Salat Tarawih di Atas Kapal Perang KRI Diponegoro 365
A
A
A
BATAM - Langit sedikit berawan, ombak mengalun setinggi satu setengah meter disibak haluan KRI Diponegoro-365. Daratan Pulau Sulawesi, samar-samar mulai kabur ditelan laju kapal yang berlayar dengan kecepatan 18 knots, setara 35 kilometer perjam.
Satu dua perahu nelayan melintasi kanan dan kiri lambung kapal jenis Corvette kelas Sigma itu, kadang ada saja yang melambaikan tangan atau sekedar mengangkat tangan tinggi-tinggi menyapa awak KRI yang berada di buritan.
Matahari condong ke Barat, mendekati garis horison. Di atas geladak terbuka, Perwira Pelaksana KRI Mayor Laut (P) Norman Fauzi sibuk memberikan pengarahan kepada Bintara Utama Pelda Moh Ichsan.
"Bama (Bintara Utama) siapkan keperluan jamaah, kita sambut Ramadhan di geladak terbuka," perintah Palaksa yang dijawab dengan kata siap oleh Ichsan, Kamis (9/6/2016).
Ichsan segera meneruskan perintah dengan berkoordinasi dengan anggota Bintara Dinas Dalam yang mengurus berbagai keperluan internal kapal selama beroperasi. Serda (ESA) Didik Dwi Sasono, ahli teknis senjata Short Range Missile (SAM) dan TETRAL yang menjabat Bintara Dinas Dalam bergegas menyiapkan perlengkapan salat berjamaah.
Pergerakan kapal perang pada malam hari sebetulnya tidak menggunakan lampu penerangan di geladak terbuka. Suasana malam itu sedikit berbeda, geladak helikopter diterangi dengan lampu pemandu pendaratan helikopter.
Lampu-lampu tiang agung dinyalakan, membiaskan kepulan asap cerobong yang terbawa angin menjauhi laju kapal. Terpaulin berwarna biru cerah dibentangkan, kemudian ditutup dengan karpet tebal buatan Turki cinderamata saat penugasan Maritime Task Force United Nations Interim Force in Lebanon (MTF-UNIFIL) 2009 silam.
Karpet-karpet hijau berbentuk memanjang itu ditimpa dengan besi magnet seukuran tatakan gelas agar tidak tertiup angin. Perangkat pengeras suara jinjing disiapkan di bagian belakang tatanan karpet, menghadap ke buritan laju kapal.
Satu demi satu pengawak KRI tiba di geladak helikopter, mengenakan seragam loreng abu-abu gelap, pakaian dinas berlayar. "Waktu salat magrib, arah kiblat 290," suara dari sistem pengeras suara kapal berbunyi dari anjungan.
Penentuan arah kiblat di kapal menggunakan logika busur derajat, mengacu pada haluan atau arah kapal. Arah kiblat 290 berarti kiblat tepat mengarah ke belakang.
Bintara Rohani Sersan Mayor (EKL) Hendrik Yulianto segera menempati posisi di depan saf, tepat berada segaris dengan tiang yang baru saja diturunkan benderanya. Hendrik yang sehari-hari bertugas mengurus perangkat elektronika senjata KRI itu kemudian berdiri, setelah muazin mengumandangkan iqamah. "Mohon lurus dan rapikan saf," ujar Hendrik.
Komandan KRI Letkol Laut (P) Tunggul, Palaksa Mayor Laut (P) Norman Fauzi, perwira, bintara dan tamtama yang beragama Islam telah siap untuk berjamaah salat magrib.
Petugas jaga anjungan mematikan kemudi agar arah kiblat tidak bergeser selama jamaah berlangsung. Usai salat, zikir dan berdoa bersama, Palaksa mengumumkan, telegram yang mengabarkan masuknya bulan suci Ramadhan.
Laut sekitar Buton, Sulawesi Tenggara menjadi lokasi jamaah magrib, isya sekaligus tarawih pengawak KRI Diponegoro-365 yang sedang dalam pelayaran lintas laut menuju Pearl Harbor, Hawaii Amerika Serikat, untuk mengikuti Latihan Bersama Rim of Pacific yang dihelat oleh US Navy.
Waktu terus berlalu, dentang lonceng penanda jam kapal dibunyikan susul menyusul. KRI Diponegoro mempertahankan kecepatan, membelah ombak, mengarah ke Bumi Cenderawasih, Papua.
Jam istirahat pengawak KRI pada akhir pekan dimulai pukul 20.00. Pengumuman melalui pengeras suara mengimbau anggota untuk mengurangi penggunaan lampu-lampu dalam ruangan, dan memberikan kesempatan mereka yang tidak berjaga untuk istirahat.
Gerebek Sahur di Kamar Tidur Bertingkat
Pukul 23.00 Waktu Indonesia Tengah (Wit), saat sebagian besar pengawak KRI terlelap, aktivitas di dapur dimulai. Kopral Dua (BEK) Asran Undi, tamtama seksi perbekalan mengangkat tumpukkan telur di atas tatakan kertas cokelat. "Bahan baku terbatas, semua harus dihitung cermat," ujar Asran.
Sersan Kepala Eko Kadarisman dan Kopka Nurman Mustakim yang bertugas memasak hidangan sahur mulai disibukkan dengan rutinitas dapur. Beras dari karung dituang dalam bejana besar untuk dicuci, bumbu rempah-rempah yang telah dikupas sebelumnya diracik.
Tangan-tangan terampil yang telah puluhan tahun mengurusi logistik di kapal perang itu cekatan bergonta-ganti pekerjaan.
Sepintas, enam tungku listrik ukuran besar yang terdapat panci-panci permanen telah mengepulkan asap. Telur ayam ras dan sayuran menunggu matang, menghembuskan aroma khas. "Menu sahur kita, granat," canda Eko, menyebut telur rebus balado khas Minangkabau.
Dalam sekali masak, setidaknya 25 kilogram beras dihabiskan untuk konsumsi pengawak KRI yang berjumlah mendekati angka 100 orang. Berkarung-karung beras, gula, mie, garam, minyak, dan tepung disimpan dalam gudang kering.
Sementara buah, sayuran, daging, dan berbagai bahan basah lainnya disimpan dalam fresh room berpendingin, agar terjaga kesegarannya. Tamtama Perbekalan, Asran Undi mengawasi dengan ketat penggunaan bahan makanan selama kapal beroperasi. "Jangan sampai over, nanti kita tidak makan di laut, padahal tidak ada warung," candanya.
Dua jam berlalu, hidangan telah siap. Jendela gulung semacam rolling door telah dinaikkan, makanan dalam etalase mika tebal dijajar dalam wadah-wadah stainless kotak. Piring dan sendok disiapkan masing-masing di ujung hidangan. Peluit panjang dibunyikan keras, untuk membangunkan anggota kapal yang tengah beristirahat.
Servery yang terletak berdekatan dengan ruang rekreasi tamtama dan ruang fitness itu kemudian dipenuhi oleh anggota kapal. Dengan raut muka masih mengantuk, mereka mengantre untuk mengambil hidangan. Petugas pelayanan atau dalam istilah Angkatan Laut disebut Penanting berjaga, memastikan persediaan hidangan selalu penuh.
Telur "granat" balado, sambal teri, tahu goreng asin, dan nasi berpindah dari wadah saji ke piring-piring anggota KRI. Dengan tertib, mereka mengambil tempat sesuai jenjang kepangkatan di ruang rekreasi.
Komandan bersama segenap perwira kapal yang beragama islam menyantap hidangan sahur di Lounge Room Perwira, sementara yang lain terbagi di Lounge Room Bintara dan Tamtama.
Bunyi piring dan sendok nyaris tidak terdengar beradu, jikapun ada yang menyantap hidangan sambil berdialog, suara yang digunakan tidak keras, tertelan suara dari perangkat televisi satelit yang ada di sudut lounge room.
Tradisi mengucapkan selamat atau greeting culture betul-betul dijaga sebagai sopan santun atau manner di KRI. "Selamat makan," nyaris selalu terucap tegas saat seorang anggota memasuki lounge room dan mendapati rekannya sedang menyantap hidangan. Ucapan yang pasti akan dijawab dengan kata terima kasih oleh mereka yang sedang makan.
Personel yang telah selesai menyantap hidangan segera menyerahkan alat makannya di sebuah gerai yang dijaga oleh penanting. Piring, sendok, gelas, dan nampan ditumpuk di jendela gerai, kemudian dikumpulkan untuk dicuci dalam sebuah mesin. Lagi-lagi ucapan terimakasih dilontarkan oleh anggota setelah menyerahkan piringnya untuk dibereskan.
Quarter deck atau sektor terbuka di buritan kapal menjadi tempat teramai berikutnya. Selepas makan, anggota kapal kebanyakan menikmati obrolan santai ditemani kopi dan rokok di sana.
Geladak terbuka adalah satu-satunya lokasi di atas KRI yang diijinkan merokok, meskipun dalam keadaan gelap karena memang lampu penerangan harus dalam keadaan mati.
Obrolan demi obrolan berlangsung, topiknya berkisar masalah tugas dan penugasan. Selain itu, kelompok-kelompok kecil perwira, bintara maupun tamtama muda membahas berbagai hal lucu hingga persoalan pribadi, asmara, dan keluarga.
Selepas sahur, tidak semuanya kembali ke kabin untuk melanjutkan istirahat. Sebagian yang akan berjaga menyiapkan diri, berpakaian dinas berlayar, sementara yang lain menunggu imsak dan subuh tiba agar tidak terlambat salat subuh berjamaah.
"Saya 20 tahun bergabung di AL, Ramadhan dan Lebaran saya lebih banyak di kapal, sedih juga kalau ingat anak," ujar seorang prajurit berpangkat Tamtama kepada wartawan, usai menawarkan secangkir kopi untuk dinikmati bersama.
Tidak semua anggota kapal beragama Islam, namun suasana sahur terkesan penuh kebersamaan. Menjalankan puasa atau tidak, momen makan sahur menjadi sesuatu yang menyenangkan, sekedar untuk menyelami keluh kesah sesama rekan kerja.
Keriuhan quarter deck berakhir saat azan subuh dikumandangkan oleh petugas jaga dari anjungan kapal. Satu persatu prajurit pengawak KRI berpamitan, mengambil air wudhu dan menempatkan diri di saf-saf di atas bentangan karpet Turki berwarna krem kehijauan.
Laju kapal tidak berkurang, hanya arahnya yang dipertahankan, untuk menjaga arah kiblat saat jamaah salat subuh. Usai subuh, aktivitas kerja akan dimulai seperti biasanya, pembersihan ruangan, pengawakan mesin-mesin, pengoperasian instrumen hingga pemantauan kontak-kontak di perairan yang dilalui.
Ramadhan bagi para ksatria pengawal samudera dilalui dengan fokus pada tugas yang tidak berkurang.
Satu dua perahu nelayan melintasi kanan dan kiri lambung kapal jenis Corvette kelas Sigma itu, kadang ada saja yang melambaikan tangan atau sekedar mengangkat tangan tinggi-tinggi menyapa awak KRI yang berada di buritan.
Matahari condong ke Barat, mendekati garis horison. Di atas geladak terbuka, Perwira Pelaksana KRI Mayor Laut (P) Norman Fauzi sibuk memberikan pengarahan kepada Bintara Utama Pelda Moh Ichsan.
"Bama (Bintara Utama) siapkan keperluan jamaah, kita sambut Ramadhan di geladak terbuka," perintah Palaksa yang dijawab dengan kata siap oleh Ichsan, Kamis (9/6/2016).
Ichsan segera meneruskan perintah dengan berkoordinasi dengan anggota Bintara Dinas Dalam yang mengurus berbagai keperluan internal kapal selama beroperasi. Serda (ESA) Didik Dwi Sasono, ahli teknis senjata Short Range Missile (SAM) dan TETRAL yang menjabat Bintara Dinas Dalam bergegas menyiapkan perlengkapan salat berjamaah.
Pergerakan kapal perang pada malam hari sebetulnya tidak menggunakan lampu penerangan di geladak terbuka. Suasana malam itu sedikit berbeda, geladak helikopter diterangi dengan lampu pemandu pendaratan helikopter.
Lampu-lampu tiang agung dinyalakan, membiaskan kepulan asap cerobong yang terbawa angin menjauhi laju kapal. Terpaulin berwarna biru cerah dibentangkan, kemudian ditutup dengan karpet tebal buatan Turki cinderamata saat penugasan Maritime Task Force United Nations Interim Force in Lebanon (MTF-UNIFIL) 2009 silam.
Karpet-karpet hijau berbentuk memanjang itu ditimpa dengan besi magnet seukuran tatakan gelas agar tidak tertiup angin. Perangkat pengeras suara jinjing disiapkan di bagian belakang tatanan karpet, menghadap ke buritan laju kapal.
Satu demi satu pengawak KRI tiba di geladak helikopter, mengenakan seragam loreng abu-abu gelap, pakaian dinas berlayar. "Waktu salat magrib, arah kiblat 290," suara dari sistem pengeras suara kapal berbunyi dari anjungan.
Penentuan arah kiblat di kapal menggunakan logika busur derajat, mengacu pada haluan atau arah kapal. Arah kiblat 290 berarti kiblat tepat mengarah ke belakang.
Bintara Rohani Sersan Mayor (EKL) Hendrik Yulianto segera menempati posisi di depan saf, tepat berada segaris dengan tiang yang baru saja diturunkan benderanya. Hendrik yang sehari-hari bertugas mengurus perangkat elektronika senjata KRI itu kemudian berdiri, setelah muazin mengumandangkan iqamah. "Mohon lurus dan rapikan saf," ujar Hendrik.
Komandan KRI Letkol Laut (P) Tunggul, Palaksa Mayor Laut (P) Norman Fauzi, perwira, bintara dan tamtama yang beragama Islam telah siap untuk berjamaah salat magrib.
Petugas jaga anjungan mematikan kemudi agar arah kiblat tidak bergeser selama jamaah berlangsung. Usai salat, zikir dan berdoa bersama, Palaksa mengumumkan, telegram yang mengabarkan masuknya bulan suci Ramadhan.
Laut sekitar Buton, Sulawesi Tenggara menjadi lokasi jamaah magrib, isya sekaligus tarawih pengawak KRI Diponegoro-365 yang sedang dalam pelayaran lintas laut menuju Pearl Harbor, Hawaii Amerika Serikat, untuk mengikuti Latihan Bersama Rim of Pacific yang dihelat oleh US Navy.
Waktu terus berlalu, dentang lonceng penanda jam kapal dibunyikan susul menyusul. KRI Diponegoro mempertahankan kecepatan, membelah ombak, mengarah ke Bumi Cenderawasih, Papua.
Jam istirahat pengawak KRI pada akhir pekan dimulai pukul 20.00. Pengumuman melalui pengeras suara mengimbau anggota untuk mengurangi penggunaan lampu-lampu dalam ruangan, dan memberikan kesempatan mereka yang tidak berjaga untuk istirahat.
Gerebek Sahur di Kamar Tidur Bertingkat
Pukul 23.00 Waktu Indonesia Tengah (Wit), saat sebagian besar pengawak KRI terlelap, aktivitas di dapur dimulai. Kopral Dua (BEK) Asran Undi, tamtama seksi perbekalan mengangkat tumpukkan telur di atas tatakan kertas cokelat. "Bahan baku terbatas, semua harus dihitung cermat," ujar Asran.
Sersan Kepala Eko Kadarisman dan Kopka Nurman Mustakim yang bertugas memasak hidangan sahur mulai disibukkan dengan rutinitas dapur. Beras dari karung dituang dalam bejana besar untuk dicuci, bumbu rempah-rempah yang telah dikupas sebelumnya diracik.
Tangan-tangan terampil yang telah puluhan tahun mengurusi logistik di kapal perang itu cekatan bergonta-ganti pekerjaan.
Sepintas, enam tungku listrik ukuran besar yang terdapat panci-panci permanen telah mengepulkan asap. Telur ayam ras dan sayuran menunggu matang, menghembuskan aroma khas. "Menu sahur kita, granat," canda Eko, menyebut telur rebus balado khas Minangkabau.
Dalam sekali masak, setidaknya 25 kilogram beras dihabiskan untuk konsumsi pengawak KRI yang berjumlah mendekati angka 100 orang. Berkarung-karung beras, gula, mie, garam, minyak, dan tepung disimpan dalam gudang kering.
Sementara buah, sayuran, daging, dan berbagai bahan basah lainnya disimpan dalam fresh room berpendingin, agar terjaga kesegarannya. Tamtama Perbekalan, Asran Undi mengawasi dengan ketat penggunaan bahan makanan selama kapal beroperasi. "Jangan sampai over, nanti kita tidak makan di laut, padahal tidak ada warung," candanya.
Dua jam berlalu, hidangan telah siap. Jendela gulung semacam rolling door telah dinaikkan, makanan dalam etalase mika tebal dijajar dalam wadah-wadah stainless kotak. Piring dan sendok disiapkan masing-masing di ujung hidangan. Peluit panjang dibunyikan keras, untuk membangunkan anggota kapal yang tengah beristirahat.
Servery yang terletak berdekatan dengan ruang rekreasi tamtama dan ruang fitness itu kemudian dipenuhi oleh anggota kapal. Dengan raut muka masih mengantuk, mereka mengantre untuk mengambil hidangan. Petugas pelayanan atau dalam istilah Angkatan Laut disebut Penanting berjaga, memastikan persediaan hidangan selalu penuh.
Telur "granat" balado, sambal teri, tahu goreng asin, dan nasi berpindah dari wadah saji ke piring-piring anggota KRI. Dengan tertib, mereka mengambil tempat sesuai jenjang kepangkatan di ruang rekreasi.
Komandan bersama segenap perwira kapal yang beragama islam menyantap hidangan sahur di Lounge Room Perwira, sementara yang lain terbagi di Lounge Room Bintara dan Tamtama.
Bunyi piring dan sendok nyaris tidak terdengar beradu, jikapun ada yang menyantap hidangan sambil berdialog, suara yang digunakan tidak keras, tertelan suara dari perangkat televisi satelit yang ada di sudut lounge room.
Tradisi mengucapkan selamat atau greeting culture betul-betul dijaga sebagai sopan santun atau manner di KRI. "Selamat makan," nyaris selalu terucap tegas saat seorang anggota memasuki lounge room dan mendapati rekannya sedang menyantap hidangan. Ucapan yang pasti akan dijawab dengan kata terima kasih oleh mereka yang sedang makan.
Personel yang telah selesai menyantap hidangan segera menyerahkan alat makannya di sebuah gerai yang dijaga oleh penanting. Piring, sendok, gelas, dan nampan ditumpuk di jendela gerai, kemudian dikumpulkan untuk dicuci dalam sebuah mesin. Lagi-lagi ucapan terimakasih dilontarkan oleh anggota setelah menyerahkan piringnya untuk dibereskan.
Quarter deck atau sektor terbuka di buritan kapal menjadi tempat teramai berikutnya. Selepas makan, anggota kapal kebanyakan menikmati obrolan santai ditemani kopi dan rokok di sana.
Geladak terbuka adalah satu-satunya lokasi di atas KRI yang diijinkan merokok, meskipun dalam keadaan gelap karena memang lampu penerangan harus dalam keadaan mati.
Obrolan demi obrolan berlangsung, topiknya berkisar masalah tugas dan penugasan. Selain itu, kelompok-kelompok kecil perwira, bintara maupun tamtama muda membahas berbagai hal lucu hingga persoalan pribadi, asmara, dan keluarga.
Selepas sahur, tidak semuanya kembali ke kabin untuk melanjutkan istirahat. Sebagian yang akan berjaga menyiapkan diri, berpakaian dinas berlayar, sementara yang lain menunggu imsak dan subuh tiba agar tidak terlambat salat subuh berjamaah.
"Saya 20 tahun bergabung di AL, Ramadhan dan Lebaran saya lebih banyak di kapal, sedih juga kalau ingat anak," ujar seorang prajurit berpangkat Tamtama kepada wartawan, usai menawarkan secangkir kopi untuk dinikmati bersama.
Tidak semua anggota kapal beragama Islam, namun suasana sahur terkesan penuh kebersamaan. Menjalankan puasa atau tidak, momen makan sahur menjadi sesuatu yang menyenangkan, sekedar untuk menyelami keluh kesah sesama rekan kerja.
Keriuhan quarter deck berakhir saat azan subuh dikumandangkan oleh petugas jaga dari anjungan kapal. Satu persatu prajurit pengawak KRI berpamitan, mengambil air wudhu dan menempatkan diri di saf-saf di atas bentangan karpet Turki berwarna krem kehijauan.
Laju kapal tidak berkurang, hanya arahnya yang dipertahankan, untuk menjaga arah kiblat saat jamaah salat subuh. Usai subuh, aktivitas kerja akan dimulai seperti biasanya, pembersihan ruangan, pengawakan mesin-mesin, pengoperasian instrumen hingga pemantauan kontak-kontak di perairan yang dilalui.
Ramadhan bagi para ksatria pengawal samudera dilalui dengan fokus pada tugas yang tidak berkurang.
(san)