Umar Patek Kembali Kibarkan Merah Putih di HUT RI ke-72
A
A
A
SIDOARJO - Terpidana kasus terorisme yang juga salah satu peracik bom terbaik, Umar Patek, kembali menjadi petugas pengibar bendera Merah Putih dalam upacara perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Hal tersebut terlihat saat upacara digelar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Surabaya, yang berlokasi di Porong Sidoarjo, Kamis pagi 17Agustus 2017. Bertindak sebagai inspektur upacara yakni Kepala Lapas klas 1 Surabaya, Riyanto.
Umar Patek pun merasa bangga setelah mengajukan diri dan kembali dipercaya oleh pihak Lapas menjadi petugas pengibar bendera dalam upacara. Karena ini adalah untuk keempat kalinya Umar Patek menempati posisi sebagai pembawa bendera Merah Putih di tim pengebar bendera dalam upacara bersama narapidana dari berbagai kasus kriminal lainnya.
“Saya tidak ditunjuk, tapi mengajukan diri. Dan Alhamdulillah saya bersyukur untuk tetap dipercaya kembali menjadi pembawa bendera. Dan ini sudah keempat kalinya bagi saya menjadi pengibar bendera. Pertama kali saat Hari Kebangkitan Nasional tahun 2015, lalu tiga kali berturut-turut di HUT RI tahun 2015, 2016 dan sekarang di HUT RI tahun 2017 ini,” ujar Umar Patek usai upacara di Lapas Porong, Kamis 17 Agustus 2017.
Dia mengaku berlatih selama sekitar satu minggu dan mendapatkan pendampingan dari seorang mantan prajurit Intai Amfibi (Taifib) Marinir TNI-AL, Suud Rusli yang kini menjadi terpidana mati dalam kasus Pembunuhan Bos PT Asaba yaitu, Boedyharto Angsono dan pengawalnya, Edy Siyep, pada 2003.
“Selama ini mas Suud yang melatih. Persiapanya cuma seminggu sebelum upacara perayaan kemerdekaan ini,” ujarnya seperti dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Jumat (18/8/2017).
Pria yang pernah memperoleh pendidikan dari Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ini berharap kepada kita semua sebagai warga negara Indonesia untuk dapat terus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merawat kebhinekaannya juga.
“Karena ini aalah makna atau isensi dari kemerdekaan yaitu sebuah anugerah yang Allah berikan kepada kita. Maka sebagai bentuk rasa syukur kita diberikan kemerdekaan, maka kita harus menjaga dan merawat negeri ini dengan sebaik-baiknya dengan segala macam kebhinekaannya,” pria yang menjadi asisten koordinator lapangan pada peristiwa peledakan Bom Bali tahun 2002 ini.
Terkait dengan prinsip pendirian khilafah yang sudah berseberangan dengan ideologi bangsa Indonesia, menurutnya hal itu tidak perlu diperjuangkan. Masyarakat diminta untuk lebih merawat persatuan bangsa Indonesia.
“Menurut saya hal seperti itu tidak perlu (Khilafah). Yang perlu sekarang adalah rawat saja negeri kita ini dari segala macam gangguan sistem yang lain-lainnya yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Artinya kita jaga yang sudah ada ini dan kita pertahankan,” ujar pria yang pernah menjadi komandan pelatihan Jamaah Islamiyah di Mindanao, Filipina ini.
Pria yang sebelum tertangkap aparat keamanan Pakistan pernah dihargai sebesar USD1 juta oleh Amerika ini berharap kepada para pelaku aksi teror lainnya untuk mau kembali kepada pangkuan ibu pertiwi dan meninggalkan jalan teror di negeri ini.
“Saya berharap agar para pelaku teror untuk berhenti melakukan aksinya di Indonesia. Saya ingin masyarakat yang berpikir radikal dan terindikasi melakukan tindak terorisme kembali mencintai tanah air. Karena melakukan pengerusakan dan membuat teror itu tidak sesuai dengan syariat Islam,” ujarnya.
Dirinya berpesan bahwa sebagai warga bangsa harus bisa menunjukkan bahwa sebagai warga negara Indonesia bahwa kita harus mencinta dan menjaga tanah air Indonesia dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.
“Kita tunjukkan rasa cinta kita, rasa bakti kita kepada negeri ini. Artinya kita jangan banyak menuntut kepada negara, tapi berfikirlah kita bagaimana apa yang bisa kita berikan kepada negara,” ujar pria kelahiran Pekalongan pada tahun 1967 ini.
Seperti diketahui, Umar divonis pidana 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 21 Juni 2012 atas kasus Bom Bali I tahun 2002. Dia juga terlibat dalam bom malam Natal pada 2000.
Umar Patek dijerat pasal berlapis. Di antaranya Pasal 15 junto Pasal 9 Perppu No 1/2002 yang telah diubah menjadi UU No 15/ 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 340 junto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, serta Pasal 266 ayat 1 j.
Upacara tersebut juga diikuti tiga narapidana kasus teror di Ambon yakni Ismail Yamsehu, Asep Jaya dan Samsudin alias Fathur beberapa staf dari Direktorat Pencegahan dan Direktorat Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) turut serta hadir dalam upacara tersebut.
Sebelumnya pada Selasa 15 Agustus 2017 lalu Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius, mengunjungi para napi terorisme di Lapas Porong tersebut.
Umar Patek pun merasa bangga setelah mengajukan diri dan kembali dipercaya oleh pihak Lapas menjadi petugas pengibar bendera dalam upacara. Karena ini adalah untuk keempat kalinya Umar Patek menempati posisi sebagai pembawa bendera Merah Putih di tim pengebar bendera dalam upacara bersama narapidana dari berbagai kasus kriminal lainnya.
“Saya tidak ditunjuk, tapi mengajukan diri. Dan Alhamdulillah saya bersyukur untuk tetap dipercaya kembali menjadi pembawa bendera. Dan ini sudah keempat kalinya bagi saya menjadi pengibar bendera. Pertama kali saat Hari Kebangkitan Nasional tahun 2015, lalu tiga kali berturut-turut di HUT RI tahun 2015, 2016 dan sekarang di HUT RI tahun 2017 ini,” ujar Umar Patek usai upacara di Lapas Porong, Kamis 17 Agustus 2017.
Dia mengaku berlatih selama sekitar satu minggu dan mendapatkan pendampingan dari seorang mantan prajurit Intai Amfibi (Taifib) Marinir TNI-AL, Suud Rusli yang kini menjadi terpidana mati dalam kasus Pembunuhan Bos PT Asaba yaitu, Boedyharto Angsono dan pengawalnya, Edy Siyep, pada 2003.
“Selama ini mas Suud yang melatih. Persiapanya cuma seminggu sebelum upacara perayaan kemerdekaan ini,” ujarnya seperti dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Jumat (18/8/2017).
Pria yang pernah memperoleh pendidikan dari Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ini berharap kepada kita semua sebagai warga negara Indonesia untuk dapat terus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merawat kebhinekaannya juga.
“Karena ini aalah makna atau isensi dari kemerdekaan yaitu sebuah anugerah yang Allah berikan kepada kita. Maka sebagai bentuk rasa syukur kita diberikan kemerdekaan, maka kita harus menjaga dan merawat negeri ini dengan sebaik-baiknya dengan segala macam kebhinekaannya,” pria yang menjadi asisten koordinator lapangan pada peristiwa peledakan Bom Bali tahun 2002 ini.
Terkait dengan prinsip pendirian khilafah yang sudah berseberangan dengan ideologi bangsa Indonesia, menurutnya hal itu tidak perlu diperjuangkan. Masyarakat diminta untuk lebih merawat persatuan bangsa Indonesia.
“Menurut saya hal seperti itu tidak perlu (Khilafah). Yang perlu sekarang adalah rawat saja negeri kita ini dari segala macam gangguan sistem yang lain-lainnya yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Artinya kita jaga yang sudah ada ini dan kita pertahankan,” ujar pria yang pernah menjadi komandan pelatihan Jamaah Islamiyah di Mindanao, Filipina ini.
Pria yang sebelum tertangkap aparat keamanan Pakistan pernah dihargai sebesar USD1 juta oleh Amerika ini berharap kepada para pelaku aksi teror lainnya untuk mau kembali kepada pangkuan ibu pertiwi dan meninggalkan jalan teror di negeri ini.
“Saya berharap agar para pelaku teror untuk berhenti melakukan aksinya di Indonesia. Saya ingin masyarakat yang berpikir radikal dan terindikasi melakukan tindak terorisme kembali mencintai tanah air. Karena melakukan pengerusakan dan membuat teror itu tidak sesuai dengan syariat Islam,” ujarnya.
Dirinya berpesan bahwa sebagai warga bangsa harus bisa menunjukkan bahwa sebagai warga negara Indonesia bahwa kita harus mencinta dan menjaga tanah air Indonesia dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.
“Kita tunjukkan rasa cinta kita, rasa bakti kita kepada negeri ini. Artinya kita jangan banyak menuntut kepada negara, tapi berfikirlah kita bagaimana apa yang bisa kita berikan kepada negara,” ujar pria kelahiran Pekalongan pada tahun 1967 ini.
Seperti diketahui, Umar divonis pidana 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 21 Juni 2012 atas kasus Bom Bali I tahun 2002. Dia juga terlibat dalam bom malam Natal pada 2000.
Umar Patek dijerat pasal berlapis. Di antaranya Pasal 15 junto Pasal 9 Perppu No 1/2002 yang telah diubah menjadi UU No 15/ 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 340 junto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, serta Pasal 266 ayat 1 j.
Upacara tersebut juga diikuti tiga narapidana kasus teror di Ambon yakni Ismail Yamsehu, Asep Jaya dan Samsudin alias Fathur beberapa staf dari Direktorat Pencegahan dan Direktorat Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) turut serta hadir dalam upacara tersebut.
Sebelumnya pada Selasa 15 Agustus 2017 lalu Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius, mengunjungi para napi terorisme di Lapas Porong tersebut.
(sms)