Pertempuran 5 Hari Pasukan Front Seberang Ilir Timur dengan Belanda

Jum'at, 03 Februari 2017 - 05:00 WIB
Pertempuran 5 Hari Pasukan Front Seberang Ilir Timur dengan Belanda
Pertempuran 5 Hari Pasukan Front Seberang Ilir Timur dengan Belanda
A A A
Sebelum Belanda melancarkan agresinya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, di Palembang terlebih dahulu sudah terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam tanggal 1 sampai 5 Januari 1947.

Pertempuran ini adalah pertempuran tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara.

Ditinjau dari aspek ekonomi, jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong.

selain itu, dapat juga menguasai perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor, apalagi Palembang yang sangat didominasi oleh air sehingga sangat baik bagi perdagangan.

bahkan oleh Belanda sendiri sebelum Perang Dunia II, pernah mempromosikan sebagai "Venetie van het verre oasten" atau "Venesia dari Timur Jauh".

Dari segi politik, Belanda ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka masih bisa menguasai Sumatera dan Jawa.

Sedangkan ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan lainnya di sumatera.

Sehingga dengan menduduki Palembang akan menjadi pukulan moral yang besar bagi pasukan di daerah sumatera lainnya. selain itu bagi Belanda menduduki Palembang sangat penting, Palembang dapat dijadikan batu loncatan untuk menuju Pulau Jawa.

Peristiwa perlawanan rakyat Palembang diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu (Inggris), NICA, dan Tentara Divisi ke 26 di kota Palembang pada 12 Oktober 1945 dibawah pimpinan Letkol Charmichel.

Pada waktu itu Pemerintah Republik Indonesia tidak merasa curiga akan kedatangan Sekutu yang mengikutsertakan NICA sehingga menerima mereka dan menetapkan bahwa pasukan sekutu hanya diperbolehkan menempati daerah Talang Semut (daerah pemukiman eropa di Palembang).

Merasa diterima di Palembang, Sekutu tidak menuruti kesepakatan awal dengan Pemerintah Republik, malahan pasukan Sekutu memperluas daerah ketempat-tempat lain.

Suasana semakin memanas ketika sekutu secara tidak sah melakukan tindakan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata. sementara itu Sekutu terus menambah kekuatannya sehingga dalam bulan Maret 1946 pasukan mereka sudah berjumlah kira-kira 2 batalyon.

Di samping itu, Sekutu juga melindungi masuknya pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1946 tentara sekutu harus meninggalkan kota Palembang dan kekuasaan atas wilayah ini diserahkan sepenuhnya kepada Belanda.

Dengan sepeninggalan pasukan Sekutu warisan jabatan jatuh kepada Kolonel Mollingger, Komandan Brigade "Y" tentara Belanda.

Dengan demikian sejak tanggal 24 Oktober 1946 Kolonel Molingger secara resmi giliran berwenang dan memegang komando territorial Belanda untuk Sumatera Selatan.

Kehadiran Belanda di Palembang tidak banyak berbeda dengan inggris, mereka memang benar-benar menunjukkan keangkuhan, semua wilayah yang vital mereka duduki.

Kebencian rakyat Palembang memuncak setelah Belanda merubah fungsi rumah sakit Charitas, yang dahulunya dikelola oleh golongan sipil Indonesia.

Kemudian berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan segi praktisnya, pengelolaan rumah sakit diserahkan kepada sekutu, sebab korban-korban sekutu juga banyak yang berjatuhan.

Sayangnya maksud baik dari pemerintah Republik Indonesia disalahgunakan oleh sekutu dan Belanda. Mereka merubah fungsi tradisional rumah sakit tersebut menjadi benteng pertahanan yang kuat dan strategis.

Belanda beruntung Rumah Sakit Charitas letaknya diatas bukit, dengan kondisi seperti memudahkan Belanda mengawasi pergerakan rakyat Palembang yang akan membahayakan mereka.

Selain itu pendudukan Rumah Sakit Charitas sangat tepat, memudahkan hubungan Belanda dalam menuju Talang Betutu dan Talang Semut.

Masalah ini salah satu penyebab perang, mulai saat itu para pejuang Republik Indonesia dan mulai mengenal langsung kelicikan Belanda, karena kejujuran dan itikad baik mereka menyerahkan pengelolaan Rumah Sakit Charitas kepada sekutu disalahgunakan oleh Belanda.

Beberapa hari menjelang akhir tahun 1946 Panglima Komandemen Sumatera Mayor Jenderal Suhardjo Harjowardoyo berkunjung ke Palembang dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan sipil dan militer RI.

Pidatonya yang diucapkan didepan RRI Palembang dan ditujukan kepada pasukan TRI di Palembang, Padang dan Medan yang berisikan agar pasukan TRI di Palembang selalu siap dan waspada menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.

Akibat pidato Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardoyo tersebut. Pemerintah Belanda menuduh bahwa pasukan RI sudah disiapkan untuk menyerbu pasukan Belanda.

Kemudian Belanda sering melakukan provokasi-provokasi dan ejekan-ejekan kepada TRI dan pejuang hal ini membuat suasana semakin hangat dan tegang sehingga sering terjadi insiden dan bentrokan-bentrokan yang tidak dapat dihindari.

Dalam insiden tembak menembak tersebut beberapa korban berjatuhan terutama dikalangan rakyat yang tidak berdosa diantaranya lima orang wanita dan beberapa orang anak-anak yang berada dalam perahu di Sungai Musi.

Karena seringnya terjadi bentrokan dan insiden, maka Kolonol Mollingger. Komandan pasukan Belanda dari markas besarnya di Talang Semut langsung angkat telpon menghubungi pimpinan pemerintah Republik Indonesia di Palembang, meminta agar pertempuran dihentikan.

Dan agaknya para pemimpin Republik mengabulkannya. Keadaan ini dimanifestasikan dengan turunnya kemedan laga para pemimpin, gubernur muda Dr. M. Isa dan Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Kedua pemimpin yang menjadi panutan para pejuang ini menyerukan Cease Fire.

Suasana panas akibat pertempuran hari Sabtu, Minggu, dan Senin 28,29, dan 30 Desember tetap menggelegak.

Sungguh pun Cease Fire sudah diserukan untuk dipenuhi, namun sebagian pasukan pejuang Republik Indonesia masih tidak kunjung beranjak dari pos-pos pertahanan masing-masing.

Gerakan provokasi Belanda mulai muncul kembali sesuai perhitungan pihak pejuang Republik Indonesia. Pada pagi hari itu kira-kira pukul 05.30 WIB, sebuah Jeep yang penuh dengan serdadu Belanda keluar dari sarangnya di 15 Ilir.

Dengan ugal-ugalan dan dengan kecepaan tinggi melewati garis demarkasi yang sudah ditetapkan. Gerakan provokasi Belanda di daerah 15 Ilir ini merupakan pancingan perang yang secara serentak dilakukan pula di Bagus Kuning/Plaju, beberapa sektor Talang Semut dan Benteng.

Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Cease Fire yang telah disepakati. Akhirnya pecahlah pertempuran yang sengit antara kedua belah pihak yang berlangsung selama lima hari.

Dalam menghadapi Belanda, pasukan Republik Indonesia dibagi dalam 3 Front, namun kita akan membahas Front Seberang Ili Timur yang meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai Ruma Sakit Charitas-Lorong Pagar Alam-Jalan Talang Betutu-16 Ilir- Kepandean-Sungai Jeruju-Boom Baru-Kenten.

Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar Rumah Sakit Charitas.

Rumah Sakit Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda.

Basis strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).

Di bawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu.

Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di Rumah Sakit Charitas dengan Benteng.

Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk.

Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor telpon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI.

Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telpon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total.

Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Wali kota.

Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di Rumah Sakit Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.

Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan pertahan Belanda di Rumah Sakit Charitas.

Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat.

Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda.

Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat.

Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar.

Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata. Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jumat, tanggal 3 Januari 1947.

Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/Laskar.

Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang. Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI.

Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak.

Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII).
Senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan dari serdadu Jepang.

Sampai hari ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.
Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya.
Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di Rumah Sakit Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.

Pada pertempuran hari kelima (5 Januari 1947), pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI.

Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi atau pun yang gugur dan luka-luka.

sumber

wikipedia
wartasejarah
diolah dari berbagai sumber
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4072 seconds (0.1#10.140)