Tumbuhkan Budaya Bertetangga di Apartemen
A
A
A
YOGYAKARTA - Munculnya banyak apartemen di Jakarta dan kota besar di Indonesia termasuk di Yogyakarta tak bisa dipungkiri menjadi sebuah gaya hidup modern yang mengedepankan individualistis. Wajar saja di tengah gempuran peradaban saat ini, gaya hidup kalangan menengah ini menjadi pilihan ketika masyarakat semakin tertekan dengan berbagai bentuk aktivitas kehidupan sosial yang ada.
Sebagai orang modern, tentu saja kadangkala ada yang menginginkan suasana hidup dalam kesendirian dan hiruk pikuk aktivitas sosial. Kondisi inilah yang kini menjadi bidikan pengelola apartemen untuk memberikan sebuah kenyamanan dalam suasana apartemean atau kondominium.
Konsep hidup di apartemen sebenarnya bukan menjadi gaya hidup masyarakat di Indonesia. Sebagai manusia sosial, tentu saja masih membutuhkan lingkungan sekitar. Termasuk juga apartemen yang semestinya masih bisa membuka ruang untuk interaksi sosial di antara penghuni apartemen.
Namun hal ini sangat sulit terjadi. Karena semua bisa dilakukan peghuni apartemen lewat jasa pengelola apartemen atau pihak ketiga termasuk asisten rumah tangga.
Berbeda dengan konsep apartemen yang ditawarkan Cairnhill Nine. Bayangkan saja, di tengah kondisi apartemen yang mulai menjauh dari budaya Indonesia justru ancang-ancang menawarkan konsep kondominium dengan tidak meninggalkan budaya Indonesia. Saling tegur sapa yang masih bisa dilakukan menjadi ciri khas apartemen tersebut.
Dengan mengusung konsep building people building community, Cairnhill Nine tidak hanya menjadi hunian dengan konsep vertikal atau pencakar langit. Namun peduli dengan kehidupan penghuninya demi terciptanya sebuah harmoninasi, baik untuk pasangan muda, keluarga dengan berbagai latar belakang profesi.
Pengamat sosial dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, DR Abdur Rozaki mengatakan, kehidupan di apartemen memang kehidupan yang meninggalkan kehidupan sosial.
Penghuni yang tinggal benar-benar menginginkan suasana eksklusif dan tidak terganggung dengan berbagai aktivitas lingkungan. ”Kalau mau membangun respon sosial di antara penghuni memang sangat sulit,” ungkapnya.
Hanya saja, dia mengaku konsesus penghuni bisa menjadi cara untuk tetap menumbuhkan suasana sosial seperti tegur sapa dan, juga ngobrol bersama diantara penghuninya.”Kalau bisa saling kenal, masih bisa saling sapa dan juga saling ngobrol di antara pemilik apartemen. Namun ini perlu konsensus,” ulasnya.
Desain apartemen, diakuinya memang menyulitkan upaya sosialisasi. Untuk itu apabila ada upaya saling mengenalkan diri dan juga suasana longgar bersama, maka konsep saling sapa masih ada harapan muncul di apartemen. ”Pengelola juga sangat penting menanamkan konsep tersebut,” papar dia.
Konsep kearifan lokal, menurut Abdur Rozaki, memang sangat sulit ditumbuhkan. Hanya saja apabila memang pengembang membuat desain apartemen yang bisa memungkinkan kehidupan bertetangga layaknya perumahan, ini menjadi sebuah gagasan yang luar biasa. Ciri khas masayarakat Indonesia masih bisa hadir dalam bentuk apartemen.
”Karena orang memilih perumahan saja karena dia sudah sulit mengikuti interkasi sosial dengan warga di kampung yang memiliki banyak agenda sosial seperti ronda dan sebagainya, tentu saja yang memilih aparteman juga lebih dari warga yang memilih tinggal di perumahan,” tandasnya.
Penghuni salah satu apartemen di Jakarta, Budi Haryono mengungkapkan, dia terpaksa memilih sewa apartemen karena memang membutuhkan banyak kegiatan dan tidak diganggu dengan berbagai aktivitas.
Hanya saja, dia mengaku masih sempat kenal dengan beberapa penghuni apartemen.”Kalau hanya sekedar ngobrol, saya kira masih bisa. Namun memang tidak sebebas di perumahan,” kata warga keturunan Gunungkidul, Yogyakarta ini.
Diakuinya, konsep pengembang juga menentukan kehidupan penghuni apartemen. Kalau memang ada konsep kebersamaan dan tegur sapa diantara pemilik apartemen, maka dia masih yakin fungsi fungsi sosial penghuni masih bisa ditanamkan dan dijadikan gaya hidup apartemen yang lebih Indonesia.
Sebagai orang modern, tentu saja kadangkala ada yang menginginkan suasana hidup dalam kesendirian dan hiruk pikuk aktivitas sosial. Kondisi inilah yang kini menjadi bidikan pengelola apartemen untuk memberikan sebuah kenyamanan dalam suasana apartemean atau kondominium.
Konsep hidup di apartemen sebenarnya bukan menjadi gaya hidup masyarakat di Indonesia. Sebagai manusia sosial, tentu saja masih membutuhkan lingkungan sekitar. Termasuk juga apartemen yang semestinya masih bisa membuka ruang untuk interaksi sosial di antara penghuni apartemen.
Namun hal ini sangat sulit terjadi. Karena semua bisa dilakukan peghuni apartemen lewat jasa pengelola apartemen atau pihak ketiga termasuk asisten rumah tangga.
Berbeda dengan konsep apartemen yang ditawarkan Cairnhill Nine. Bayangkan saja, di tengah kondisi apartemen yang mulai menjauh dari budaya Indonesia justru ancang-ancang menawarkan konsep kondominium dengan tidak meninggalkan budaya Indonesia. Saling tegur sapa yang masih bisa dilakukan menjadi ciri khas apartemen tersebut.
Dengan mengusung konsep building people building community, Cairnhill Nine tidak hanya menjadi hunian dengan konsep vertikal atau pencakar langit. Namun peduli dengan kehidupan penghuninya demi terciptanya sebuah harmoninasi, baik untuk pasangan muda, keluarga dengan berbagai latar belakang profesi.
Pengamat sosial dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, DR Abdur Rozaki mengatakan, kehidupan di apartemen memang kehidupan yang meninggalkan kehidupan sosial.
Penghuni yang tinggal benar-benar menginginkan suasana eksklusif dan tidak terganggung dengan berbagai aktivitas lingkungan. ”Kalau mau membangun respon sosial di antara penghuni memang sangat sulit,” ungkapnya.
Hanya saja, dia mengaku konsesus penghuni bisa menjadi cara untuk tetap menumbuhkan suasana sosial seperti tegur sapa dan, juga ngobrol bersama diantara penghuninya.”Kalau bisa saling kenal, masih bisa saling sapa dan juga saling ngobrol di antara pemilik apartemen. Namun ini perlu konsensus,” ulasnya.
Desain apartemen, diakuinya memang menyulitkan upaya sosialisasi. Untuk itu apabila ada upaya saling mengenalkan diri dan juga suasana longgar bersama, maka konsep saling sapa masih ada harapan muncul di apartemen. ”Pengelola juga sangat penting menanamkan konsep tersebut,” papar dia.
Konsep kearifan lokal, menurut Abdur Rozaki, memang sangat sulit ditumbuhkan. Hanya saja apabila memang pengembang membuat desain apartemen yang bisa memungkinkan kehidupan bertetangga layaknya perumahan, ini menjadi sebuah gagasan yang luar biasa. Ciri khas masayarakat Indonesia masih bisa hadir dalam bentuk apartemen.
”Karena orang memilih perumahan saja karena dia sudah sulit mengikuti interkasi sosial dengan warga di kampung yang memiliki banyak agenda sosial seperti ronda dan sebagainya, tentu saja yang memilih aparteman juga lebih dari warga yang memilih tinggal di perumahan,” tandasnya.
Penghuni salah satu apartemen di Jakarta, Budi Haryono mengungkapkan, dia terpaksa memilih sewa apartemen karena memang membutuhkan banyak kegiatan dan tidak diganggu dengan berbagai aktivitas.
Hanya saja, dia mengaku masih sempat kenal dengan beberapa penghuni apartemen.”Kalau hanya sekedar ngobrol, saya kira masih bisa. Namun memang tidak sebebas di perumahan,” kata warga keturunan Gunungkidul, Yogyakarta ini.
Diakuinya, konsep pengembang juga menentukan kehidupan penghuni apartemen. Kalau memang ada konsep kebersamaan dan tegur sapa diantara pemilik apartemen, maka dia masih yakin fungsi fungsi sosial penghuni masih bisa ditanamkan dan dijadikan gaya hidup apartemen yang lebih Indonesia.
(sms)