Tanah Belum Dibayar, Warga Blokade Akses Proyek Tol Cisumdawu
A
A
A
SUMEDANG - Puluhan warga terdampak pembangunan Tol Cisumdawu (Cileunyi, Sumedang, Dawuan) memblokade akses jalan menuju proyek tol di Blok Sarongge, Dusun Sabagi, Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang Kamis (13/10/2016).
Aksi warga Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Desa Pamekaran Kecamatan Rancakalong, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara itu dilakukan menyusul tak jelasnya ganti rugi penggunaan sejumlah lahan tanah milik warga oleh PT Shang Hay.
Salah seorang pemilik lahan di Ciherang, Siti Hajar (42) mengaku, dirugikan tim fasilitasi yakni Tim Tujuh yang dinilai melakukan manipulasi data tanah di lokasi disposal di Blok Sarongge, Sabagi, Ciherang, Sumedang Selatan.
Menurutnya, data tanah tersebut diajukan kepada Bupati Sumedang Don Murdono pada saat itu.
"Saya punya lahan sawah di sini seluas 106 bata, namun pada saat dilakukan pemberkasan, tanah saya tinggal 70 bata. Yang kami pertanyakan hingga saat ini, sisa lahan saya seluas 36 bata hilang. Masa saat diukur ada tapi tidak ada dalam berkas," ujarnya ditemui KORAN SINDO di lokasi .
Ketidakadilan ini, kata dia, membuat warga geram dan warga tak akan pernah lelah memperjuangkan hak berupa sisa tanahnya yang hilang dalam berkas.
"Kami punya buktinya, pada saat pengukuran pun kami ada, pokoknya sisa tanah itu harus dibayar, karena itu tanah hak milik kami," tuturnya.
Selain mempertanyakan sebagian lahan tanahnya yang hilang, kata dia, harga jual tanah yang masuk dalam berkas dibayar tidak pernah disepakati warga sebelumnya.
"Pada waktu itu hanya terima uang sebesar Rp56 juta, sementara kami juga tidak tahu harga perbata pastinya itu berapa. Karena sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi ataupun tawar menawar antara kami pemilik lahan dengan tim tujuh, sebagai tim fasilitasi dari pihak pemerintah maupun pihak proyek tol," kata dia.
Senada, pemilik lahan lainnya, Yayat Suhayat (50) sejauh ini belum ada upaya penyelesaian masalah dari pemerintah terkait ketidakjelasan apa yang menjadi hak warga.
"Saya punya data SK Bupati dan SK dari Sekda pada tahun 2010 tentang kepurusan harga tanah yang berbeda jauh dengan harga yang ditawarkan oleh Tim Tujuh dan P2T (Panitia Pengadaan Tanah) saat itu," ucapnya.
Warga berharap, aksi mereka kali ini bisa ditindaklanjuti pemerintah dengan penyelesaian permasalahan yang berpihak pada warga terdampak yang mengaku terampas hak-haknya.
"Pemkab Sumedang, provinsi hingga pemerintah pusat kami harap turun langsung ke lapangan agar mengetahui kasus yang tengah menimpa puluhan warga yang hingga saat ini masih bersabar menanti kepastian penyelesaian permasalahan ini. Karena pada prinsipnya, kami mendukung program pembangunan proyek nasional ini namun tentunya harus jelas pula hitung-hitungannya. Jangan sampai rakyat kecil seperti kami yang jadi korbannya," katanya.
Aksi warga Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Desa Pamekaran Kecamatan Rancakalong, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara itu dilakukan menyusul tak jelasnya ganti rugi penggunaan sejumlah lahan tanah milik warga oleh PT Shang Hay.
Salah seorang pemilik lahan di Ciherang, Siti Hajar (42) mengaku, dirugikan tim fasilitasi yakni Tim Tujuh yang dinilai melakukan manipulasi data tanah di lokasi disposal di Blok Sarongge, Sabagi, Ciherang, Sumedang Selatan.
Menurutnya, data tanah tersebut diajukan kepada Bupati Sumedang Don Murdono pada saat itu.
"Saya punya lahan sawah di sini seluas 106 bata, namun pada saat dilakukan pemberkasan, tanah saya tinggal 70 bata. Yang kami pertanyakan hingga saat ini, sisa lahan saya seluas 36 bata hilang. Masa saat diukur ada tapi tidak ada dalam berkas," ujarnya ditemui KORAN SINDO di lokasi .
Ketidakadilan ini, kata dia, membuat warga geram dan warga tak akan pernah lelah memperjuangkan hak berupa sisa tanahnya yang hilang dalam berkas.
"Kami punya buktinya, pada saat pengukuran pun kami ada, pokoknya sisa tanah itu harus dibayar, karena itu tanah hak milik kami," tuturnya.
Selain mempertanyakan sebagian lahan tanahnya yang hilang, kata dia, harga jual tanah yang masuk dalam berkas dibayar tidak pernah disepakati warga sebelumnya.
"Pada waktu itu hanya terima uang sebesar Rp56 juta, sementara kami juga tidak tahu harga perbata pastinya itu berapa. Karena sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi ataupun tawar menawar antara kami pemilik lahan dengan tim tujuh, sebagai tim fasilitasi dari pihak pemerintah maupun pihak proyek tol," kata dia.
Senada, pemilik lahan lainnya, Yayat Suhayat (50) sejauh ini belum ada upaya penyelesaian masalah dari pemerintah terkait ketidakjelasan apa yang menjadi hak warga.
"Saya punya data SK Bupati dan SK dari Sekda pada tahun 2010 tentang kepurusan harga tanah yang berbeda jauh dengan harga yang ditawarkan oleh Tim Tujuh dan P2T (Panitia Pengadaan Tanah) saat itu," ucapnya.
Warga berharap, aksi mereka kali ini bisa ditindaklanjuti pemerintah dengan penyelesaian permasalahan yang berpihak pada warga terdampak yang mengaku terampas hak-haknya.
"Pemkab Sumedang, provinsi hingga pemerintah pusat kami harap turun langsung ke lapangan agar mengetahui kasus yang tengah menimpa puluhan warga yang hingga saat ini masih bersabar menanti kepastian penyelesaian permasalahan ini. Karena pada prinsipnya, kami mendukung program pembangunan proyek nasional ini namun tentunya harus jelas pula hitung-hitungannya. Jangan sampai rakyat kecil seperti kami yang jadi korbannya," katanya.
(sms)