Karung Jahe Selamatkan Museri dari Petaka Longsor di Ponorogo
A
A
A
PONOROGO - Longsornya bukit di sebelah barat Desa Banaran memang tak pernah disangka-sangka bakal terjadi oleh warga setempat. Bukit yang asri tiba-tiba patah dan menimbun hidup-hidup warga yang tinggal di lembah, selatan bukit yang dijuluki Gunung Gedhe tersebut.
Warga benar-benar tidak menyangka bukit yang selama ini asri dan penuh dengan tanaman tersebut bisa longsor. Apalagi selama ini bukit tersebut hijau tidak ada menampakkan tanda-tanda akan ambrol apalagi longsor. Warga pun cukup rajin bercocok tanam di bukit tersebut.
Namun Sabtu (1/4/2017) kemarin benar-benar menjadi mimpi buruk bagi warga Desa Banaran. Tanpa didahului hujan, bahkan pagi itu terhitung cerah, tapi Gunung Gedhe tiba-tiba ambrol.
Bukit setinggi lebih dari 100 meter itu mengeluarkan dentuman dan seolah berubah menjadi air lalu mengalir ke permukiman warga, tepat di sebelah selatan bukit tersebut.
Bagi Museri, salah satu warga yang selamat, kehilangan kali ini amat dalam dirasakannya. Bencana itu telah menelan nyawa kakak perempuan, bibi dan saudara-saudaranya karena turut tertimbun longsor.
“Sejak pagi kami memanen jahe. Ada juga yang mulai menanam jahe. Ya memang musimnya. Sebenarnya saya tidak boleh ikut karena baru sembuh dari sakit,” ujarnya.
Namun pagi itu, usai mengantar kedua putrinya ke sekolah, wanita 40 tahunan itu menuju ladang belakang rumahnya. Dia bergabung dengan delapan orang sanak familinya yang sedang asyik bercocok tanam di kebun jahe.
“Tapi mereka meminta saya pulang lagi. Katanya suruh ganti baju yang lebih pas. Ya baju yang siap buat kotor-kotor gitu. Lalu saya disuruh lagi ngambil karung buat menampung jahe yang dipanen,” ungkapnya.
Saat Museri keluar rumah sambil menenteng karung itulah, terdengar sebuah dentuman. Lalu terdengar gemuruh yang semakin menguat.
“Saya lihat kabut hitam di langit, di bawahnya tanah bergulung-gulung. Saya teriak ke keluarga saya. Tapi terlambat, mereka ditelan longsor. Saya lari menjauh dan pingsan. Tiba-tiba sudah di sini (rumah Kades, tempat evakuasi),” ungkap Museri.
Dia tidak menduga musibah yang menghilangkan keluarga besarnya akan terjadi. Dia pun tidak habis pikir ketika seluruh keluarganya selalu menyuruh-nyuruhnya bolak-balik dari rumah ke ladang jahe mereka.
“Kalau tidak karena karung, mungkin saya sudah ikut tertelan longsor. Karung itu menyelamatkan saya. Saya, dua anak saya juga selamat. Suami masih di Timika, kerja,” ujarnya.
Tak hanya Museri, Gito juga yang harus kehilangan rumah dan keluarganya. Beberapa anak tampak limbung karena orang tua dan rumahnya masih tertimbun tanah.
“Saya melihat kabut hitam ikut menyusuri tanah yang longsor. Saya cuma bisa nyebut. Keluarga saya ada di sana,” ucap Gito.
Dari atas bukit tempatnya mencari rumput, dengan jelas dia melihat tanah dari Gunung Gedhe tiba-tiba longsor, lalu bergulingan seolah mencari jalan keluar dan terus menerjang rumah warga, termasuk rumahnya.
“Saya di atas, anak saya kerja. Istri juga sedang di pasar berjualan. Tapi rumah saya hilang,” ujarnya dengan tatap mata nanar.
Bencana yang datang tiba-tiba mendatangkan kepanikan yang luar biasa. Beberapa orang tak mampu menyelamatkan diri. Bahkan saat mereka telah berupaya untuk menghindar. Ada pula Hari dan putrinya yang kini belum tahu nasib istri dan anaknya.
"Mas Wiyoto (salah satu korban tertimbun) itu sudah nyelah (menyalakan motor) tapi tidak bisa nyala motornya. Lha langsung tertimbun sama anaknya di boncengan,” ungkap salah satu warga yang sempat menyaksikan tetangganya terperangkap longsoran.
Warga benar-benar tidak menyangka bukit yang selama ini asri dan penuh dengan tanaman tersebut bisa longsor. Apalagi selama ini bukit tersebut hijau tidak ada menampakkan tanda-tanda akan ambrol apalagi longsor. Warga pun cukup rajin bercocok tanam di bukit tersebut.
Namun Sabtu (1/4/2017) kemarin benar-benar menjadi mimpi buruk bagi warga Desa Banaran. Tanpa didahului hujan, bahkan pagi itu terhitung cerah, tapi Gunung Gedhe tiba-tiba ambrol.
Bukit setinggi lebih dari 100 meter itu mengeluarkan dentuman dan seolah berubah menjadi air lalu mengalir ke permukiman warga, tepat di sebelah selatan bukit tersebut.
Bagi Museri, salah satu warga yang selamat, kehilangan kali ini amat dalam dirasakannya. Bencana itu telah menelan nyawa kakak perempuan, bibi dan saudara-saudaranya karena turut tertimbun longsor.
“Sejak pagi kami memanen jahe. Ada juga yang mulai menanam jahe. Ya memang musimnya. Sebenarnya saya tidak boleh ikut karena baru sembuh dari sakit,” ujarnya.
Namun pagi itu, usai mengantar kedua putrinya ke sekolah, wanita 40 tahunan itu menuju ladang belakang rumahnya. Dia bergabung dengan delapan orang sanak familinya yang sedang asyik bercocok tanam di kebun jahe.
“Tapi mereka meminta saya pulang lagi. Katanya suruh ganti baju yang lebih pas. Ya baju yang siap buat kotor-kotor gitu. Lalu saya disuruh lagi ngambil karung buat menampung jahe yang dipanen,” ungkapnya.
Saat Museri keluar rumah sambil menenteng karung itulah, terdengar sebuah dentuman. Lalu terdengar gemuruh yang semakin menguat.
“Saya lihat kabut hitam di langit, di bawahnya tanah bergulung-gulung. Saya teriak ke keluarga saya. Tapi terlambat, mereka ditelan longsor. Saya lari menjauh dan pingsan. Tiba-tiba sudah di sini (rumah Kades, tempat evakuasi),” ungkap Museri.
Dia tidak menduga musibah yang menghilangkan keluarga besarnya akan terjadi. Dia pun tidak habis pikir ketika seluruh keluarganya selalu menyuruh-nyuruhnya bolak-balik dari rumah ke ladang jahe mereka.
“Kalau tidak karena karung, mungkin saya sudah ikut tertelan longsor. Karung itu menyelamatkan saya. Saya, dua anak saya juga selamat. Suami masih di Timika, kerja,” ujarnya.
Tak hanya Museri, Gito juga yang harus kehilangan rumah dan keluarganya. Beberapa anak tampak limbung karena orang tua dan rumahnya masih tertimbun tanah.
“Saya melihat kabut hitam ikut menyusuri tanah yang longsor. Saya cuma bisa nyebut. Keluarga saya ada di sana,” ucap Gito.
Dari atas bukit tempatnya mencari rumput, dengan jelas dia melihat tanah dari Gunung Gedhe tiba-tiba longsor, lalu bergulingan seolah mencari jalan keluar dan terus menerjang rumah warga, termasuk rumahnya.
“Saya di atas, anak saya kerja. Istri juga sedang di pasar berjualan. Tapi rumah saya hilang,” ujarnya dengan tatap mata nanar.
Bencana yang datang tiba-tiba mendatangkan kepanikan yang luar biasa. Beberapa orang tak mampu menyelamatkan diri. Bahkan saat mereka telah berupaya untuk menghindar. Ada pula Hari dan putrinya yang kini belum tahu nasib istri dan anaknya.
"Mas Wiyoto (salah satu korban tertimbun) itu sudah nyelah (menyalakan motor) tapi tidak bisa nyala motornya. Lha langsung tertimbun sama anaknya di boncengan,” ungkap salah satu warga yang sempat menyaksikan tetangganya terperangkap longsoran.
(sms)