Soekarno, Golongan Kiri, dan Pengkhianatan Pancasila

Sabtu, 04 Juni 2016 - 04:04 WIB
Soekarno, Golongan Kiri, dan Pengkhianatan Pancasila
Soekarno, Golongan Kiri, dan Pengkhianatan Pancasila
A A A
PRESIDEN Joko Widodo memberikan penghargaan kepada Soekarno atas jasanya dalam menggali Pancasila dan merumuskannya sebagai dasar negara, dengan menetapkan hari lahir Pancasila, pada 1 Juni sebagai libur nasional.

Banyak sudah ulasan mengenai Pancasila dan pribadi Soekarno. Namun, sedikit saja yang mengulas pemikirannya. Maka, wajar rasanya jika banyak yang tidak mengerti dan mengetahui pemikiran Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar negara.

Ketidaktahuan ini, bukan hanya menyebabkan diskusi panjang di tengah masyarakat, tetapi juga berbagai bentuk tafsir yang salah atas Pancasila. Bahkan, menjadi sangat rawan untuk diselewengkan oleh sejumlah pihak.

Maka itu, ulasan tentang pemikiran Soekarno, utamanya tentang Pancasila, kendati singkat, menjadi sumbangan yang sangat penting dan berarti bagi khasanah kehidupan berbangsa dewasa kini. Atas tujuan itulah tulisan ini dibuat.

Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia seperti diceritakan kepada Cindy Adams, Soekarno menceritakan sejarah lahirnya pidato, pada 1 Juni 1945 yang kemudian diberi judul Lahirnya Pancasila.

"Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasla. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah," katanya, seperti dikutip pada halaman 240.

Kelima butir mutiara itu, sebelum disempurnakan dan dikenal dengan lima sila Pancasila seperti sekarang ini adalah Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada butir mutiara yang pertama, yakni Kebangsaan, Soekarno menjelaskan, hari depan Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan, di mana orang dan tempat tidak dapat dipisahkan, begitupun rakyat dari bumi yang pijaknya.

Batas-batas bangsa Indonesia, menurut Soekarno adalah, semua orang yang bertempat tinggal di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua.

Dengan butir ini, Soekarno ingin membentuk suatu barisan persatuan, seperti yang pernah dia usahakan pada 1926, dan pada 1927 melahirkan federasi pergerakan Indonesia yang berlandaskan mufakat, dan pada 1933 menyebabkan diperluasnya proletariat menjadi Marhaenisme, dan menyebabkan Soekarno menolak gagasan negara Islam pada 1940.

Kesatuan ini sebelumnya pernah terwujud dua kali dalam sejarah Indonesia, yakni di zaman Kerajaan-kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai abad ke-13, dan masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga abad ke-15.

Salah satu ide yang melatari Soekarno dalam melahirkan asas Kebangsaan ini adalah ajaran Bapak Bangsa Cina, Sun Yat Sen dalam bukunya San Min Chu I atau Tiga Prinsip Demokrasi yang intinya meliputi tiga prinsip, yakni kebangsaan (Min-tsu), demokrasi (Min-chuan), dan sosialisme (Min-sheng).

Sedang pada mutiara kedua, yakni Internasionale atau Perikemanusiaan, Soekarno menyatakan, Indonesia hanya bagian kecil dari dunia. Di sini, Soekarno teringat dengan kata-kata mutiara pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi yang menyatakan, "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

Ide ini, sebelumnya pernah Soekarno utarakan pada 1926 dalam hubungan antarbangsa-bangsa. Waktu itu, Soekarno berusaha mempertentangkan nasionalisme Ketimuran, dan nasionalisme Barat, sambil merangkul Pan-Asianisme atau Inter Asianisme, sebagai sekutu dalam perjuangan melawan Barat.

Dengan mengutip Gandhi, Soekarno ingin mengikuti pembentukan negara baru melalui pendekatan humanitarianisme, seperti asas yang pertama-tama ditujukan India kepada Barat, yang saat itu terbelenggu oleh materialisme.

"Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia," kata Soekarno, seperti dikutip dalam buku Bernhard Dahm yang berjudul Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, halaman 413.

Mutiara yang ketiga adalah Demokrasi. Menurut Soekarno, sifat demokrasi masyarakat Indonesia tidak mengambil gaya Barat, tetapi berasal masyarakat Indonesia sendiri, yakni kebiasaan musyawarah dan mufakat yang telah berlangsung berabad-abad.

"Sebagai seorang yang menyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas dasar perwakilan, aku berkata, kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan, tetapi semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu," sambung Soekarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 241.

Cetusan ide ini juga pernah diutarakan Soekarno pada 1927, di dalam rapat federasi pergerakan rakyat Indonesia yang pertama, yakni PPPKI. Saat itu, Soekarno ingin semua pihak benar-benar diwakili dan melalui asa mufakat, Soekarno berusaha untuk menjamin golongan-golongan minoritas hak yang sesungguhnya untuk didengar.

Pada penjelasan mutiara keempat, yakni Keadilan Sosial, Soekarno memulainya dengan mengajukan pertanyaan, "Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalisnya merajalela? Ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, karena merasa diayomi oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?"

Soekarno mengingatkan, Keadilan Sosial tidak hanya menghendaki adanya persamaan politik, tetapi juga demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, dunia baru yang bernama Indonesia, dengan seluruh penduduknya yang hidup sejahtera.

Orang yang menghendaki adanya perubahan kapitalis yang ada, orde imperialistis, dan mereka yang menyebarkan paham Keadilan Sosial adalah golongan kiri. Golongan ini tidak mesti komunistis dan mereka yang menentang ide-ide kiri dalam mewujudkan Keadilan Sosial harus ditentang habis-habisan. "Aku seorang sosial. Aku seorang yang beraliran kiri," tegasnya.

Lebih jauh, Soekarno mengatakan, nasionalisme tanpa keadilan sosial akan menjadi nihilisme. Menurutnya, Indonesia sebagai negeri miskin dan sangat buruk, tidak akan pernah bisa lepas dari paham sosialisme.

"Bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lainnya di dunia. Sosialisme kami adalah sosialisme yang tidak memasukkan konsep materialisme yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang takut kepada Tuhan dan mencintai Tuhan," ungkapnya, seperti dikutip dalam halaman 90.

Menurut Soekarno, sosialisme Indonesia adalah campuran dari Declaration of Independence Amerika, ajaran spiritual Islam dan Kristen, serta kajian ilmiah dari Karl Marx atau Marxisme, dan kemandirian Marhaenisme.

Mutiara yang terakhir, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Soekarno menegaskan, biarlah orang Indonesia ber-Tuhan dengan Tuhan-nya sendiri-sendiri, dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan cara yang dipilihnya sendiri.

Di sini, Soekarno ingin menegaskan, bahwa Tuhan yang dimaksud bukanlah Tuhan Islam yang menuntut ketaatan total dari para pemeluknya, tetapi Tuhan Takdir yang dapat dibenarkan atas dasar perkembangan-perkembangan dalam sejarah dunia, dan yang darinya diperoleh ilham yang ditafsirkan sesuai dengan kebijaksanaan sendiri-sendiri.

"Marilah kita jalankan asas kelima dengan yang berkeadaban dengan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat menghormati satu sama lain," terangnya, seperti dikutip pada halaman 241.

Dari kelima sila itu, Soekarno memerasnya lagi menjadi satu, yakni gotong royong. Pengertian gotong-royong di sini adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, berjuang bersama, dan beramal buat kepentingan semua.

"Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara!" ungkap Soekarno, di halaman 242.

George McTurnan Kahin dalam bukunya yang sangat terkenal, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia memuji Soekarno dengan rumusannya mengenai Pancasila. Dia mengatakan, Pancasila adalah sintesa terbaik dari gagasan-gagasan demokrasi Barat, Islam modernis, Marxis, komunalistik desa asli Indonesia, dan gagasan-gagasan demokrasi lainnya.

Dalam praktiknya, Pancasila sebagai dasar negara ternyata tidak mampu menyatukan semua kekuatan politik di Indonesia ke dalam satu barisan persatuan. Hal ini ditandai dengan pecahnya poros Nasionalis, Agama, dan Komunisme (Nasakom).

Menurut Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir Mohamad Roem, penyebab dari perpecahan itu diakibatkan oleh Soekarno sendiri, yang memberikan porsi terlalu besar terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mewakili unsur komunisme.

"Waktu Presiden Soekarno berkuasa, kebijaksanaannya memberi kekuasaan kepada satu golongan saja, yaitu golongan komunis.. Pengikut-pengikut Lenin, yaitu orang-orang komunis, diterima sebagai Pancasilais sebagai orang yang ber-Tuhan, sedang dalam filsafatnya tidak ada tempat untuk percaya kepada Tuhan," katanya, seperti dikutip dalam bukunya, Bunga Rampai dari Sejarah II, laman 276.

Sebaliknya, Soekarno melihat pandangan yang menyatakan Pancasila tanpa golongan komunis adalah salah kaprah. Sebab, golongan komunis mewakili sila Keadilan Sosial yang menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, tanpa exploitation de ihomme par ihomme. Persatuan Nasakom juga menurutnya telah tertuang dalam Panca Azimat Revolusi.

Dengan menghilangkan salah satu unsur dalam Panca Azimat Revolusi itu, maka kelompok tersebut bukan hanya mengkhianati jalannya revolusi Indonesia, tetapi juga Pancasila sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan revolusioner.

"Pancasila, dasar dan wadah. Pegang teguh wadah. Dasar, wadah. Wadah untuk apa? Untuk Nasakom ini. Bahkan salah satu sila daripada Pancasila adalah Keadilan Sosial. Keadilan Sosial yang benar-benar berarti keadilan sosial, demokrasi ekonomi, adil, dan makmur," ungkap Soekarno, pada Hari Ulang Tahun Perwari, di Istora Senayan, Jakarta, 17 Desember 1965.

Setelah Soekarno jatuh digantikan Soeharto, Pancasila bahkan menjadi asas tunggal negara, di mana semua partai-partai politik, harus menerima ideologi negara itu sebagai asal tunggal. Konsep Pancasila sebagai asas tunggal ini melahirkan oposisi dari unsur agama, terutama dari kelompok Islam.

Putusan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal disahkan Soeharto melalui Sidang Umum MPR di bulan Maret 1983 dengan agenda menyusun rancangan GBHN. Salah satu poin yang dimasukkan dalam GBHN ini adalah Ketetapan MPR mengenai keharusan dua partai politik, dan Golkar menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

Meski terdapat ketidakpuasan dan penentangan yang kuat dari kelompok-kelompok dan para pemimpin Islam, kebijakan ini akhirnya diterima oleh organisasi-organisasi Islam, seperti PII, dan kelompok pecahan HMI, yaitu HMI-MPO.

Kendati demikian, perlawanan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal tetap dilakukan oleh kelompok Islam. Jauh sebelum ide itu mulai menguap, aktivitas kelompok Islam telah dianggap sebagai ancaman. Tercatat, antara tahun 1977-1980 saja, sekitar 6.000 aktivis Islam ditangkap dan banyak dari mereka yang dipenjara, dengan atau tanpa proses pengadilan.

Sampai di sini ulasan Cerita Pagi diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada khalayak. Selamat Hari Lahir Pancasila!

Sumber Tulisan
* Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno dan PT Media Pressindo, Cetakan Kedua, 2011.
* Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3S, Cetakan Pertama, Desember 1987.
* Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Serajah II, Bulan Bintang, Cetakan Pertama, 1977.
* Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara, Cetakan I, Januiari 2014.
* Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Penerbit Mizan, Cetakan I, September 2005.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3019 seconds (0.1#10.140)