Kota Mojokerto Darurat Sampah Popok
A
A
A
MOJOKERTO - Sejumlah aktivis lingkungan melakukan gerakan sapu bersih popok di wilayah Kota Mojokerto. Mereka menyebut, kota yang hanya terdiri dari tiga kecamatan itu dalam status darurat popok.
Senin (14/8/2017), sejumlah aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) melakukan penyisiran sampah jenis popok di bawah jembatan Gajah Mada, Kota Mojokerto. Dalam penyisiran selama 30 menit itu, mereka mendapatkan sedikitnya 500 popok berbagai jenis dan merek. Selanjutnya, mereka mengirim sampah yang tidak bisa terurai tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mojokerto.
Koordinator Evakuasi Popok (Kuapok), Aziz mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya melakukan survei di lima jembatan sungai di Kota Mojokerto, yakni di jembatan Gajah Mada, Lespadangan, Kali Sadar, Mlirip, dan Sinoman. Dari survei awal Agustus itu, diketahui kondisi parah terlihat di jembatan sungai di Sinoman dan Gajah Mada. "Ada sepuluh spot tempat pembuangan popok di sungai itu," kata Aziz.
Popok, lanjut Aziz, merupakan barang yang dianggap sebagai kebutuhan pokok bagi rumah tangga, terutama mereka yang memiliki bayi ataupun lanjut usia. Sampah jenis ini, sangat berbahaya lantaran mengandung gel yang berbahaya. "Jika gel mencemari sungai dan dimakan ikan, maka ikan ini berbahaya jika dikonsumsi manusia. Popok masuk dalam limbah bahan beracun dan berbahaya (B3)," tandasnya.
Direktur Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, Kota Mojokerto dalam status darurat popok. Menurutnya, dari hasil survei di beberapa lokasi, popok merupakan jenis sampah terbesar yang mencemari sungai. Ironisnya, sejauh ini tak ada regulasi yang tegas dari pemerintah daerah setempat terkait masalah ini.
"Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, popok dinyatakan sebagai redisu. Ini harus ada penanganan khusus," kata Prigi.
Darurat popok, lanjut dia, tak hanya disandang Kota Mojokerto. Status yang sama juga disandang Kabupaten Sidoarjo, Gresik, dan Kota Surabaya. Pencemaran sungai dari limbah popok, menurutnya, memang lebih banyak berada di wilayah perkotaan.
"Karena popok banyak dipakai warga di perkotaan. Pemkot Mojokerto harus segera membuat regulasi agar warganya tak sembarangan membuang popok di sungai," katanya.
Pemkot Mojokerto, kata Prigi, secepatnya harus melakukan koordinasi dengan produsen popok yang produknya banyak dipakai di kota ini. Harapannya, produsen popok bisa memberikan dropbox khusus popok agar sampah jenis ini tak dibuang sembarang.
Menurutnya, Pemkot Mojokerto juga harus segera membentuk satgas popok untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada warga yang membuang popok sembarangan di sungai. "Itu kan sudah ada perdanya. Kalau ada yang membuang sampah di sungai, terlebih jenis popok, harus ditindak tegas," katanya.
Prigi menyebut, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat memilih membuang popok di sungai. Salah satunya, ada stigma jika bekas popok bayi yang dibakar bakal menimbulkan penyakit kulit. Stigma inilah yang menjadikan masyarakat enggan membakar bekas popok.
"Dalam survei kita menemukan satu kantong plastik berisi puluhan popok. Ini artinya, ada kesengajaan dan habit masyarakat yang membuang popok harus di sungai," pungkasnya.
Senin (14/8/2017), sejumlah aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) melakukan penyisiran sampah jenis popok di bawah jembatan Gajah Mada, Kota Mojokerto. Dalam penyisiran selama 30 menit itu, mereka mendapatkan sedikitnya 500 popok berbagai jenis dan merek. Selanjutnya, mereka mengirim sampah yang tidak bisa terurai tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mojokerto.
Koordinator Evakuasi Popok (Kuapok), Aziz mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya melakukan survei di lima jembatan sungai di Kota Mojokerto, yakni di jembatan Gajah Mada, Lespadangan, Kali Sadar, Mlirip, dan Sinoman. Dari survei awal Agustus itu, diketahui kondisi parah terlihat di jembatan sungai di Sinoman dan Gajah Mada. "Ada sepuluh spot tempat pembuangan popok di sungai itu," kata Aziz.
Popok, lanjut Aziz, merupakan barang yang dianggap sebagai kebutuhan pokok bagi rumah tangga, terutama mereka yang memiliki bayi ataupun lanjut usia. Sampah jenis ini, sangat berbahaya lantaran mengandung gel yang berbahaya. "Jika gel mencemari sungai dan dimakan ikan, maka ikan ini berbahaya jika dikonsumsi manusia. Popok masuk dalam limbah bahan beracun dan berbahaya (B3)," tandasnya.
Direktur Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, Kota Mojokerto dalam status darurat popok. Menurutnya, dari hasil survei di beberapa lokasi, popok merupakan jenis sampah terbesar yang mencemari sungai. Ironisnya, sejauh ini tak ada regulasi yang tegas dari pemerintah daerah setempat terkait masalah ini.
"Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, popok dinyatakan sebagai redisu. Ini harus ada penanganan khusus," kata Prigi.
Darurat popok, lanjut dia, tak hanya disandang Kota Mojokerto. Status yang sama juga disandang Kabupaten Sidoarjo, Gresik, dan Kota Surabaya. Pencemaran sungai dari limbah popok, menurutnya, memang lebih banyak berada di wilayah perkotaan.
"Karena popok banyak dipakai warga di perkotaan. Pemkot Mojokerto harus segera membuat regulasi agar warganya tak sembarangan membuang popok di sungai," katanya.
Pemkot Mojokerto, kata Prigi, secepatnya harus melakukan koordinasi dengan produsen popok yang produknya banyak dipakai di kota ini. Harapannya, produsen popok bisa memberikan dropbox khusus popok agar sampah jenis ini tak dibuang sembarang.
Menurutnya, Pemkot Mojokerto juga harus segera membentuk satgas popok untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada warga yang membuang popok sembarangan di sungai. "Itu kan sudah ada perdanya. Kalau ada yang membuang sampah di sungai, terlebih jenis popok, harus ditindak tegas," katanya.
Prigi menyebut, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat memilih membuang popok di sungai. Salah satunya, ada stigma jika bekas popok bayi yang dibakar bakal menimbulkan penyakit kulit. Stigma inilah yang menjadikan masyarakat enggan membakar bekas popok.
"Dalam survei kita menemukan satu kantong plastik berisi puluhan popok. Ini artinya, ada kesengajaan dan habit masyarakat yang membuang popok harus di sungai," pungkasnya.
(zik)