Abdullah Ahmad dan Modernisasi Islam di Minangkabau
A
A
A
Namanya Haji Abdullah Ahmad. Sosok yang mengajarkan pelajaran agama Islam kepada Mohammad Hatta ini dikenal sebagai tokoh gerakan modernisasi Islam di Minangkabau. Berikut kisahnya.
Setelah membahas sosok Syekh Muhammad Djamil Djambek, salah satu ulama besar, Cerita Pagi kali ini akan mengupas sosok ulama besar lainnya di Minangkabau. Dia adalah Haji Abdullah Ahmad.
Dikutip dari Wikipedia, Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Dia merupakan anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dan seorang ibu yang berasal dari Bengkulu.
Menurut pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan, Abdullah Ahmad berasal dari keluarga yang taat terhadap agama. Sejak kecil ia telah dididik oleh ayahnya.
Pada usia 17 tahun (1895), Abdullah Ahmad menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sekaligus berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Empat tahun kemudian (1899), dia kembali ke Padang Panjang dan mengajar di Surau Jembatan Besi bersama Haji Rasul.
Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan pamannya yang meninggal dunia.
Tiga tahun kemudian, tambah Fikrul Hanif yang juga pengajar di STKIP Abdi Pendidikan itu, Abdullah Ahmad bersama beberapa orang pedagang mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Syarikat Usaha di Padang. Dari organisasi ini, Syarikat Usaha merintis berdirinya Adabiyah School (1909-1914) yang menerapkan sistem pendidikan Islam modernis.
Selain tertarik pada dunia pendidikan, Abdullah Ahmad juga tertarik untuk menyebarkan pemikiran modernis, melalui publikasi dengan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo. Selanjutnya, tanggal 1 April 1911, Abdullah Ahmad mendirikan perusahaan pers Islam pertama dan menerbitkan majalah Al-Munir.
Selama penerbitan majalah itu, Abdullah Ahmad dibantu ulama-ulama modernis seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. (Baca juga: Syekh Muhammad Djamil Djambek, Ulama Besar Minangkabau).
Rubrik yang ditampilkan Al-Munir kental nuansa konfrontatif dengan ulama-ulama tradisional. Biasanya, dalam rubriknya dibahas tentang masalah ushalli, makan di rumah orang kematian, membaca barzanji, talqin terhadap si mayat, masalah-masalah bid'ah, dan hukum memakai dasi.
Melalui majalah Al-Munir, Abdullah Ahmad cs mengemukakan ijtihad mereka terhadap beberapa masalah yang sebelumnya diharamkan oleh ulama tradisional, seperti berfoto hukumnya boleh, memakai dasi dan topi tidak haram hukumnya.
Singkat cerita, Majalah Al-Munir merupakan salah satu media yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh modernis Islam dalam menyampaikan ijtihadnya.
Pada tahun 1918, Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) dan mendapat pengakuan hukum dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1920. Tujuan berdirinya organisasi ini, jelas Fikrul Hanif, adalah untuk mempersatukan ulama tradisional dan ulama modernis.
Namun, usaha ini tidak berhasil sepenuhnya, karena Kaum Tua dibawah pimpinan Syekh Sulaiman ar-Rusuli mendirikan organisasi serupa dengan nama Ittihadul Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra).
Atas sikapnya yang taktis dan tenang dalam berhadapan dengan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia Belanda, Abdullah Ahmad dijuluki sebagai politisi dan intelektual oleh seorang Belanda, van Ronkel.
Berkat pengetahuan keislamannya yang mendalam dan diakui ulama-ulama Timur Tengah, pada Konferensi Khilafah di Kairo, Mesir, tahun 1926, Abdullah Ahmad yang juga menjadi guru pelajaran agama Islam saat Bung Hatta bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dianugerahi gelar kehormatan, yakni doktor fid-din.
Ulama modernis asal Padang Panjang ini akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 1933 di Padang. Namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Padang.
Setelah membahas sosok Syekh Muhammad Djamil Djambek, salah satu ulama besar, Cerita Pagi kali ini akan mengupas sosok ulama besar lainnya di Minangkabau. Dia adalah Haji Abdullah Ahmad.
Dikutip dari Wikipedia, Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Dia merupakan anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dan seorang ibu yang berasal dari Bengkulu.
Menurut pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan, Abdullah Ahmad berasal dari keluarga yang taat terhadap agama. Sejak kecil ia telah dididik oleh ayahnya.
Pada usia 17 tahun (1895), Abdullah Ahmad menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sekaligus berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Empat tahun kemudian (1899), dia kembali ke Padang Panjang dan mengajar di Surau Jembatan Besi bersama Haji Rasul.
Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan pamannya yang meninggal dunia.
Tiga tahun kemudian, tambah Fikrul Hanif yang juga pengajar di STKIP Abdi Pendidikan itu, Abdullah Ahmad bersama beberapa orang pedagang mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Syarikat Usaha di Padang. Dari organisasi ini, Syarikat Usaha merintis berdirinya Adabiyah School (1909-1914) yang menerapkan sistem pendidikan Islam modernis.
Selain tertarik pada dunia pendidikan, Abdullah Ahmad juga tertarik untuk menyebarkan pemikiran modernis, melalui publikasi dengan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo. Selanjutnya, tanggal 1 April 1911, Abdullah Ahmad mendirikan perusahaan pers Islam pertama dan menerbitkan majalah Al-Munir.
Selama penerbitan majalah itu, Abdullah Ahmad dibantu ulama-ulama modernis seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. (Baca juga: Syekh Muhammad Djamil Djambek, Ulama Besar Minangkabau).
Rubrik yang ditampilkan Al-Munir kental nuansa konfrontatif dengan ulama-ulama tradisional. Biasanya, dalam rubriknya dibahas tentang masalah ushalli, makan di rumah orang kematian, membaca barzanji, talqin terhadap si mayat, masalah-masalah bid'ah, dan hukum memakai dasi.
Melalui majalah Al-Munir, Abdullah Ahmad cs mengemukakan ijtihad mereka terhadap beberapa masalah yang sebelumnya diharamkan oleh ulama tradisional, seperti berfoto hukumnya boleh, memakai dasi dan topi tidak haram hukumnya.
Singkat cerita, Majalah Al-Munir merupakan salah satu media yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh modernis Islam dalam menyampaikan ijtihadnya.
Pada tahun 1918, Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) dan mendapat pengakuan hukum dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1920. Tujuan berdirinya organisasi ini, jelas Fikrul Hanif, adalah untuk mempersatukan ulama tradisional dan ulama modernis.
Namun, usaha ini tidak berhasil sepenuhnya, karena Kaum Tua dibawah pimpinan Syekh Sulaiman ar-Rusuli mendirikan organisasi serupa dengan nama Ittihadul Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra).
Atas sikapnya yang taktis dan tenang dalam berhadapan dengan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia Belanda, Abdullah Ahmad dijuluki sebagai politisi dan intelektual oleh seorang Belanda, van Ronkel.
Berkat pengetahuan keislamannya yang mendalam dan diakui ulama-ulama Timur Tengah, pada Konferensi Khilafah di Kairo, Mesir, tahun 1926, Abdullah Ahmad yang juga menjadi guru pelajaran agama Islam saat Bung Hatta bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dianugerahi gelar kehormatan, yakni doktor fid-din.
Ulama modernis asal Padang Panjang ini akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 1933 di Padang. Namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Padang.
(zik)