Semaoen dan Pemogokan Buruh Kereta Api Mei 1923

Senin, 02 Mei 2016 - 05:05 WIB
Semaoen dan Pemogokan...
Semaoen dan Pemogokan Buruh Kereta Api Mei 1923
A A A
PEMOGOKAN buruh kereta api yang dilakukan secara serempak di Jawa dan menyebar secara luas di Indonesia, pada 9 Mei 1923, merupakan peristiwa besar pada masa kolonial, yang sangat penting dalam penulisan sejarah Indonesia modern.

Aksi buruh kereta api ini dipimpin oleh Semaoen, Ketua Serikat Buruh Kereta Api dan Kereta Listrik (VSTP) yang didirikan di Semarang, Jawa Tengah, pada 14 November 1908, oleh 63 buruh Eropa dari tiga perusahaan kereta api.

Semaoen lahir tahun 1899, di Modjokerto, Jawa Timur. Ayahnya seorang buruh kasar, tukang batu pada jawatan kereta api milik pemerintah. Sebagai akibat politik Etis, Semaoen bisa sekolah di Tweede Klas, pada tahun 1906.

Setelah lulus sekolah dasar dan mendapat sertifikat klien abtenaar pada 1912, pada usia yang masih sangat belia yakni 13 tahun, Semaoen diterima bekerja sebagai juru tulis kecil (Klerk) pada perusahaan kereta api milik pemerintah.

Saat Sarekat Islam (SI) didirikan, Semaoen mendaftar menjadi anggotanya yang pertama-tama. Namanya masuk sebagai anggota SI afdeling Surabaya, pada 1913. Setahun kemudian, pada 1914, dia diangkat menjadi sekretaris SI cabang Surabaya.

Keterlibatan Semaoen dalam serikat buruh kereta api pemerintah mengantarkan dirinya mendapatkan nama buruk sebagai seorang agitator buruh pertama di Indonesia, yang lantas menghubungkannya dengan pemimpin buruh Belanda Sneevliet.

Sneevliet adalah seorang sosialis Belanda, pernah menjadi Ketua Serikat Buruh Trem dan Kereta Api yang dikontrol Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dia tiba di Indonesia pada Februari 1913, sebagai orang buangan pemerintah.

Pada 9 Mei 1914, Sneevliet mendirikan perkumpulan sosialis Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) yang banyak melakukan propaganda sosialisme dan mendorong tindakan revolusioner anti-imperialisme kepada kaum bumiputera.

Pertemuan Semaoen dengan Sneevliet sudah terjadi pada akhir 1913, di Surabaya. Pemikiran-pemikiran Sneevliat yang radikal sangat memengaruhi Semaoen untuk belajar dan mendalami ilmu Marxisme, serta mengorganisir serikat-serikat buruh.

Semaoen lantas mendaftar ISDV dan VSTP cabang Surabaya, pada pertengahan 1914, dan diangkat eksekutif cabang VSTP Surabaya pada awal 1915, menyusul Kongres VSTP yang menyatakan tiga dari tujuh pimpinan pusat VSTP harus bumiputera.

Kegiatan Semaoen dalam ISDV dan VSTP, serta SI cabang Surabaya, membuat pekerjaannya sebagai juru tulis di jawatan kereta api pemerintah tertanggu. Akhirnya, pada 1 Juli 1916, dia berhenti dari pekerjaannya dan segera pindah ke Semarang.

Sebagai gantinya, Semaoen ditawarkan menjadi propagandis dan editor surat kabar VSTP untuk kaum bumiputera Si Tetap dengan gaji kerja penuh. Keputusan Semaoen pindah sejalan dengan keinginan SI yang menginginkannya berada di Semarang.

Dalam Kongres SI tahun 1916, Semaoen segera dipindah ke Semarang, dengan kantor pusat Central Serikat Islam (CSI). Dengan hadirnya Semaoen di Semarang, mesin politik SI cabang Semarang menjadi lebih dinamis, dengan perkembangan pesat.

Pada 1916, keanggotaan SI Semarang 1.700 anggota. Setahun kemudian, setelah dipegang Semaoen, menjadi 20.000 orang. Dia juga mengusulkan agar SI-SI di perkotaan membuat tuntutan radikal di bidang kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Usia Semaoen masih sangat muda ketika muncul sebagai tokoh pergerakan revolusioner Indonesia. Pada 1916, saat perjalanan politiknya yang pertama, usianya baru menginjak 17 tahun. Semaoen besar pada masa pergerakan sedang hebat-hebatnya.

Seperti ditunjukkan dalam perjalanan kariernya, Semaoen adalah jenis pemimpin pergerakan yang baru. Pertama, dia bukan jurnalis yang kemudian menjadi pemimpin pergerakan, seperti Mas Marco Kartodikromo dan pemimpin SI yang lainnya.

Semaoen juga memulai kariernya sebagai pemimpin buruh dan propagandis serikat pekerja yang mempelajari Marxisme sekaligus cara mengorganisir dan memimpin pemogokan buruh dengan profesionel. Kedua, Semaoen bukan keturunan priyayi.

Ketiga, dia masih sangat muda saat pertama muncul memimpin pergerakan revolusioner. Usianya 17 tahun lebih muda dari HOS Tjokroaminoto, dan sembilan tahun lebih muda dari Marco. Semaoen adalah simbol kebangkitan kaum muda bumiputera.

Setahun kemudian, pada 9 Mei 1917, saat pemilihan pengurus SI cabang Semarang, Semaoen dipilih menjadi ketua. Dipilihnya Semaoen semakin meningkatkan aktivitasnya dalam pergerakan. Semaoen mulai membentuk kelompok-kelompok aksi SI.

Pembentukan kelompok-kelompok ini menyusul terjadinya inflasi yang mengakibatkan para buruh resah, karena terjadinya pengurangan upah mereka. Pada 1918, di bawah komando Semaoen, SI cabang Semarang menggerakkan pemogokan buruh.

Sementara itu, terjadi perpecahan dalam tubuh ISDV. Anggota Eropa yang lebih demokrat menolak perkumpulan ini dijadikan komunis oleh Sneevliet dan memilih keluar secara serempak, hingga tinggal beberapa orang Eropa saja yang tinggal.

Kelompok orang Eropa itu kemudian membentuk SDAP Indonesia yang moderat. Meski demikian, hal ini menjadi satu keuntungan bagi anggota bumiputera untuk tampil sebagai pimpinan. Beruntung, tenaga bumiputera memiliki kemampuan yang bagus.

Di antara pemimpin Marxis yang paling menonjol dari kaum bumiputera adalah Semaoen. Selain Semaoen, ada juga Darsono, yang secara serius mempelajari ilmu Marxisme. Pada kedua orang inilah, ide-ide sosialisme ISDV mempengaruhi SI.

Sebagai akibatnya, banyak anggota SI yang masuk ke dalam ISDV, tanpa melepas anggotanya di SI. Dengan semangat Revolusi Bolshewik 1917, Semaoen dan Darsono berusaha memengaruhi SI dan mendorong terciptanya revolusi serupa di Indonesia.

Usaha ini semakin kencang dilakukan tahun 1919, sebagai akibat buruknya perekonomian Indonesia yang mendatangkan bencana kelaparan di Jawa. Krisis ini semakin matang dengan adanya perluasan tanah perkebunan tebu di koloni Belanda.

Seiring dengan pembentukan Komintern pada 1919, maka terjadi perubahan nama perkumpulan. Kata sosial demokrat tidak lagi dipakai, karena sering dikaitkan dengan Internasional Kedua, dan tidak dapat diterima oleh pandangan revolusioner.

Perintah ini segera dijawab Partai Sosial Demokrat (SDP) Belanda, pecahan SDAP, dengan mengganti namanya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Setahun kemudian, pada 23 Mei 1920, ISDV berganti nama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dengan bergantinya ISDV menjadi PKI, maka berganti pula susunan organisasinya. Semaoen terpilih menjadi Ketua PKI pertama, Darsono menjadi Wakil Ketua, Bergsma sebagai Sekretaris, Dekker sebagai Bendahara, dan Baars sebagai Komisioner.

Tidak lama berselang, pada 24 Desember 1920, PKI memutuskan untuk bergabung dengan Komintern. Dalam Kongres Komintern, PKI diwakili oleh Sneevliet. Tahun-tahun pertama kerja PKI adalah menyebarkan paham komunisme kepada penduduk setempat.

Selain itu, Semaoen dan Darsono juga harus menjaga pengaruh mereka dalam SI. Tantangan terbesar Semaoen dalam menjaga pengaruhnya di SI adalah menepis tuduhan musuh-musuh PKI yang menyatakan komunisme dan PKI memusuhi umat Islam.

Sebagai akibat dari tuduhan itu, terjadi persaingan yang cukup tajam antara SI dengan PKI. Puncaknya, SI menggalakkan disiplin partai, pada Oktober 1921, yang melarang anggota-anggotanya untuk bergabung dengan PKI pimpinan Semaoen.

Salah satu tarik-tarikan pengaruh itu adalah pada lapangan serikat buruh. Pemerintah Kolonial Belanda yang melihat PKI lebih berbahaya dari pada SI dalam pengaruhnya pada serikat buruh, kemudian menganggap semua aksi mogok sama.

Kecurigaan pemerintah membuat PKI semakin hati-hati, dengan mengarahkan para pemimpin serikat buruh untuk lebih memperkuat basis organisasinya. Aksi mogok serikat buruh pun, untuk sementara diredam dengan mengedepankan langkah negosiasi.

Dalam masyarakat kolonial, perusahaan kereta api merupakan barometer kesehatan ekonomi koloni. Ketika ekonomi melemah, akibat resesi dunia, hanya sedikit hasil bumi yang bisa di ekspor dan terjadi penurunan penumpang yang drastis.

Prihatin dengan merosotnya keuntungan perusahaan, perusahaan-perusahaan kereta api swasta membuat kebijakan yang sangat merugikan buruh dengan menghapus tunjangan hidup buruh, pada 1 Juni 1922, 1 Januari 1923, dan 1 Maret 1923.

Selain pemotongan tunjangan hidup, perusahaan kereta api juga melakukan memberlakukan tawaran tunai bagi pekerjanya yang ingin berhenti, dan mengumumkan kenaikan gaji tahunan akan dibayar dua kali, dari yang sebelumnya dibayar sekali.

Kebijakan yang sangat meresahkan ini diikuti juga dengan menaikkan penyewaan rumah-rumah milik perusahaan, dari awalnya 10% menjadi 15% dari gaji, serta menghentikan tunjangan-tunjangan rumah sebagai akses rumah milik perusahaan.

Lebih buruk, perusahaan juga mengurangi kenaikan gaji awal dan promosi, mengubah peraturan pakaian dinas hanya satu set dan sisanya dibeli sendiri. Puncaknya, pada 26 April 1922, seluruh kenaikan gaji dibekukan dan tidak kerja lembur.

Beberapa perusahaan bahkan mulai melakukan pemecatan kepada para pegawainya yang dianggap berlebih. Pemecatan-pemecatan ini mulai menakuti para buruh, dan menimbulkan reaksi yang sangat hebat untuk segera melakukan pemogokan.

Pada waktu yang sama, pemerintah juga mengeluarkan pengumuman akan memindahkan pengeluaran biaya hidup bagi para pegawai. Pengumuman ini makin menambah rasa khawatir para buruh, dan dorongan untuk melakukan pemogokan bertambah hebat.

Bagi buruh kecil, pemotongan dan pengurangan upah kerja itu sama dengan bunuh diri. Desakan kepada pengurus VSTP dari eksekutif-eksekutif cabang dan anggota-anggota biasa untuk melakukan pemogokan massal pun makin kuat.

Semaoen yang baru pulang dari Uni Soviet, pada Mei 1922, setelah kunjungan tujuh bulannya sejak Oktober 1921, mendapati kenyataan menyedihkan. VSTP telah ditinggal hampir separuh anggotanya, dan desakan untuk mogok sangat kuat.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengambil alih posisi Ketua VSTP, kemudian mengatur dan menyalurkan keluhan-keluhan para buruh kereta api melalui rapat-rapat umum dan propaganda serikat, sambil mempersiapkan pemogokan.

Semaoen juga menyiapkan tim khusus untuk melakukan negosiasi kepada pemerintah, sebagai jalan pertama yang akan ditempuh, sebelum melakukan pukulan terakhir, yakni pemogokan massal. Hingga pertengahan akhir 1922, Semaoen keliling Jawa.

Hampir di semua kota-kota besar di Jawa yang didatanginya, Semaoen memprotes tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah, dan menyerukan kepada para buruh agar bergabung dengan VSTP untuk mempersiapkan pemogokan massal.

Upaya Semaoen dan pemimpin VSTP lainnya berhasil. Dalam seketika, anggota VSTP yang setelah ditinggal separuh anggotanya berjumlah 8.000 anggota pada Juni 1922, menjadi 11.000 anggota pada Maret 1923, dan 13.000 anggota pada Mei 1923.

Akhirnya, pada 4 Februari 1923, VSTP menggelar kongres dan mengambil keputusan-keputusan penting dalam rapat tertutup yang dihadiri oleh 100 wakil dari 79 cabang VSTP, yang isinya mogok massal akan dilakukan apabila negosiasi gagal.

Saat rapat umum VSTP di Semarang, pada 6 Mei 1923 yang dihadiri 3.000 orang, Semaoen mengumumkan negosiasi dengan pihak manajemen kereta api menemui kegagalan, dan tidak ada cara lain lagi untuk mencapai tujuan selain pemogokan umum.

Tanggal pemogokan belum diumumkan, tetapi jika Semaoen ditahan, maka pemogokan umum pasti dimulai pada pagi berikutnya. Pernyataan yang sangat keras ini disambut gemuruh tepuk tangan, dan teriakan keras buruh, mogok! mogok! mogok!

Gubernur Jenderal Fock dan Dewan Hindia Belanda menyambut pemogokan massal itu dengan rencana penangkapan dan pengasingan terhadap Semaoen. Akhirnya, pada 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap. Penangkapan ini cepat menyebar ke seluruh anggota.

Pada 9 Mei 1923 pagi, pemogokan massal terjadi di Semarang, menyusul kemudian di Surabaya, pada 10 Mei 1923. Puncaknya terjadi pada 13 Mei 1923, sebanyak 10 ribu buruh, dari total 50 ribu buruh kereta api dan trem di Jawa mogok massal.

Pemogokan terkonsentrasi di perusahaan kereta api negara dengan total 8.285 buruh, dari sekitar 26 ribu buruh pribumi. Para pemogok banyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedang di Jawa Barat, buruh yang mogok sedikit saja.

Aksi mogok ini mendapat simpati dari sejumlah kelompok, di antaranya SI. Meski sempat berselisih paham dengan PKI, kedua perkumpulan ini bergerak bersama mengumpulkan uang untuk para pemogok kepada anggotanya dan ke kampung-kampung.

Selain itu, bantuan juga datang dari seorang Cina yang tidak diketahui sumbernya, dan dari sosialis-sosialis Eropa yang simpatik seperti DMG Koch, serta individu-individu seperti Tan Ping Tjiat, dan warga yang memberi makanan.

Yang membuat pemogokan ini terasa berat adalah terjadi di bulan puasa, di mana rata-rata para pemogok yang beragama Islam melakukan mogok tanpa makan, karena berpuasa. Kebanyakan para pemogok tidak bisa bertahan lebih dari satu minggu.

Melihat banyaknya pemogok yang tumbang membuat Eksekutif Harian VSTP menghentikan pemogokan. Ratusan pemogok akhirnya kembali bekerja, dan ribuan orang lainnya dipecat. Sementara tuntutan para buruh tidak ditanggapi manajemen.

Semaoen secara pribadi membayar pemogokan yang sungguh-sungguh dan gagal itu dengan harga mahal. Dia diasingkan pada bulan Agustus 1923 dan tidak kembali ke Tanah Air hingga tahun 1957. Dari 13.000 anggota VSTP, hanya 535 orang yang tersisa.

Sampai di sini ulasan Cerita Pagi mengenai pemogokan terbesar buruh kereta api yang menghebohkan masyarakat Indonesia di masa kolonial, dengan Semaoen sebagai pemimpinnya. Semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan
* Ruth T Mcvey, Kemunculan Komunisme Indonesia, Komunitas Bambu, Cetakan Pertama, Januari 2010.
* John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat, Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, Komunitas Bambu, Cetakan Pertama, Januari 2004.
* Soewarsono, Berbareng Bergerak, Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen, LKiS, Cetakan I, Januari 2000.
* Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1440 seconds (0.1#10.140)