Sejarah Serangan Umum 4 Hari di Solo Kurang Dikenal
A
A
A
SOLO - Gaung sejarah Serangan Umum Empat Hari memperebutkan Kota Solo, dinilai kurang maksimal. Gema sejarah dinilai masih kalah dengan peristiwa serupa di Bandung, Yogyakarta, dan Bali.
Ketua Panitia Peringatan Serangan Umum Empat Hari Memperebutkan Kota Solo Tahun 2016 Haryoko Hadiyanto mengatakan, heroisme para pelajar Kota Solo ketika dulu melawan penjajah Belanda sama dengan para pejuang di kota-kota lain.
Pertempuran empat hari di Kota Bengawan benar-benar dilakukan para pelajar pejuang dengan mengangkat senjata. Sehingga peristiwa itu bukan sandiwara, karena menelan banyak korban jiwa.
“Tapi gaung sejarahnya tidak seperti Serangan Umum di Yogyakarta, pertempuran Bandung Lautan Api, atau perang Puputan di Bali,” ungkap Haryoko Hadiyanto, kepada wartawan, Jumat (5/8/2016).
Sebagai generasi muda Tentara Pelajar (TP) yang tergabung dan Tunas Patria, dan kini mengurus Yayasan Tunas Pembangunan (YTP), pihaknya sangat prihatin.
Putera anggota TP Hadi Subroto tersebut mengungkapkan, momentum peringatan Serangan Umum Empat Hari tahun 2016 akan digunakan untuk menggugah kesadaran generasi penerus.
Terutama generasi ketiga, guna menggemakan peristiwa sejarah di masa depan. Pengurus YTP juga akan berupaya menggemakan dengan membangun bekas markas TP, di Jalan DI Panjaitan, sebagai monumen Tentara Pelajar.
Para anggota eks TP telah membangun sejumlah monumen, terutama di lokasi bekas basis perjuangan, seperti di Pasar Nongko, Plupuh, Boyolali, dan Baron.
“Monumen yang kami rencanakan di bekas markas TP tujuannya agar dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai obyek wisata. Nantinya ada perpustakaan, display foto-foto perjuangan TP, dan lain-lain,” jelasnya.
Ketua Panitia Peringatan Serangan Umum Empat Hari Memperebutkan Kota Solo Tahun 2016 Haryoko Hadiyanto mengatakan, heroisme para pelajar Kota Solo ketika dulu melawan penjajah Belanda sama dengan para pejuang di kota-kota lain.
Pertempuran empat hari di Kota Bengawan benar-benar dilakukan para pelajar pejuang dengan mengangkat senjata. Sehingga peristiwa itu bukan sandiwara, karena menelan banyak korban jiwa.
“Tapi gaung sejarahnya tidak seperti Serangan Umum di Yogyakarta, pertempuran Bandung Lautan Api, atau perang Puputan di Bali,” ungkap Haryoko Hadiyanto, kepada wartawan, Jumat (5/8/2016).
Sebagai generasi muda Tentara Pelajar (TP) yang tergabung dan Tunas Patria, dan kini mengurus Yayasan Tunas Pembangunan (YTP), pihaknya sangat prihatin.
Putera anggota TP Hadi Subroto tersebut mengungkapkan, momentum peringatan Serangan Umum Empat Hari tahun 2016 akan digunakan untuk menggugah kesadaran generasi penerus.
Terutama generasi ketiga, guna menggemakan peristiwa sejarah di masa depan. Pengurus YTP juga akan berupaya menggemakan dengan membangun bekas markas TP, di Jalan DI Panjaitan, sebagai monumen Tentara Pelajar.
Para anggota eks TP telah membangun sejumlah monumen, terutama di lokasi bekas basis perjuangan, seperti di Pasar Nongko, Plupuh, Boyolali, dan Baron.
“Monumen yang kami rencanakan di bekas markas TP tujuannya agar dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai obyek wisata. Nantinya ada perpustakaan, display foto-foto perjuangan TP, dan lain-lain,” jelasnya.
(san)