Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah Kering

Minggu, 07 Agustus 2016 - 05:05 WIB
Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah Kering
Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah Kering
A A A
ROMUSHA adalah tenaga kerja paksa pada masa pendudukan bala tentara Jepang. Tenaga kerja paksa ini diambil secara acak oleh militer Jepang, dengan melibatkan aparatur pemerintah, dan sejumlah pemimpin pergerakan rakyat.

Jepang memerlukan romusha itu untuk mengerjakan proyek-proyek militer mereka, baik yang ada di daerah pendudukan, maupun di luar Indonesia. Para pekerja ini terdiri dari laki-laki desa miskin, yang berusia antara 16-60 tahun.

Sementara kaum lelaki dijadikan romusha, kaum perempuan dipaksa membajak sawah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Sedang anak gadis mereka dijadikan budak seks tentara Jepang yang ada di garis depan peperangan.

Banyak di antara romusha dikirim ke Sumatera, bahkan sampai ke Birma, Thailand, dan pulau-pulau bagian timur. Dari kira-kira 500.000 orang yang dikirim kerja paksa, hanya sebagian kecil saja yang kembali setelah perang usai.

Menurut WF Wertheim, dari sekitar 300.000 jiwa yang dikirim ke seberang lautan, hanya sekitar 70.000 orang saja yang selamat dan bisa kembali ke kampung halaman mereka setelah perang. Sisanya, meninggal dalam kerja paksa.

Para romusha itu diangkut dengan menggunakan truk-truk dalam perjalanan yang jauh di daerah pendudukan, dan dalam gerbong-gerbong kereta tertutup rapat tanpa udara, dengan jumlah ribuan orang berjejalan ke luar Indonesia.

Sampai tempat kerja paksa, para romusha dibelenggu berdampingan dengan para tahanan perang untuk membuat jalan raya Birma. Selama kerja paksa itu, mereka dibiarkan kelaparan hingga tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.

Penggambaran lebih rinci dan jelas mengenai nasib romusha, diceritakan panjang lebar oleh Tan Malaka. Saat dalam perjalanan menuju pabrik arang Bayah Kozan, di Banten Selatan, Tan Malaka melewati sepanjang Jalan Saketi-Bayah.

Tan Malaka menulis, Jalan Saketi-Bayah menyimpan sejarah yang menyedihkan. Bahkan tak kalah sedihnya dengan jalan Anyer ke Banyuwangi pada masa Deandels, yang memakan ribuan jiwa orang Indonesia buat imperialisme Belanda.

"Pembikinan jalan Saketi-Bayah juga memakan ribuan (jiwa) tenaga percuma, tenaga romusha, dan jiwanya romusha," terang Tan Malaka, seperti dikutip dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua, pada halaman 321.

Selain jalan Saketi-Bayah, proyek kerja paksa yang banyak menelan jiwa romusha adalah pulau Manuk yang berada 5-6 kilometer dari kampung Bayah. Di kawasan ini, romusha dibiarkan mati terserang borok, disentri, dan malaria.

Karena kurangnya perhatian umum, dan tenaga penggali kubur, mayat romusha yang jumlahnya puluhan ditumpuk saja dalam satu lubang besar. Hingga setiap hujan turun, mayat-mayat itu mengambang naik ke atas permukaaan.

Para romusha itu banyak yang berasal dari Solo, Kediri, Bojonegoro, dan daerah pedalaman Jawa lainnya. Rata-rata mereka berprofesi sebagai petani miskin, dan buta huruf yang diambil secara paksa oleh aparatur desanya.

Pihak aparatur desa yang paling bertanggung jawab dalam mengirimkan rakyatnya menjadi romusha adalah kepala desa atau lurah, dan camat setempat. Jumlah romusha yang dikirimkan setiap minggunya mencapai 1.000 orang lebih.

Selain oleh aparatur pemerintah, pengerahan rakyat menjadi romusha juga dilakukan oleh elite politik lokal maupun nasional. Para elite ini biasanya melakukan propaganda kepada rakyat agar mau menjadi romusha di luar daerah.

Di Keresidenan Pekalongan, elite politik lokal yang aktif mengirimkan romusha kepada Jepang berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), di mana Soekarno terlibat aktif dalam propaganda kemenangan Asia Timur Raya.

Seperti yang dilakukan oleh Kartoharjo, pengikut setia Soekarno dari Brebes. Dia terlibat mengirimkan romusha ke Bayah, wilayah Banten Selatan, dan membawa 300 romusha yang sakit dan mati selama mengikuti kerja paksa.

Setiap romusha dalam satu proyek dengan proyek yang lain mendapatkan upah berbeda. Di Banten Selatan, mereka yang paling kuat dikirim bekerja di tambang dengan upah F.1,- sehari, dan mendapat jatah beras 400 gram sehari.

Sedang mereka yang bekerja sebagai pemotong kayu di hutan, mencangkul di jalan, dan mengangkut batu, hanya dibayar antara F.0,40,- sehari, dengan jatah beras 250 gram seorang seharinya. Para romusha ini dikontrak tiga bulan.

Setelah kontrak tersebut selesai, mereka diperbolehkan pulang ke kampung halaman dan rumah masing-masing. Namun, sangat sedikit romusha yang bisa kembali pulang ke kampung halaman, dan rumah mereka saat kontraknya habis.

"Angka kematian romusha pada saat itu berkisar 400-500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha. Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah, belum lagi masuk hitungan," sambung Tan Malaka.

Sementara di Banten Selatan romusha banyak berasal dari petani miskin, di Pemalang, romusha banyak berasal dari orang-orang Arab. Sedang orang-orang Cina di sana banyak menyogok hingga terhindar dari kerja paksa romusha.

Orang-orang Arab itu dipaksa membangun proyek pertahanan militer di pinggir pantai. Sekali atau dua kali sebulan, mereka dikirim ke dalam hutan di kawasan selatan Pemalang untuk memotong dan menyusun kayu jati gelondongan.

Dengan melibatkan para pemimpin pergerakan, pejabat tinggi pemerintahan, dan para pedagang dalam proyek romusha itu, Jepang berhasil membuat kewibawaan golongan-golongan tersebut menjadi sangat rendah di mata rakyat.

Soekarno yang berdiri di antara semua golongan tersebut, merupakan yang paling terpukul oleh politik penghancuran ini. Semua cap buruk dilimpahkan dalam pundaknya. Dia dicap sebagai kolaborator Jepang yang menjual rakyat.

Dalam paparannya kepada Cindy Adams, Soekarno mengatakan, romusha merupakan luka bangsa yang tidak pernah kering. Bahkan luka itu akan terbawa hingga dirinya mati. Namun, dia menyatakan, ada harga mahal yang harus dibayar.

"Dalam kenyataannya, aku yang mengirim mereka pergi kerja. Ya, akulah orangnya. Aku mengirim mereka berlayar menuju kematian," katanya, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 232.

Soekarno mengakui, sebagai seorang pemimpin pergerakan rakyat, dirinya telah membuat pernyataan-pernyataan yang mendukung pengerahan romusha. Bahkan, dirinyalah yang mengatakan kepada rakyat bahwa menjadi romusha adalah mulia.

"Akulah yang memberikan mereka kepada orang Jepang. Rasanya mengerikan sekali.. Ada orang yang mengatakan, rakyat tidak mau membaca ini.. Tidak seorang pun yang suka kepada kebenaran yang menyedihkan," sambungnya prihatin.

Lebih lanjut, Soekarno mengatakan, dalam persoalan romusha, ada harga yang harus dibayar. Harga itu adalah suatu kepentingan yang sangat besar, yaitu kemerdekaan Indonesia. Harga itu tidak bisa untuk ditawar-menawar lagi.

"Tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku kolaborator.. Halaman-halaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Soekarno. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku," tegas Soekarno, pada halaman 235.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang pengorbanan romusha, dan nilai sebuah kemerdekaan dalam menyongsong hari kemerdekaan Indonesia. Semoga dapat memberikan pencerahan, dan manfaat kepada pembaca.

Sumber Tulisan
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011.
*Benedict R.O.G Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Sinar Harapan, Cetakan Pertama, Jakarta, 1988.
*Anton Lucas, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah dalam Revolusi Indonesia, Resist Book, Agustus 2004.
*Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara Bagian Dua, Teplok Press, Cetakan Kedua 2000.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1747 seconds (0.1#10.140)