Jejak-jejak Proklamasi di Sumatera Timur
A
A
A
Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia telah dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Namun berita proklamasi tersebut baru sampai beberapa bulan kemudian ke daerah termasuk di Sumatera Timur yang saat itu membawahi Kota Medan.
Karena naskah fotokopi berita proklamasi tersebut harus dibawa kembali ke daerah oleh wakil-wakil dari setiap provinsi yang hadir di Jakarta.
“Pada waktu itu, wakil pemimpin bangsa wilayah Provinsi Sumatera, diangkat Moh Hassan untuk merealisasikan kemerdekaan di Sumatera. Prosesnya (membacakan proklamasi) pun cukup panjang dan melibatkan banyak tokoh-tokoh pejuang,” kata Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik.
Bahkan berita kekalahan Jepang atas Sekutu pun tidak diumumkan secara terbuka karena dilarang pemerintah militer Jepang. Pada 14 Agustus 1945, kantor berita Domei dan Koran Kita Sumatora Sinbun dilarang memberitakan kekalahan Jepang di Asia,” kata Erond.
Padahal momentum ini bisa digunakan untuk menyusun kemerdekaan sebagaimana pernah dijanjikan Jepang.
Berita kekalahan Jepang baru resmi tersiar di Sumatera Timur pada 22 Agustus 1945. Saat itu, Jepang mengeluarkan maklumat resmi bahwa Jepang telah kalah perang kepada Sekutu.
Sejalan dengan itu, pemerintah Jepang menegaskan kembali janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebelumnya, pada 7 September 1944 PM Koiso telah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, yakni ‘pada suatu hari kelak’.
Sebelumnya Pada 12 Agustus 1945, Soekarno, Moh Hatta serta Radjiman Wedyodiningrat dipanggil Terauchi, panglima besar balatentara Jepang untuk kawasan Asia Selatan di Dalat, dekat Saigoon (Vietnam). Terauchi menegaskan, janji Jepang bahwa ‘Pemerintah Agung Tokyo’ telah memutuskan untuk memerdekakan Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh PPKI.
Pada tanggal itu, dibentuk PPKI yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan dari seluruh Indonesia. Dari Provinsi Sumatera pada saat itu diwakili Moh.Hassan dan Moh Amir dari Sumatera Timur dan Abdul Abas dari Sumatera Selatan.
Tanggal 13 Agustus 1945, Moh Hasan dan Moh Amir menunggu kedatangan Soekarno dan Hatta dari Saigon di Singapura dan berangkat bersama-sama ke Jakarta dengan menumpang pesawat Jepang.
Mengetahui kekalahan Jepang, PPKI melanjutkan sidang-sidang guna menetapkan undang-undang dasar, memilih presiden dan wakil presiden, menetapkan pembagian daerah menjadi delapan provinsi, menetapkan kementerian negara sebanyak 12 departemen, menetapkan peraturan tentang Komite Nasional Indonesia (KNI) maupun menetapkan wakil pemerintah di delapan provinsi.
Proses pembacaan proklamasi di Medan, bisa dikatakan diawali pada 2 September 1945 ketika Moh Hassan dan Moh Amir sepakat menjumpai Dr Mansyur, Ketua Shu Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Keresidenan) Sumatera Timur, agar segera merealisasikan proklamasi.
Pada saat itu Moh Amir ditugaskan menjumpai Dr Mansyur. Akan tetapi, rencana perwujudan proklamasi terkendala bahkan gagal karena ditentang oleh Commite van Ongtvangts yang mengharapkan pulihnya kekuasaan Belanda.
Moh Amir melaporkan kegagalan tersebut kepada Moh Hassan bahwa Shu Sangi Kai tidak berani mendirikan KNI karena Jepang masih berkuasa.
“Lagipula pada saat itu wakil-wakil Belanda dan Inggris sudah berada di Medan. Pada waktu itu, Angkatan Laut Belanda yang dipimpin Brondgeest telah hadir di Medan bermarkas di Hotel De Boer (Dharma Deli Medan). Tugasnya adalah menemui pemimpin Jepang dan Sultan Langkat, Sultan Deli dan lain-lain terutama mereka yang mengharapkan pulihnya kembali kekuasaan Belanda di Sumatera Timur,” bebernya.
Mengetahui Moh Hassan telah tiba di Medan, salah seorang pemimpin rakyat, Xarim MS berupaya menjumpainya untuk mengetahui perkembangan proklamasi.
Akan tetapi Moh Hassan tidak banyak bicara dan justru mengajak Xarim MS menemui Moh Amir. Kunjungan itu dilakukan pada 8 September 1945.
Dalam kunjungan tersebut selain Moh Hassan dan Xarim MS juga terdapat Moh Said dan Jahya Yacob. Dari Moh Amir, akhirnya Xarim, Said dan Jahja mengetahui tentang proklamasi di Jakarta dan berjanji untuk menyokong setiap upaya untuk menyiarkan proklamasi.
“Mengetahui kebenaran proklamasi di Jakarta, maka pada 10 September 1945 dilangsungkan pertemuan di rumah Xarim MS di Jalan Mahkamah Medan.
Pertemuan tersebut pada akhirnya membentuk ‘National Control’. Mereka mengajak Moh Hassan agar kembali membentuk KNI Sumatera Timur pada 17 September 1945,” ucap Erond.
Namun pertemuan tersebut gagal membentuk KNI. Kemudian, Xarim MS menganjurkan agar lima orang diantara mereka segera menemui Moh Amir di Tanjung Pura.
Kunjungan pun dilakukan pada 19 September 1945 dan dilakukan antara lain oleh Abd Razak, Johan, Burhanuddin, Saleh Karim dan Roeslan Kesuma.
Pada saat itu, Moh Amir telah menjabat sebagai Menteri Negara kabinet pertama Soekarno. Moh Amir mengambil sikap akan mendukung proklamasi di Sumatera Timur jika dibantu oleh ‘kekuatan nyata’ yang menjadi tulang punggungnya.
Pada hari itu juga, para tokoh pemuda yang berada di Medan dipanggil guna merealisasikan proklamasi di Sumatera Timur.
Pada 21 September 1945 sejumlah pemuda yang diundang, hadir di tempat yang telah ditentukan.
Akan tetapi, Jepang melarang rapat tersebut. Akhirnya atas anjuran Rustam Harahap rapat dipindahkan secara rahasia ke Asrama Rhenseikai di Jalan Fujidori (saat ini adalah Mal Lippo, Medan).
Rapat tersebut dilakukan pada 23 September 1945 dan dihadiri sebanyak 53 orang eks Gyugun dan Talapeta, diantaranya seperti Ahmad Tahir, Martinus Lubis, Nip Xarim, Sukardi, Lahiraja Munthe, Djamin Gintings, Zein Hamid, Bahri Efendy, T Nurdin, A Muluk Lubis, Adiputra Parlindungan, Saleh Arifin, A Dahlan, Daud Yusuf, Bahrum Djamil, Boyke Nainggolan, Baharuddin, Mahidin, Sutan Sitompul, Laiku Silangit, MT Pasaribu, Syahrir, Malik Mainuddin, Syamsuddin Manan dan lain-lain.
Pertemuan itu berhasil membentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pertemuan tersebut memutuskan Ahmad Tahir sebagai Ketua-I, Malik Munir sebagai Ketua-II. Selain itu diangkat Sugondo Kartoprodjo sebagai Ketua Umum.
Sugondo adalah seorang tokoh populer melalui organisasi Taman Siswa di Medan. Keanggotaan BPI ditambahkan sembilan orang sebagai anggota. Pada September 1945, dilangsungkan rapat di Gedung Taman Siswa Jalan Amplas, Medan dengan agenda pengambilan sumpah ketua umum, pengesahan anggaran dasar dan peresmian pendirian BPI.
Pada 30 September 1945, sebagai rapat lanjutan BPI, dibicarakan realisasi nyata untuk memproklamirkan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada waktu pertemuan di Taman Siswa tersebut, Moh Hasan juga turut hadir dan mengemukakan proklamasi telah disiarkan di Jakarta dan seluruh Sumatera kecuali Sumatera Timur.
Pada pertemuan berturut-turut berpidato, Ahmad Tahir, Sugondo, Moh Hasan, Xarim MS dan terakhir adalah BH Hutajulu. “Pada intinya isi pidato mereka adalah untuk merealisasikan proklamasi serta betapa pentingnya kemerdekaan,” beber Erond.
Selanjutnya, pada 6 Oktober 1945 dilangsungkan rapat raksasa di Lapangan Fukuraido Medan.
Rapat raksasa bertujuan membahas pengibaran bendera Merah Putih. Sejak saat itu, resmilah berkumandang proklamasi di Sumatera Timur.
Berita proklamasi di Sumatera Timur dibacakan 6 Oktober 1945, terlambat satu setengah bulan dari Jakarta dan wilayah di Sumatera yang paling terakhir membacakan berita pembebasan dari kolonialisme.
“Proklamasi dibacakan Moh Hasan, wakil Pemimpin Besar Republik Indonesia untuk Provinsi Sumatera di Lapangan Fukuraido Medan.
Sejak itu, Fukuraido diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka Medan. Keputusan itu diumumkan oleh Wali Kota Medan yakni Luat Siregar. Lepaslah wilayah ini dari kolonialisme,” pungkas Erond.
Karena naskah fotokopi berita proklamasi tersebut harus dibawa kembali ke daerah oleh wakil-wakil dari setiap provinsi yang hadir di Jakarta.
“Pada waktu itu, wakil pemimpin bangsa wilayah Provinsi Sumatera, diangkat Moh Hassan untuk merealisasikan kemerdekaan di Sumatera. Prosesnya (membacakan proklamasi) pun cukup panjang dan melibatkan banyak tokoh-tokoh pejuang,” kata Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik.
Bahkan berita kekalahan Jepang atas Sekutu pun tidak diumumkan secara terbuka karena dilarang pemerintah militer Jepang. Pada 14 Agustus 1945, kantor berita Domei dan Koran Kita Sumatora Sinbun dilarang memberitakan kekalahan Jepang di Asia,” kata Erond.
Padahal momentum ini bisa digunakan untuk menyusun kemerdekaan sebagaimana pernah dijanjikan Jepang.
Berita kekalahan Jepang baru resmi tersiar di Sumatera Timur pada 22 Agustus 1945. Saat itu, Jepang mengeluarkan maklumat resmi bahwa Jepang telah kalah perang kepada Sekutu.
Sejalan dengan itu, pemerintah Jepang menegaskan kembali janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebelumnya, pada 7 September 1944 PM Koiso telah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, yakni ‘pada suatu hari kelak’.
Sebelumnya Pada 12 Agustus 1945, Soekarno, Moh Hatta serta Radjiman Wedyodiningrat dipanggil Terauchi, panglima besar balatentara Jepang untuk kawasan Asia Selatan di Dalat, dekat Saigoon (Vietnam). Terauchi menegaskan, janji Jepang bahwa ‘Pemerintah Agung Tokyo’ telah memutuskan untuk memerdekakan Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh PPKI.
Pada tanggal itu, dibentuk PPKI yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan dari seluruh Indonesia. Dari Provinsi Sumatera pada saat itu diwakili Moh.Hassan dan Moh Amir dari Sumatera Timur dan Abdul Abas dari Sumatera Selatan.
Tanggal 13 Agustus 1945, Moh Hasan dan Moh Amir menunggu kedatangan Soekarno dan Hatta dari Saigon di Singapura dan berangkat bersama-sama ke Jakarta dengan menumpang pesawat Jepang.
Mengetahui kekalahan Jepang, PPKI melanjutkan sidang-sidang guna menetapkan undang-undang dasar, memilih presiden dan wakil presiden, menetapkan pembagian daerah menjadi delapan provinsi, menetapkan kementerian negara sebanyak 12 departemen, menetapkan peraturan tentang Komite Nasional Indonesia (KNI) maupun menetapkan wakil pemerintah di delapan provinsi.
Proses pembacaan proklamasi di Medan, bisa dikatakan diawali pada 2 September 1945 ketika Moh Hassan dan Moh Amir sepakat menjumpai Dr Mansyur, Ketua Shu Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Keresidenan) Sumatera Timur, agar segera merealisasikan proklamasi.
Pada saat itu Moh Amir ditugaskan menjumpai Dr Mansyur. Akan tetapi, rencana perwujudan proklamasi terkendala bahkan gagal karena ditentang oleh Commite van Ongtvangts yang mengharapkan pulihnya kekuasaan Belanda.
Moh Amir melaporkan kegagalan tersebut kepada Moh Hassan bahwa Shu Sangi Kai tidak berani mendirikan KNI karena Jepang masih berkuasa.
“Lagipula pada saat itu wakil-wakil Belanda dan Inggris sudah berada di Medan. Pada waktu itu, Angkatan Laut Belanda yang dipimpin Brondgeest telah hadir di Medan bermarkas di Hotel De Boer (Dharma Deli Medan). Tugasnya adalah menemui pemimpin Jepang dan Sultan Langkat, Sultan Deli dan lain-lain terutama mereka yang mengharapkan pulihnya kembali kekuasaan Belanda di Sumatera Timur,” bebernya.
Mengetahui Moh Hassan telah tiba di Medan, salah seorang pemimpin rakyat, Xarim MS berupaya menjumpainya untuk mengetahui perkembangan proklamasi.
Akan tetapi Moh Hassan tidak banyak bicara dan justru mengajak Xarim MS menemui Moh Amir. Kunjungan itu dilakukan pada 8 September 1945.
Dalam kunjungan tersebut selain Moh Hassan dan Xarim MS juga terdapat Moh Said dan Jahya Yacob. Dari Moh Amir, akhirnya Xarim, Said dan Jahja mengetahui tentang proklamasi di Jakarta dan berjanji untuk menyokong setiap upaya untuk menyiarkan proklamasi.
“Mengetahui kebenaran proklamasi di Jakarta, maka pada 10 September 1945 dilangsungkan pertemuan di rumah Xarim MS di Jalan Mahkamah Medan.
Pertemuan tersebut pada akhirnya membentuk ‘National Control’. Mereka mengajak Moh Hassan agar kembali membentuk KNI Sumatera Timur pada 17 September 1945,” ucap Erond.
Namun pertemuan tersebut gagal membentuk KNI. Kemudian, Xarim MS menganjurkan agar lima orang diantara mereka segera menemui Moh Amir di Tanjung Pura.
Kunjungan pun dilakukan pada 19 September 1945 dan dilakukan antara lain oleh Abd Razak, Johan, Burhanuddin, Saleh Karim dan Roeslan Kesuma.
Pada saat itu, Moh Amir telah menjabat sebagai Menteri Negara kabinet pertama Soekarno. Moh Amir mengambil sikap akan mendukung proklamasi di Sumatera Timur jika dibantu oleh ‘kekuatan nyata’ yang menjadi tulang punggungnya.
Pada hari itu juga, para tokoh pemuda yang berada di Medan dipanggil guna merealisasikan proklamasi di Sumatera Timur.
Pada 21 September 1945 sejumlah pemuda yang diundang, hadir di tempat yang telah ditentukan.
Akan tetapi, Jepang melarang rapat tersebut. Akhirnya atas anjuran Rustam Harahap rapat dipindahkan secara rahasia ke Asrama Rhenseikai di Jalan Fujidori (saat ini adalah Mal Lippo, Medan).
Rapat tersebut dilakukan pada 23 September 1945 dan dihadiri sebanyak 53 orang eks Gyugun dan Talapeta, diantaranya seperti Ahmad Tahir, Martinus Lubis, Nip Xarim, Sukardi, Lahiraja Munthe, Djamin Gintings, Zein Hamid, Bahri Efendy, T Nurdin, A Muluk Lubis, Adiputra Parlindungan, Saleh Arifin, A Dahlan, Daud Yusuf, Bahrum Djamil, Boyke Nainggolan, Baharuddin, Mahidin, Sutan Sitompul, Laiku Silangit, MT Pasaribu, Syahrir, Malik Mainuddin, Syamsuddin Manan dan lain-lain.
Pertemuan itu berhasil membentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pertemuan tersebut memutuskan Ahmad Tahir sebagai Ketua-I, Malik Munir sebagai Ketua-II. Selain itu diangkat Sugondo Kartoprodjo sebagai Ketua Umum.
Sugondo adalah seorang tokoh populer melalui organisasi Taman Siswa di Medan. Keanggotaan BPI ditambahkan sembilan orang sebagai anggota. Pada September 1945, dilangsungkan rapat di Gedung Taman Siswa Jalan Amplas, Medan dengan agenda pengambilan sumpah ketua umum, pengesahan anggaran dasar dan peresmian pendirian BPI.
Pada 30 September 1945, sebagai rapat lanjutan BPI, dibicarakan realisasi nyata untuk memproklamirkan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada waktu pertemuan di Taman Siswa tersebut, Moh Hasan juga turut hadir dan mengemukakan proklamasi telah disiarkan di Jakarta dan seluruh Sumatera kecuali Sumatera Timur.
Pada pertemuan berturut-turut berpidato, Ahmad Tahir, Sugondo, Moh Hasan, Xarim MS dan terakhir adalah BH Hutajulu. “Pada intinya isi pidato mereka adalah untuk merealisasikan proklamasi serta betapa pentingnya kemerdekaan,” beber Erond.
Selanjutnya, pada 6 Oktober 1945 dilangsungkan rapat raksasa di Lapangan Fukuraido Medan.
Rapat raksasa bertujuan membahas pengibaran bendera Merah Putih. Sejak saat itu, resmilah berkumandang proklamasi di Sumatera Timur.
Berita proklamasi di Sumatera Timur dibacakan 6 Oktober 1945, terlambat satu setengah bulan dari Jakarta dan wilayah di Sumatera yang paling terakhir membacakan berita pembebasan dari kolonialisme.
“Proklamasi dibacakan Moh Hasan, wakil Pemimpin Besar Republik Indonesia untuk Provinsi Sumatera di Lapangan Fukuraido Medan.
Sejak itu, Fukuraido diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka Medan. Keputusan itu diumumkan oleh Wali Kota Medan yakni Luat Siregar. Lepaslah wilayah ini dari kolonialisme,” pungkas Erond.
(sms)