Panglima Batur, Pejuang Muslim Penentang Belanda dari Suku Dayak
A
A
A
Panglima Batur lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852. Beliau adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai.
Panglima Batur merupakan salah seorang panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Ia juga seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya.
Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur ialah pejuang yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda.
Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir guna memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda.
Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Rasa sedih pun menyelimuti Panglima Batur saat kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas.
Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil.
Meski saat itu Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan, namun Belanda cukup kesulitan untuk menaklukannya.
Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita.
Hal itulah yang dimanfaatkan Belanda untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan.
Pasangan mempelai yang sedang bersanding ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan kemudian dipukuli serta disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur yang saat itu berhasil lolos.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya.
Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan.
Tapi sebaliknya apabila panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati.
Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian daripada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan.
Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya.
Dia dimakamkan di belakang Masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
Sumber:
wikipedia
walidandatu.blogspot
diolah dari berbagai sumber
Panglima Batur merupakan salah seorang panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Ia juga seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya.
Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur ialah pejuang yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda.
Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir guna memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda.
Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Rasa sedih pun menyelimuti Panglima Batur saat kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas.
Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil.
Meski saat itu Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan, namun Belanda cukup kesulitan untuk menaklukannya.
Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita.
Hal itulah yang dimanfaatkan Belanda untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan.
Pasangan mempelai yang sedang bersanding ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan kemudian dipukuli serta disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur yang saat itu berhasil lolos.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya.
Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan.
Tapi sebaliknya apabila panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati.
Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian daripada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan.
Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya.
Dia dimakamkan di belakang Masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
Sumber:
wikipedia
walidandatu.blogspot
diolah dari berbagai sumber
(nag)