karawitan ini tidak ditinggalkan generasi muda sekarang. “Karawitan di tahun 70-an itu jaya-jayanya. Setiap ada kegiatan ada karawitan, seiring perjalanan waktu mulai ditinggalkan. Kami ingin karawitan dihidupkan kembali agar seni ini tetap eksis,” katanya.
(mcm)