Imbas Pergerakan Tanah, Warga Desa Pancasura Tak Miliki Rumah Permanen
A
A
A
GARUT - Pergerakan tanah di Desa Pancasura, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat. telah terjadi sejak era tahun 1980-an. Akibatnya, konstruksi bangunan permanen mengalami keretakan di bagian dinding maupun lantai. Sebagian besar penduduk di Desa Pancasura tidak memiliki rumah permanen.
"Dari sekira 2.100 kepala keluarga (KK) atau kurang lebih 6.500 penduduk, yang memiliki rumah permanen sangat sedikit. Sebagian besar penduduk desa menempati rumah panggung," kata Kepala Desa Pancasura Saefulloh A Ridho, Senin (6/2/2017).
Menurut Saeful, sebagian besar warga enggan mendirikan bangunan permanen untuk tempat tinggal dengan alasan khawatir mengalami kerusakan. Ia menyebut, konstruksi bangunan permanen akan mengalami kerusakan dalam waktu satu hingga dua tahun setelah dibangun.
"Biasanya satu atau dua tahun rumah permanen yang dibangun akan mengalami keretakan pada bagian dinding dan lantainya. Itulah penyebab kenapa banyak warga memilih mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu ketimbang rumah permanen dari konstruksi beton," ungkapnya.
Meski memilih mendirikan rumah panggung, bukan berarti warga terbebas dari dampak pergerakan tanah. "Sebab rumah panggung juga ikut terdampak, namun tidak separah dengan rumah permanen. Misalnya ikut bergeser karena tanah di bawah rumah bergerak. Posisi rumah jadi berubah," ujarnya.
Tidak jarang, pergerakan tanah itu juga membuat penopang rumah panggung mengalami ambles. "Solusi bagi rumah panggung yang ambles dan berubah posisi ini adalah dengan cara didongkrak menggunakan dongkrak mobil. Lalu penopang rumah diganjal oleh batu agar posisinya kembali datar seperti semula," paparnya.
Ia menyebut, permukiman warga yang terdampak pergerakan tanah ada di Kampung Ciangkra, Kampung Sawah Tengah, Kampung Sukamukti, Kampung Sawah Peuteuy, Kampung Sawah Limus, Kampung Cidedeu, dan Kampung Cigambi. Saeful sendiri mengaku tak mengetahui berapa jumlah rumah yang mengalami kerusakan akibat pergerakan tanah di desa yang ia pimpin.
"Sebab selama ini (pergerakan tanah) telah dianggap warga sebagai hal yang biasa. Itulah mengapa aparat pemerintah terkecil di perkampungan tidak melakukan penghitungan. Namun dari pemantauan yang saya lakukan ke lapangan, jumlah rumah yang terdampak ini sangat banyak. Jangankan rumah warga, kantor Desa Pancasura juga mengalami retakan-retakan."
"Dari sekira 2.100 kepala keluarga (KK) atau kurang lebih 6.500 penduduk, yang memiliki rumah permanen sangat sedikit. Sebagian besar penduduk desa menempati rumah panggung," kata Kepala Desa Pancasura Saefulloh A Ridho, Senin (6/2/2017).
Menurut Saeful, sebagian besar warga enggan mendirikan bangunan permanen untuk tempat tinggal dengan alasan khawatir mengalami kerusakan. Ia menyebut, konstruksi bangunan permanen akan mengalami kerusakan dalam waktu satu hingga dua tahun setelah dibangun.
"Biasanya satu atau dua tahun rumah permanen yang dibangun akan mengalami keretakan pada bagian dinding dan lantainya. Itulah penyebab kenapa banyak warga memilih mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu ketimbang rumah permanen dari konstruksi beton," ungkapnya.
Meski memilih mendirikan rumah panggung, bukan berarti warga terbebas dari dampak pergerakan tanah. "Sebab rumah panggung juga ikut terdampak, namun tidak separah dengan rumah permanen. Misalnya ikut bergeser karena tanah di bawah rumah bergerak. Posisi rumah jadi berubah," ujarnya.
Tidak jarang, pergerakan tanah itu juga membuat penopang rumah panggung mengalami ambles. "Solusi bagi rumah panggung yang ambles dan berubah posisi ini adalah dengan cara didongkrak menggunakan dongkrak mobil. Lalu penopang rumah diganjal oleh batu agar posisinya kembali datar seperti semula," paparnya.
Ia menyebut, permukiman warga yang terdampak pergerakan tanah ada di Kampung Ciangkra, Kampung Sawah Tengah, Kampung Sukamukti, Kampung Sawah Peuteuy, Kampung Sawah Limus, Kampung Cidedeu, dan Kampung Cigambi. Saeful sendiri mengaku tak mengetahui berapa jumlah rumah yang mengalami kerusakan akibat pergerakan tanah di desa yang ia pimpin.
"Sebab selama ini (pergerakan tanah) telah dianggap warga sebagai hal yang biasa. Itulah mengapa aparat pemerintah terkecil di perkampungan tidak melakukan penghitungan. Namun dari pemantauan yang saya lakukan ke lapangan, jumlah rumah yang terdampak ini sangat banyak. Jangankan rumah warga, kantor Desa Pancasura juga mengalami retakan-retakan."
(zik)