RA Kartini dan Kitab Faidhur Rahman
A
A
A
RADEN Ajeng (RA) Kartini pada suatu ketika mengikuti acara pengajian yang digelar di rumah pamannya, Ario Hadiningrat yang juga menjabat sebagai Bupati Demak. Pengajian itu diisi oleh ulama terkenal saat itu Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani atau yang biasa disapa Kiai Shaleh Darat.
Kartini begitu tertarik mengikuti pengajian tersebut dan pembahasan tafsir surat al-Fatihah yang dijelaskan oleh Kiai Shaleh Darat. Menurut kisah yang disampaikan Ny Fadhila Shaleh, cucu dari Kiai Shaleh Darat, sepanjang pengajian Kartini begitu tertegun mendengarkan penjelasan makna-makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah.
Kartini begitu tertarik dengan berbagai makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah karena selama ini dia hanya hafal ayat-ayatnya tanpa mengetahui maknanya. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemani menemui Kiai Shaleh Darat dan menyampaikan kekaguman akan makna surat al-Fatihah.
“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat al-Fatihah, surat pertama dan induk al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Dalam dialog yang lebih intens, Kartini mempertanyakan mengapa Sang Kiai tidak menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi Sang Kiai dinilai mempunyai ilmu yang mumpuni untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran agar masyarakat luas bisa memahami kandungan makna di dalamnya. “Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” kata Kartini.
Kiai Shaleh Darat pun tertegun, seolah tak punya kata untuk menyela. Ny Fadhila menulis, ketika itu Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan, Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Shaleh Darat untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Potongan dialog antara Kartini dan Kiai Shaleh Darat juga diangkat pada film RA Kartini yang disutradarai oleh Sjumandjaja dengan dibintangi antara lain oleh Yenny Rachman pada 1984.
Kiai Shaleh Darat pun menerjemahkan al-Quran dengan menggunakan tulisan “pegon” (Bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab). Di masa itu, Kiai Shaleh Darat berani melanggar aturan Kolonialis Belanda yang melarang penerjemahan al-Quran. Kitab tafsir yang ditulis oleh Kiai Shaleh Darat ini merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa di Nusantara yang dikenal dengan Kitab Faidhur Rahman.
Kitab ini tidak mencakup keseluruhan al-Quran, karena hanya terdiri dari dua jilid dan memuat tafsir surat al-Fatihah sampai an-Nisa. Jilid pertama berisi tafsir surat al-Fatihah dan al-Baqarah setebal 503 halaman. Tafsir ini mulai ditulis pada malam Kamis 20 rajab 1309 H/19 Februari 1892 dan selesai pada malam Kamis 19 Jumadil Awal 1310 H/9 Desember 1892. Kemudian dicetak di Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November 1893.
Sedangkan jilid kedua memuat tafsir surat Ali Imran dan an-Nisa setebal 705 halaman. Jilid kedua ini diselesaikan pada Selasa 17 Safar 1312 H/20 Agustus 1894 dan dicetak oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 1312 H/1895. (Imam Musbikin, Mutiara al-Quran hlm 202-203).
Pada jilid pertama, Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang pentingnya mengerti makna ayat-ayat al-Quran. Kiai Sholeh Darat juga menyebutkan kitab tersebut bukan dari hasil ijtihad sendiri, melainkan berasal dari kutipan-kutipan kitab-kitab tafsir yang sudah ada sebelumnya, seperti Kitab Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Ghazali.
Dalam Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, halaman 281, dituliskan setelah membaca tafsir tersebut Kartini semakin kagum dengan al-Quran. “Rasa kekaguman terhadap nilai ajaran al-Quran dituturkan kepada EC Abendanon: “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”, 15 Agustus 1902.
Melalui Kitab Faidhur Rahman terjemahan Kiai Shaleh Darat itulah, Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (QS. al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya kepada EC Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Ketika Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903, Kiai Shaleh Darat menghadiahkan Kitab Faidhur Rahman sebagai kado pernikahan. Sayang Kiai Shaled Darat belum genap merampungkan tafsir 30 juz al-Quran karena sudah wafat terlebih dahulu pada hari Jumat 29 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M di Semarang.
Kiai Shaleh Darat hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura. Ketiga ulama yang berasal dari Jawa itu juga seperguruan di Mekkah. Setelah pulang dari Kiai Shaleh Darat mendirikan pondok pesantren di pesisir kota Semarang. Sejak itulah beliau dipanggil dengan gelar Kiai Shaleh Darat Semarang.
Di antara murid-murid beliau yang menjadi ulama tersohor, adalah KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madzhab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits), dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
Dan yang mengagumkan, dari kesekian murid beliau, ada tiga orang yang disahkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu KH Ahmad Dahlan (1868–1934), dengan Surat Keputusan Pemerintah RI, No 657, 27 Desember 1961; KH Hasyim Asy’ari (1875–1947), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No 294, 17 November 1964; dan RA Kartini (1879–1904), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No 108, 12 Mei 1964.
Kartini begitu tertarik mengikuti pengajian tersebut dan pembahasan tafsir surat al-Fatihah yang dijelaskan oleh Kiai Shaleh Darat. Menurut kisah yang disampaikan Ny Fadhila Shaleh, cucu dari Kiai Shaleh Darat, sepanjang pengajian Kartini begitu tertegun mendengarkan penjelasan makna-makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah.
Kartini begitu tertarik dengan berbagai makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah karena selama ini dia hanya hafal ayat-ayatnya tanpa mengetahui maknanya. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemani menemui Kiai Shaleh Darat dan menyampaikan kekaguman akan makna surat al-Fatihah.
“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat al-Fatihah, surat pertama dan induk al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Dalam dialog yang lebih intens, Kartini mempertanyakan mengapa Sang Kiai tidak menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi Sang Kiai dinilai mempunyai ilmu yang mumpuni untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran agar masyarakat luas bisa memahami kandungan makna di dalamnya. “Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” kata Kartini.
Kiai Shaleh Darat pun tertegun, seolah tak punya kata untuk menyela. Ny Fadhila menulis, ketika itu Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan, Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Shaleh Darat untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Potongan dialog antara Kartini dan Kiai Shaleh Darat juga diangkat pada film RA Kartini yang disutradarai oleh Sjumandjaja dengan dibintangi antara lain oleh Yenny Rachman pada 1984.
Kiai Shaleh Darat pun menerjemahkan al-Quran dengan menggunakan tulisan “pegon” (Bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab). Di masa itu, Kiai Shaleh Darat berani melanggar aturan Kolonialis Belanda yang melarang penerjemahan al-Quran. Kitab tafsir yang ditulis oleh Kiai Shaleh Darat ini merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa di Nusantara yang dikenal dengan Kitab Faidhur Rahman.
Kitab ini tidak mencakup keseluruhan al-Quran, karena hanya terdiri dari dua jilid dan memuat tafsir surat al-Fatihah sampai an-Nisa. Jilid pertama berisi tafsir surat al-Fatihah dan al-Baqarah setebal 503 halaman. Tafsir ini mulai ditulis pada malam Kamis 20 rajab 1309 H/19 Februari 1892 dan selesai pada malam Kamis 19 Jumadil Awal 1310 H/9 Desember 1892. Kemudian dicetak di Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November 1893.
Sedangkan jilid kedua memuat tafsir surat Ali Imran dan an-Nisa setebal 705 halaman. Jilid kedua ini diselesaikan pada Selasa 17 Safar 1312 H/20 Agustus 1894 dan dicetak oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 1312 H/1895. (Imam Musbikin, Mutiara al-Quran hlm 202-203).
Pada jilid pertama, Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang pentingnya mengerti makna ayat-ayat al-Quran. Kiai Sholeh Darat juga menyebutkan kitab tersebut bukan dari hasil ijtihad sendiri, melainkan berasal dari kutipan-kutipan kitab-kitab tafsir yang sudah ada sebelumnya, seperti Kitab Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Ghazali.
Dalam Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, halaman 281, dituliskan setelah membaca tafsir tersebut Kartini semakin kagum dengan al-Quran. “Rasa kekaguman terhadap nilai ajaran al-Quran dituturkan kepada EC Abendanon: “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”, 15 Agustus 1902.
Melalui Kitab Faidhur Rahman terjemahan Kiai Shaleh Darat itulah, Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (QS. al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya kepada EC Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Ketika Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903, Kiai Shaleh Darat menghadiahkan Kitab Faidhur Rahman sebagai kado pernikahan. Sayang Kiai Shaled Darat belum genap merampungkan tafsir 30 juz al-Quran karena sudah wafat terlebih dahulu pada hari Jumat 29 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M di Semarang.
Kiai Shaleh Darat hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura. Ketiga ulama yang berasal dari Jawa itu juga seperguruan di Mekkah. Setelah pulang dari Kiai Shaleh Darat mendirikan pondok pesantren di pesisir kota Semarang. Sejak itulah beliau dipanggil dengan gelar Kiai Shaleh Darat Semarang.
Di antara murid-murid beliau yang menjadi ulama tersohor, adalah KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madzhab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits), dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
Dan yang mengagumkan, dari kesekian murid beliau, ada tiga orang yang disahkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu KH Ahmad Dahlan (1868–1934), dengan Surat Keputusan Pemerintah RI, No 657, 27 Desember 1961; KH Hasyim Asy’ari (1875–1947), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No 294, 17 November 1964; dan RA Kartini (1879–1904), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No 108, 12 Mei 1964.
(wib)