Rahasia Cinta Soekarno dengan Siti Oetari dan Inggit Garnasih
A
A
A
SOEKARNO menghabiskan masa lajangnya pada usia yang masih sangat muda. Dalam usia yang masih belum 21 tahun, dia telah memberanikan diri untuk menempuh bahtera rumah tangga dengan menikahi Siti Oetari, putri HOS Tjokroaminoto.
Menurut paparannya sendiri kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, pernikahannya tersebut bukan dilandaskan cinta. Melainkan karena balas budi terhadap Tjokroaminoto.
"Kami memilih kawin gantung. Orang Indonesia menjalankan cara ini karena beberapa alasan.. Dalam hal kami, aku belum berniat hidup sebagai suami-istri, karena dia (Oetari) masih kanak-kanak," cerita Bung Karno, di halaman 56.
Dikisahkan, awal mula terjadinya pernikahan itu adalah ketika Istri Tjoktroaminoto meninggal dunia. Kematian Bu Tjokro, ternyata membawa duka yang sangat mendalam terhadap keluarga itu. Mereka kemudian berpindah rumah.
Sebagai orang yang ikut dengan Tjokroaminoto, Soekarno dapat merasakan penderitaan keluarga itu. Ingin rasanya dia menolong, tetapi tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Hingga akhirnya datang seorang adik Tjokro menemuinya.
"Soekarno, kau lihat bagaimana sedihnya hati Tjokroaminoto. Apakah kau dapat berbuat sesuatu agar hatinya sedikit gembira?" mendengar pertanyaan itu, Soekarno menjadi semakin bingung. Dengan jalan apakah dia bisa menolongnya?
"Jadi menantunya. Puterinya Oetari sekarang tidak punya ibu lagi. Tjokro sangat khawatir terhadap masa depan anaknya itu dan siapa yang akan menjaganya dan menyanginya. Inilah yang memberatkan pikirannya," sambungnya lagi.
Mendengar jawaban itu, Soekarno tidak menampik. Namun dia meminta waktu untuk bertanya kepada kedua orang tuanya yang berada di Mojokerto. "Terserah padamu," jawab ayah dan bunda Soekarno, usia mendengar cerita anaknya itu.
Setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya, Soekarno lantas menghadap Tjokroaminoto dan mengajukan niatnya melamar Oetari. Saat itu, Tjokro sangat bahagia, karena telah ada seorang yang bisa dipercaya yang menjaga Oetari.
"Sampai dia (Tjokroaminoto) meninggal, dia tidak pernah tahu, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan menaruh kasihan padanya," ungkap Soekarno, seperti dikutip dalam Cindy Adams.
Pernikahan keduanya dilangsungkan tidak lama setelah mereka bertunangan. Meski telah menyandang status suami-istri yang sah, keduanya tidak tidur bersama. Inilah salah satu ciri dari kawin gantung atau pernikahan digantung.
"Sekalipun aku memiliki status pengantin baru, waktuku di malam hari kuhabiskan untuk memperhatikan Pak Tjokro. Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Ke mana pun dia pergi (dalam acara-acara berpidato) aku ikut," sambungnya.
Setelah lulus HBS pada 1920, Soekarno melanjutkan pendidikannya di THS, Sekolah Tinggi Teknik yang baru dibuka di Bandung. Belum dua bulan di Bandung, Soekarno mendapat kabar keluarga Tjokroaminoto kembali dilanda musibah.
Kali ini, Tjokroaminoto ditangkap oleh polisi kolonial Hindia Belanda, karena tuduhan memberikan keterangan palsu dalam sidang kasus SI afdeling B. Mendengar kabar tersebut, Soekarno langsung bergegas pulang menuju Surabaya.
Sebagai menantu, Soekarno merasa wajib membantu perekonomian keluarga Tjokroaminoto. Dia lantas melamar bekerja dan diterima sebagai Commisredactor di SS dengan gaji F265 sebulan, untuk membiaya seluruh keluarga Tjokro.
Selama enam bulan bekerja sebagai Commisredactor, Soekarno akhirnya berhenti dan kembali pindah ke Bandung bersama Oetari. Selama di Bandung, kehidupan Soekarno dengan Oetari dikabarkan penuh dengan suka cita dan sangat bahagia.
"Seringkali orang melihat sepasang merpati itu keluar rumah di waktu sore bila cuacanya terang, berjalan-jalan sepanjang Kota Bandung yang indah itu," tulis Im Yang Tjoe dalam buku Seokarno sebagi Manoesia yang terbit 1933.
Meski demikian, pendangan masyarakat itu hanya tampak di permukaannya saja. Jauh di dalam relung hati keduanya, ada jurang yang semakin besar. Soekarno semakin merasakan adanya jurang perbedaan itu dan ini mengganggunya.
"Kami tidur berdampingan di satu ranjang, tapi secara jasmaniah kami sebatas kakak dan adik. Suatu kali dia jatuh sakit. Sementara dia terbaring tanpa daya, aku (yang) merawatnya," sambung Soekarno lagi dalam buku Cindy Adams.
Selama merawat Oetari, Soekarno lah yang mengelap tubuhnya yang lagi demam itu dengan alkohol, dari kepala sampai jari kakinya. Namun tidak sekalipun dia menyentuhnya. Bahkan ketika Oetari sembuh, dia tetap tidak menyentuhnya.
"Bahkan kami satu sama lain sejujurnya tidak memiliki keinginan melakukan sebagai layaknya suami-istri. Maksudku, dia menyukaiku dan aku menyukainya, tapi perkawinan kami bukan didasari rasa berahi menyala-nyala," terangnya.
Dinginnya rumah tangga Soekarno dengan Oetari semakin menjadi setelah Tjokroaminoto dibebaskan dari penjara, pada April 1922. Saat itu, Soekarno dan Oetari sudah benar-benar tidak tidur seranjang, bahkan satu kamar pun tidak.
Setelah melalui perenungan mendalam, akhirnya Soekarno mengembalikan Oetari ke rumah Tjokroaminoto. Saat mendengar Soekarno menceraikan Oetari, Tjokro tampak sangat terkejut. Dia lalu menanyakan, "Keputusan siapa ini?"
Soekarno menjawab, bahwa keputusan itu dia ambil sendiri demi kebaikan mereka berdua. "Pernikahan kami dari awal tidak berjalan baik.. Tanpa perceraian ini tidak bisa dibentuk rumah tangga yang bahagia," terang Soekarno.
Mendengar keterangan Soekarno itu, Tjokro yang belum lama dibebaskan dari penjara tampak sangat terkejut dan hanya bisa terdiam. Dalam buku Im Yang Tjoe, dikisahkan setelah perceraian itu Soekarno mengalami pergolakan batin.
Kepada ibunya, Soekarno bersimpuh. Dia menceritakan dirinya dan Oetari sebenarnya saling mencintai. Namun cinta mereka sebagai dua saudara. Akhirnya mereka sepakat untuk bercerai, dan Oetari dipulangkan ke Kedungjati.
"Demi Yang Maha Suci, ibu, saya pulangkan Oetari masih sama sucinya seperti dulu ketika saya terima dari ayahnya.. Saya sangat cinta padanya. Yang saya pikirkan, apakah ia akan berbahagia dalam hidupnya?" ungkap Soekarno.
Soekarno juga mengatakan, antara dirinya dengan Tjokroaminoto telah bersebrangan jalan mengenai pandangan politik. Sebagai seorang istri, Oetari yang merupakan anak Tjokroaminoto tentu akan berpihak kepada politik ayahnya.
"Keyakinan saya semakin teguh.. Saya menjadi ragu, apa pantas seorang anak menantu di satu pihak dengan bapak mertua di pihak lainnya, berjuang dalam politik dan pergerakan yang berbeda? Tidak, bu, tidak pantas," terangnya.
Perbedaan pandangan politik antara Soekarno dengan Tjokroaminoto mulai terjadi setelah dia tinggal di Bandung dan bertemu dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Terkadang, dia juga datang menemui Douwes Dekker.
Soekarno mulai punya pandangan politiknya sendiri sejak tinggal di Surabaya. Tetapi saat itu dia masih ragu dengan pandangannya tersebut. Setelah bertemu Dr Tjipto dan Douwes Dekker, dia baru mantap dengan pandangannya itu.
Hanya saja, ketimbang dengan Tjokroaminoto, pandangan politik Soekarno lebih dekat dengan Dr Tjipto yang kala itu memimpin National Indische Party (NIP). Perbedaan pandangan politik inilah salah satu pemicu perceraian Soekarno.
Ibunda Soekarno yang mendengar beratnya keluhan sang anak lantas berkata, "Oh, Koesno. Hati ibu pun turut merasa berduka atas apa yang menjadi penanggunganmu. Sukar-sukar telah kau jalani, dan hasilnya hanya sakit di hati."
Lebih lanjut, ibunda Soekarno membesarkan hati anaknya, "Barangkali sudah maunya Hyang Widi mesti dijalani. Sebab kalau tidak, ada saja jalan yang menjadikan masalah dulu-dulunya saling bermunculan, oh jagad Dewata Batara."
Bukan Soekarno namanya jika terus berlarut dalam putus cinta. Sebelumnya, dia juga pernah merasakan hal yang sama dengan seorang gadis Belanda. Soekarno dihina, dicaci maki oleh ayah gadis itu. Tetapi dengan cepat dia bangkit.
Saat hatinya tengah dilanda kegundahan yang sangat dalam, Soekarno dengan cepat menemukan obatnya dengan berpaling dalam bekapan kehangatan cinta Inggit Gasnasih, ibu kos tempat Soekarno dan Oetari menumpang tinggal di Bandung.
Kepada Cindy Adams, Soekarno menceritakan kesan pertamanya bertemu Inggit, "Dia memiliki bentuk tubuh yang kecil, dengan sekuntum bunga merah di sanggulnya dan sebuah senyuman yang mempesona. Dia adalah istri Haji Sanusi."
Sejak pertemuannya yang pertama itu, Soekarno langsung jatuh hati kepada Inggit. Begitupun dengan Inggit yang menaruh rasa suka kepada Soekarno. Hampir setiap malam mereka mencuri-curi waktu untuk sekedar bertemu.
Hubungan perselingkuhan ini ternyata sanggup membangkitkan hasrat birahi Soekarno. Hal yang tidak pernah dia dapat dari istri gantungnya Oetari. Dalam diri Inggit, Soekarno mengaku menemukan sosok istri yang sangat ideal.
"Aku ingin teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya. Kalau aku lapar, aku ingin masakan yang ia masak sendiri. Kalau bajuku koyak, aku ingin istriku menambalnya," ungkap Soekarno.
Soekarno lantas menambahkan, "Adalah dia, bukan istriku, yang membereskan kamarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan pemikiranku. Dialah orang yang bertindak sebagai ibuku, bukan Oetari."
Hubungan keluarga Inggit dengan H Sanusi berlangsung dingin. Tidak jauh berbeda dengan hubungan keluarga Soekarno dengan Oetari. Puncak hubungan terlarang itu adalah terjadinya kontak fisik antara Soekarno dengan Inggit.
"Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu. Dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi. Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali.." terang Soekarno.
Oetari dan H Sanusi rupanya mengetahui perselingkuhan Soekarno dengan Inggit. Sejumlah majalah yang terbit saat itu sempat menulis perselingkuhan ini dan menyebut Soekarno merebut istri dan menghancurkan rumah tangga orang.
Namun Soekarno tidak peduli. Dalam buku Cindy Adams, dia bahkan mengaku lupa dirinya pernah menyesal atau tidak telah merebut Inggit dari H Sanusi. Pada saat itulah, Soekarno mengembalikan Oetari ke rumah Tjokroaminoto.
Setelah perceraian itu, Soekarno lantas menemui H Sanusi coba melamar Inggit istrinya. Merasa hubungannya dengan Inggit tidak berjalan baik, akhirnya Sanusi menceraikan Inggit dan Soekarno menikah dengan janda Sanusi itu.
"Tidak ada adegan yang menegangkan seperti dalam cerita di bioskop. Kukira Sanusi merasa inilah jalan terbaik.. Nyatanya, tidak lama kemudian Sanusi kawin lagi.. Inggit dan aku menikah pada 1923," ungkap Soekarno dalam Cindy Adams.
Setelah pernikahan itu, kehidupan rumah tangga Soekarno dengan Inggit dikabarkan berlangsung hangat. Begitupun dengan Oetari dan suaminya yang baru, serta H Sanusi dengan rumah tangganya yang baru.
Baca Juga
Petualangan Cinta Bung Karno dengan Gadis-gadis Belanda
Menurut paparannya sendiri kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, pernikahannya tersebut bukan dilandaskan cinta. Melainkan karena balas budi terhadap Tjokroaminoto.
"Kami memilih kawin gantung. Orang Indonesia menjalankan cara ini karena beberapa alasan.. Dalam hal kami, aku belum berniat hidup sebagai suami-istri, karena dia (Oetari) masih kanak-kanak," cerita Bung Karno, di halaman 56.
Dikisahkan, awal mula terjadinya pernikahan itu adalah ketika Istri Tjoktroaminoto meninggal dunia. Kematian Bu Tjokro, ternyata membawa duka yang sangat mendalam terhadap keluarga itu. Mereka kemudian berpindah rumah.
Sebagai orang yang ikut dengan Tjokroaminoto, Soekarno dapat merasakan penderitaan keluarga itu. Ingin rasanya dia menolong, tetapi tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Hingga akhirnya datang seorang adik Tjokro menemuinya.
"Soekarno, kau lihat bagaimana sedihnya hati Tjokroaminoto. Apakah kau dapat berbuat sesuatu agar hatinya sedikit gembira?" mendengar pertanyaan itu, Soekarno menjadi semakin bingung. Dengan jalan apakah dia bisa menolongnya?
"Jadi menantunya. Puterinya Oetari sekarang tidak punya ibu lagi. Tjokro sangat khawatir terhadap masa depan anaknya itu dan siapa yang akan menjaganya dan menyanginya. Inilah yang memberatkan pikirannya," sambungnya lagi.
Mendengar jawaban itu, Soekarno tidak menampik. Namun dia meminta waktu untuk bertanya kepada kedua orang tuanya yang berada di Mojokerto. "Terserah padamu," jawab ayah dan bunda Soekarno, usia mendengar cerita anaknya itu.
Setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya, Soekarno lantas menghadap Tjokroaminoto dan mengajukan niatnya melamar Oetari. Saat itu, Tjokro sangat bahagia, karena telah ada seorang yang bisa dipercaya yang menjaga Oetari.
"Sampai dia (Tjokroaminoto) meninggal, dia tidak pernah tahu, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan menaruh kasihan padanya," ungkap Soekarno, seperti dikutip dalam Cindy Adams.
Pernikahan keduanya dilangsungkan tidak lama setelah mereka bertunangan. Meski telah menyandang status suami-istri yang sah, keduanya tidak tidur bersama. Inilah salah satu ciri dari kawin gantung atau pernikahan digantung.
"Sekalipun aku memiliki status pengantin baru, waktuku di malam hari kuhabiskan untuk memperhatikan Pak Tjokro. Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Ke mana pun dia pergi (dalam acara-acara berpidato) aku ikut," sambungnya.
Setelah lulus HBS pada 1920, Soekarno melanjutkan pendidikannya di THS, Sekolah Tinggi Teknik yang baru dibuka di Bandung. Belum dua bulan di Bandung, Soekarno mendapat kabar keluarga Tjokroaminoto kembali dilanda musibah.
Kali ini, Tjokroaminoto ditangkap oleh polisi kolonial Hindia Belanda, karena tuduhan memberikan keterangan palsu dalam sidang kasus SI afdeling B. Mendengar kabar tersebut, Soekarno langsung bergegas pulang menuju Surabaya.
Sebagai menantu, Soekarno merasa wajib membantu perekonomian keluarga Tjokroaminoto. Dia lantas melamar bekerja dan diterima sebagai Commisredactor di SS dengan gaji F265 sebulan, untuk membiaya seluruh keluarga Tjokro.
Selama enam bulan bekerja sebagai Commisredactor, Soekarno akhirnya berhenti dan kembali pindah ke Bandung bersama Oetari. Selama di Bandung, kehidupan Soekarno dengan Oetari dikabarkan penuh dengan suka cita dan sangat bahagia.
"Seringkali orang melihat sepasang merpati itu keluar rumah di waktu sore bila cuacanya terang, berjalan-jalan sepanjang Kota Bandung yang indah itu," tulis Im Yang Tjoe dalam buku Seokarno sebagi Manoesia yang terbit 1933.
Meski demikian, pendangan masyarakat itu hanya tampak di permukaannya saja. Jauh di dalam relung hati keduanya, ada jurang yang semakin besar. Soekarno semakin merasakan adanya jurang perbedaan itu dan ini mengganggunya.
"Kami tidur berdampingan di satu ranjang, tapi secara jasmaniah kami sebatas kakak dan adik. Suatu kali dia jatuh sakit. Sementara dia terbaring tanpa daya, aku (yang) merawatnya," sambung Soekarno lagi dalam buku Cindy Adams.
Selama merawat Oetari, Soekarno lah yang mengelap tubuhnya yang lagi demam itu dengan alkohol, dari kepala sampai jari kakinya. Namun tidak sekalipun dia menyentuhnya. Bahkan ketika Oetari sembuh, dia tetap tidak menyentuhnya.
"Bahkan kami satu sama lain sejujurnya tidak memiliki keinginan melakukan sebagai layaknya suami-istri. Maksudku, dia menyukaiku dan aku menyukainya, tapi perkawinan kami bukan didasari rasa berahi menyala-nyala," terangnya.
Dinginnya rumah tangga Soekarno dengan Oetari semakin menjadi setelah Tjokroaminoto dibebaskan dari penjara, pada April 1922. Saat itu, Soekarno dan Oetari sudah benar-benar tidak tidur seranjang, bahkan satu kamar pun tidak.
Setelah melalui perenungan mendalam, akhirnya Soekarno mengembalikan Oetari ke rumah Tjokroaminoto. Saat mendengar Soekarno menceraikan Oetari, Tjokro tampak sangat terkejut. Dia lalu menanyakan, "Keputusan siapa ini?"
Soekarno menjawab, bahwa keputusan itu dia ambil sendiri demi kebaikan mereka berdua. "Pernikahan kami dari awal tidak berjalan baik.. Tanpa perceraian ini tidak bisa dibentuk rumah tangga yang bahagia," terang Soekarno.
Mendengar keterangan Soekarno itu, Tjokro yang belum lama dibebaskan dari penjara tampak sangat terkejut dan hanya bisa terdiam. Dalam buku Im Yang Tjoe, dikisahkan setelah perceraian itu Soekarno mengalami pergolakan batin.
Kepada ibunya, Soekarno bersimpuh. Dia menceritakan dirinya dan Oetari sebenarnya saling mencintai. Namun cinta mereka sebagai dua saudara. Akhirnya mereka sepakat untuk bercerai, dan Oetari dipulangkan ke Kedungjati.
"Demi Yang Maha Suci, ibu, saya pulangkan Oetari masih sama sucinya seperti dulu ketika saya terima dari ayahnya.. Saya sangat cinta padanya. Yang saya pikirkan, apakah ia akan berbahagia dalam hidupnya?" ungkap Soekarno.
Soekarno juga mengatakan, antara dirinya dengan Tjokroaminoto telah bersebrangan jalan mengenai pandangan politik. Sebagai seorang istri, Oetari yang merupakan anak Tjokroaminoto tentu akan berpihak kepada politik ayahnya.
"Keyakinan saya semakin teguh.. Saya menjadi ragu, apa pantas seorang anak menantu di satu pihak dengan bapak mertua di pihak lainnya, berjuang dalam politik dan pergerakan yang berbeda? Tidak, bu, tidak pantas," terangnya.
Perbedaan pandangan politik antara Soekarno dengan Tjokroaminoto mulai terjadi setelah dia tinggal di Bandung dan bertemu dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Terkadang, dia juga datang menemui Douwes Dekker.
Soekarno mulai punya pandangan politiknya sendiri sejak tinggal di Surabaya. Tetapi saat itu dia masih ragu dengan pandangannya tersebut. Setelah bertemu Dr Tjipto dan Douwes Dekker, dia baru mantap dengan pandangannya itu.
Hanya saja, ketimbang dengan Tjokroaminoto, pandangan politik Soekarno lebih dekat dengan Dr Tjipto yang kala itu memimpin National Indische Party (NIP). Perbedaan pandangan politik inilah salah satu pemicu perceraian Soekarno.
Ibunda Soekarno yang mendengar beratnya keluhan sang anak lantas berkata, "Oh, Koesno. Hati ibu pun turut merasa berduka atas apa yang menjadi penanggunganmu. Sukar-sukar telah kau jalani, dan hasilnya hanya sakit di hati."
Lebih lanjut, ibunda Soekarno membesarkan hati anaknya, "Barangkali sudah maunya Hyang Widi mesti dijalani. Sebab kalau tidak, ada saja jalan yang menjadikan masalah dulu-dulunya saling bermunculan, oh jagad Dewata Batara."
Bukan Soekarno namanya jika terus berlarut dalam putus cinta. Sebelumnya, dia juga pernah merasakan hal yang sama dengan seorang gadis Belanda. Soekarno dihina, dicaci maki oleh ayah gadis itu. Tetapi dengan cepat dia bangkit.
Saat hatinya tengah dilanda kegundahan yang sangat dalam, Soekarno dengan cepat menemukan obatnya dengan berpaling dalam bekapan kehangatan cinta Inggit Gasnasih, ibu kos tempat Soekarno dan Oetari menumpang tinggal di Bandung.
Kepada Cindy Adams, Soekarno menceritakan kesan pertamanya bertemu Inggit, "Dia memiliki bentuk tubuh yang kecil, dengan sekuntum bunga merah di sanggulnya dan sebuah senyuman yang mempesona. Dia adalah istri Haji Sanusi."
Sejak pertemuannya yang pertama itu, Soekarno langsung jatuh hati kepada Inggit. Begitupun dengan Inggit yang menaruh rasa suka kepada Soekarno. Hampir setiap malam mereka mencuri-curi waktu untuk sekedar bertemu.
Hubungan perselingkuhan ini ternyata sanggup membangkitkan hasrat birahi Soekarno. Hal yang tidak pernah dia dapat dari istri gantungnya Oetari. Dalam diri Inggit, Soekarno mengaku menemukan sosok istri yang sangat ideal.
"Aku ingin teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya. Kalau aku lapar, aku ingin masakan yang ia masak sendiri. Kalau bajuku koyak, aku ingin istriku menambalnya," ungkap Soekarno.
Soekarno lantas menambahkan, "Adalah dia, bukan istriku, yang membereskan kamarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan pemikiranku. Dialah orang yang bertindak sebagai ibuku, bukan Oetari."
Hubungan keluarga Inggit dengan H Sanusi berlangsung dingin. Tidak jauh berbeda dengan hubungan keluarga Soekarno dengan Oetari. Puncak hubungan terlarang itu adalah terjadinya kontak fisik antara Soekarno dengan Inggit.
"Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu. Dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi. Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali.." terang Soekarno.
Oetari dan H Sanusi rupanya mengetahui perselingkuhan Soekarno dengan Inggit. Sejumlah majalah yang terbit saat itu sempat menulis perselingkuhan ini dan menyebut Soekarno merebut istri dan menghancurkan rumah tangga orang.
Namun Soekarno tidak peduli. Dalam buku Cindy Adams, dia bahkan mengaku lupa dirinya pernah menyesal atau tidak telah merebut Inggit dari H Sanusi. Pada saat itulah, Soekarno mengembalikan Oetari ke rumah Tjokroaminoto.
Setelah perceraian itu, Soekarno lantas menemui H Sanusi coba melamar Inggit istrinya. Merasa hubungannya dengan Inggit tidak berjalan baik, akhirnya Sanusi menceraikan Inggit dan Soekarno menikah dengan janda Sanusi itu.
"Tidak ada adegan yang menegangkan seperti dalam cerita di bioskop. Kukira Sanusi merasa inilah jalan terbaik.. Nyatanya, tidak lama kemudian Sanusi kawin lagi.. Inggit dan aku menikah pada 1923," ungkap Soekarno dalam Cindy Adams.
Setelah pernikahan itu, kehidupan rumah tangga Soekarno dengan Inggit dikabarkan berlangsung hangat. Begitupun dengan Oetari dan suaminya yang baru, serta H Sanusi dengan rumah tangganya yang baru.
Baca Juga
Petualangan Cinta Bung Karno dengan Gadis-gadis Belanda
(san)